Pancing ranting kering bergerak-gerak. Ben menariknya. Berat. Ben menambah tenaga. Masih berat. Ben tak putus asa. Dikerahkan semua tenaga. Tetap berat. Ben menyerah. Ben mengumpat.
Air sungai berbuih. Tampak secara perlahan punggung ikan yang memang besar. Ben melompat girang. Kerbau-kerbau betina yang sedang mandi palingkan kepalanya. Sarung Ben melorot.
Girang Ben musnah. Kerbau-kerbau berlarian selamatkan diri. Ben sibuk selamatkan kemaluan. Dipakainya kembali sarung yang dipinjamnya dari Babeh Usman.
Jempol raksasa muncul. Tubuhnya menyerupai spon yang menyerap semua air hingga sungai tak lagi bahenol. Diserangnya Ben dengan semburan air yang keluar dari mulut Jempol raksasa yang berlendir.
“Kau harus mati, Ben! Kau harus mati!”
Ben berlari dengan menjinjing sarungnya yang basah. Jempol raksasa menghadang. Pori-pori tubuh Jempol raksasa mengeluarkan ribuan anak panah yang siap dilepaskan untuk menghujani jantung Ben.
“Ben, tamatlah riwayatmu kini!”
“Kau yang akan mati, wahai Jempol raksasa bodoh!”
Ben mengacungkan telunjuk juga jari tengahnya. Mengarahkan tepat pada kedua lubang hidungnya. Mengorek upil, melompati batu lalu menyolokkannya pada kedua mata Jempol raksasa.
Jempol raksasa berteriak kesakitan. Kedua bola matanya keluar, menggelinding, tinggalkan tubuhnya.
“Awas kau, Ben! Setelah berhasil kudapatkan kedua bola mataku, kubunuh kau!”