Aku meletakkan daisy yang mengering di atas meja dekat ranjang. Kuambil pisau untuk menguliti Jonagold[2] pemberian Ran. Kupotong menjadi empat bagian, kubuang isinya, dan kugigit. Rasanya manis asam, berair banyak. Biasanya, aku memakannya bersama lelehan coklat.
Saat gigitan terakhir, aku mendengar seseorang berteriak. Kuyakini sumber suara itu berasal dari ujung koridor. Kunikmati setiap jeritan yang terdengar, sungguh menenangkan jiwa. Biarlah orang-orang gila itu yang mewakili setiap jeritan Rhein, Ran, Gie, Nina juga Mr. J yang berlomba untuk segera keluar dari kepala
“Mayat! Ada mayat!”
Teriak-teriak atas mayat, mulai terdengar. Masih bisakah kuyakini bahwa orang-orang gila yang teriakkan mayat? Haruskah kutahan rasa untuk mencari tahu tentang kebenaran sumber suara itu? Ini rumah sakit! Tak heran jika akan dapati mayat-mayat! Sebuah bentuk kekalahan tubuh untuk bisa memenangi penyakitnya.
“Kepalanya berdarah! Berlobang pada dahi, tembus ke belakang! Ini pembunuhan.”
Pembunuhan?
Bergegas kuturuni ranjang, berlari, dan meraih gagang pintu. Aku menggerakkannya berulang kali. Pintu tak kunjung terbuka. Sial! Pintu ini sengaja terkunci dari luar agar aku benar-benar tak tinggalkan ruangan ini.
Ruangan ini tak berjendela. Hanya terdapat lubang berjeruji di atas pintu. Aku mengambil kursi, menaikinya, lalu melihat keributan yang terjadi di luar. Darah berceceran di lantai, sebagian menghiasi dinding. Dua orang suster terlihat memegangi kepala dan tiga lainnya memegangi tubuh juga kaki untuk kemudian menaikkannya ke atas ranjang.
Dr. Jalal memeriksa kondisi mayat sebelum memberi intruksi pada kelima suster. Dengan segera, salah satu suster bertubuh tambun mendorong ranjang menuju kamar mayat yang berada tidak jauh dari kamarku. Kutahan mata untuk tak berkedip agar dapat merekam jelas tubuh terbunuh yang melintas.
Ran!
Tidak mungkin!