[caption caption="pic: c1.staticflickr.com"][/caption]
Desol, No. 7
Kematian Pak Amat yang kemudian disusul oleh Ki Plenyun membuat Ben manyun beberapa hari. Ben kerap terbengong dengan mulut menganga di atas amben. Air liur yang keluar dari salah satu sudut mulutnya telah mengundang sekawanan lalat untuk bertelur di sana.
“Ben, sabar nak. Baik Pak Amat maupun Ki Plenyun memang sudah saatnya mati, tak perlu lagi kau sesali.”
“Tapi Mpok, Ki Plenyun belum menurunkan ilmunya padaku.”
“Ilmu apa, Ben?”
“Mengubah tahi kambing menjadi kue cucur seperti yang Mpok cicipi kemarin sore.”
“Dasar bocah gendheng!”
Huweeeeeeeek!
Mpok Ipeh berusaha mengeluarkan isi perutnya dari sisa-sisa tahi yang disulap Ki Plenyuh menjadi kue cucur. Sedangkan Babeh Usman sibuk melepaskan sarungnya lalu menyusul Mpok Ipeh di WC. Dan Ben memilih untuk tidak mendengar desahan-desahan aneh dengan pergi ke Sungai Bahenol.
Ben memasuki hutan. Mematahkan ranting kering. Mengikatkan benang pada ujungnya. Mencari cacing gemuk. Menjadikannya umpan. Melenggang ke sungai. Menduduki batu. Melemparkan umpan pancing. Menunggu dimakan ikan.
Pancing ranting kering bergerak-gerak. Ben menariknya. Berat. Ben menambah tenaga. Masih berat. Ben tak putus asa. Dikerahkan semua tenaga. Tetap berat. Ben menyerah. Ben mengumpat.
Air sungai berbuih. Tampak secara perlahan punggung ikan yang memang besar. Ben melompat girang. Kerbau-kerbau betina yang sedang mandi palingkan kepalanya. Sarung Ben melorot.
Girang Ben musnah. Kerbau-kerbau berlarian selamatkan diri. Ben sibuk selamatkan kemaluan. Dipakainya kembali sarung yang dipinjamnya dari Babeh Usman.
Jempol raksasa muncul. Tubuhnya menyerupai spon yang menyerap semua air hingga sungai tak lagi bahenol. Diserangnya Ben dengan semburan air yang keluar dari mulut Jempol raksasa yang berlendir.
“Kau harus mati, Ben! Kau harus mati!”
Ben berlari dengan menjinjing sarungnya yang basah. Jempol raksasa menghadang. Pori-pori tubuh Jempol raksasa mengeluarkan ribuan anak panah yang siap dilepaskan untuk menghujani jantung Ben.
“Ben, tamatlah riwayatmu kini!”
“Kau yang akan mati, wahai Jempol raksasa bodoh!”
Ben mengacungkan telunjuk juga jari tengahnya. Mengarahkan tepat pada kedua lubang hidungnya. Mengorek upil, melompati batu lalu menyolokkannya pada kedua mata Jempol raksasa.
Jempol raksasa berteriak kesakitan. Kedua bola matanya keluar, menggelinding, tinggalkan tubuhnya.
“Awas kau, Ben! Setelah berhasil kudapatkan kedua bola mataku, kubunuh kau!”
Menghilang. Jempol raksasa menghilang. Sungai kembali tenang. Ben putuskan pulang.
***
Ben memilih untuk berpamit keesokan harinya. Mpok Ipeh, Babeh Usman dan para kambing menjerit, lepas kepergian Ben untuk pergi ke kota. Air mata Ben tak lagi tertahankan, peluknya kembali dihadiahkan pada kekasih barunya, para kambing.
Mbeeeeeeek!
“Cukup Ben! Cukup!”
“Biarkan aku melakukannya untuk terakhir kali, Mpok!”
“Hati Mpok begitu perih ketika melihatmu berulang kali cumbui kambing-kambing itu. Apa dosaku sehingga kau enggan cumbui Mpokmu ini.”
“Jika kucumbui Mpok, maka akan hilang kepalaku kena tebas parang Babeh.”
“Lepaskan kambing-kambing itu dari pelukmu, Ben.”
“Tidak, Mpok. Kawinkan saja aku dengan kambing-kambing ini!”
Mbeeeeeeek!
-oOo-
Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H