Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Sebuah Kematian

19 November 2015   09:32 Diperbarui: 19 November 2015   09:52 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic: cdn-2.tstatic.net"][/caption]Desol, No. 1

Tanah ini masih sangat basah. Terlebih hujan begitu merestui. Hingga siang bersembunyi dan tanggalkan jubahnya, aku masih terdiam di sini. Di pekuburan ayah. Ayahku mati tadi pagi, dekat pohon kelapa di depan rumah. Orang bilang, ayahku mati terkena serangan jantung. Dugaan itu juga diperkuat oleh pengakuan Pak Sadikin, di mana sempat melihat ayah kesakitan memegangi dadanya.

Aku tak percaya. Sewaktu aku memeriksakannya seminggu lalu, dokter di balai desa mengatakan bahwa ayahku sehat dan hanya membutuhkan istirahat untuk penyembuhan influenza-nya. Lantas dari mana datangnya sakit yang menyerang jantung ayahku dan membuatnya mati?

Udara di pekuburan semakin menusuk tulang. Dinginnya melebihi udara pegunungan. Bajuku basah oleh restu hujan yang sedari tadi samarkan tangisku. Aku harus segera ucapkan perpisahan pada tubuh ayah yang telah tertanam, mengakhiri sedih untuk kemudian melajutkannya di rumah.

Langkahku jauhi pekuburan. Katak-katak berlompat-lompatan. Katak-katak bersorak. Daun-daun berguguran terterjang hujan. Daun-daun bisikkan kepedihan. Burung-burung terbang berpindah teduh. Burung-burung sampaikan perpisahan kekal. Langkahku tetap jauhi pekuburan.

Di sepanjang jalan, tatap-tatap kasihan menyambutku. Mereka iba padaku yang kini yatim piatu sejak ayah mati tadi pagi. Aku bukan anak yang terlahir karena iba, juga kasihan. Ibuku menjerit serta mengejan dalam kesakitan saat berjuang melahirkanku, agarku tak lagi bernapas dalam rahimnya.

Rumahku berada di ujung jalan. Masih penuh dengan kursi, juga bunga-bunga duka cita kiriman warga. Mereka yang sedari pagi memadati rumahku, kini telah kembali menemui kebahagiaannya masing-masing. Sedangkan diriku, aku akan mulai mengencani sepi pada malam ini.

Aku memasuki rumah, mengunci pintu dan membiarkan kursi-kursi plastik berserakan di halaman rumah bermandikan hujan. Aku tak begitu mengkhawatirkan kursi-kursi plastik itu, sebab mereka akan selalu bersama-sama hingga pagi tiba.

Setiap sudut ruangan di rumahku menjadi lebih dingin. Dinding-dinding membeku sebab tak lagi menyerap tawa. Meja di dapur juga bersih, tak terhidang makan malam. Aku tak begitu mempermasalahkannya. Aku tidak lapar. Perutku telah penuh dengan kehilangan yang kutelan mentah-mentah.

***

Sudah tengah malam. Aku masih terjaga. Kuputuskan untuk memejamkan mata di kamar ayah dan menghirup jejak-jejaknya di sana. Ayah meninggalkan kamarnya dengan sangat berantakan. Baju-baju berserakan, dan aku harus merapikannya untuk terakhir kali.

Aku menaiki ranjang ayah. Pada bantal juga selimutnya terdapat aroma ayah. Aku memeluknya erat tanpa menyadari selimut telah basah oleh air mata. Rupanya aku telah gagal memenuhi janji untuk mengeringkan air mata.

Tok. Tok. Tok.

Ada yang mengetuk jendela kamar ayah. Aku segera bangkit, mendekati jendela. Kusingkap tirai. Tak ada siapapun. Akankah burung-burung dengan sangat kurang ajar mematuk-matuk jendela dengan paruhnya pada malam buta?

Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu kembali terdengar. Kali ini bersumber pada pintu kamar ayah. Tanpa ragu-ragu kukejar suara itu dengan membuka pintu. Nihil. Kuyakini bahwa tak ada seorangpun di rumah ini selain diriku, kecuali tikus-tikus yang kerap melubagi pintu kayu. Akankah tikus-tikus membenturkan giginya pada pintu kamar ayah sebanyak tiga kali?

Aku putuskan untuk kembali memeriksa setiap sudut ruangan dengan lebih teliti. Kulihat sesuatu bergerak-gerak di bawah kursi merah tua. Mirip anak kucing. Aku mendekatinya, berjongkok, mengulurkan tangan, dan meraih benda itu.

Potongan kepala manusia!

Potongan kepala itu membuka mata lalu tertawa. Potongan kepala itu lalu menggelinding ke kanan dan ke kiri. Ada ceceran darah di lantai. Potongan kepala itu melompat-lompat. Potongan kepala itu terbang menyentuh langit-langit rumah. Ada bercak darah di dinding.

Berlarilah aku menuju dapur. Ada potongan tangan memegang pisau. Potongan tangan yang sangat piawai mencincang jari-jari tangan kirinya. Sementara di meja, terdapat dua potong kaki dengan kulit yang terkelupas. Darah mengalir menuruni keempat kaki meja.

Aku menyalakan kompor, lalu menyirami potongan tangan juga kaki dengan api. Kutangkap potongan kepala yang sedari tadi melompat-lompat pada ruang tengah dan melemparkannya pada dapur yang membara.

***

“Sukma, bangun nak.”

Kurasakan hujan pada wajahku. Aku membuka mata. Kudapati Mbok Minah, penjual jamu gedong yang berumah di depanku membawa semangkuk air yang tengah ia percik-percikkan tepat pada wajahku.

“Apa yang terjadi denganmu nduk? Mengapa kau sakiti tubuhmu dan kau bakar rumahmu sendiri?”

Aku masih tak mengerti dengan apa yang Mbok Minah pertanyakan, sampai kulihat beberapa orang lalu lalang membawa berember-ember air yang mereka siramkan pada rumahku yang hampir habis terbakar.

Aku mencoba bangkit, namun kurasakan perih pada sekujur tubuhku. Sungguh kutak percaya bahwa tubuhku penuh luka. Kulit kakiku sedikit terkelupas, tanganku penuh dengan sayatan, juga kepalaku yang penuh dengan benjolan.

“Pak Sadikin sedang memanggil dokter untuk mengobati luka pada sekujur tubuhmu, Sukma.”

“Aku bisa mengobati lukaku sendiri Mbok. Jangan biarkan Pak Sadikin memanggil dokter atau siapapun itu. Aku tak butuh bantuan.”

“Sukma, jangan keraskan hatimu. Kami semua sangat mengerti bahwa kematian ayahmu membuat jiwamu terguncang saat ini.”

“Mbok Minah berpikir bahwa aku gila?”

“Bukan begitu, Sukma.”

“Mbok percaya padaku?”

“Akan selalu percaya, sama seperti sewaktu ayahmu masih hidup.”

“Mbok, apakah masih percaya jika kukatakan bahwa ada potongan kepala melompat-lompat dalam rumahku? Juga potongan tangan yang piawai mencincang jemarinya serta dua potong kaki yang terkelupas kulitnya?”

“Nyebut, nduk. Nyebut. Duh Gusti, paringono sehat nduk Sukma. Sehat jiwa.”

Mbok Minah adalah orang terdekat yang kini tak mampu lagi percaya pada perkataanku. Di matanya, aku tak lebih dari seorang gadis dengan gangguan jiwa karena ditinggal mati ayah tercintanya.

Mbok Minah menangis. Berulang kali menyeka air matanya menggunakan jarik bekas menggendong jamu tadi pagi. Matanya menatapku dengan penuh cemas. Sesekali ia tiup luka-lukaku dengan bibir keriputnya.

***

Aku duduk di kursi bambu milik Mbok Minah sambil memandangi rumahku yang hangus. Mbok Minah mengajakku untuk tinggal di rumahnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin sampai aku bosan merepotinya. Ia menumbuk kencur dengan beras lalu membalurkannya pada luka-lukaku. Sangat perih namun seketika hilang berganti rasa dingin.

Mbok Minah memilih untuk tidak berkeliling kampung dengan menggedong botol-botol jamu hari ini. Ia lebih menyukai luka-lukaku dari pada mencari uang seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi.

“Sukma, bawalah tubuhmu untuk beristirahat. Kau telah seharian duduk di sini dengan hanya memandangi rumahmu yang hangus dengan percuma.”

Dipapahnya tubuhku masuk ke dalam. Mbok Minah merelakan kamarnya untuk kutempati. Aku pun hanya bisa pasrah pada kebaikan yang tersedia di depan mata. Kubaringkan tubuhku pada ranjang kayu tanpa kasur.

Di dalam kamar Mbok Minah, selain ranjang kayu juga terdapat sebuah lemari serta kursi besi yang tua. Jika malam tiba seperti saat ini, maka kamar ini akan menjadi sangat gelap. Mbok Minah menyalakan sebatang lilin dan meletakkannya di depan pintu kamar, sebelum akhirnya pamit untuk meramu jamu di dapur.

Duk. Duk. Duk.

Kudengar suara seseorang sedang menumbuk, sama seperti ketika Mbok Minah menumbuk obat untuk lukaku namun kali ini lebih keras. Aku pun memutuskan untuk mencari Mbok Minah di dapur untuk membantunya. Aku hanya ingin menjadi berguna selama menumpang pada kebaikan dirinya.

Samar-samar kulihat seseorang sedang menumbuk. Ia memegang serupa tongkat yang terbuat dari besi dan mengayunkannya ke bawah berulang kali. Kuperjelas pandangku agar mampu menangkap wajahnya.

“Pak Sadikin!”

“Oh, rupanya suara tumbukanku membangunkanmu, Sukma. Kau mau turut membantu meramu jamu?”

“Kemana Mbok Minah?”

“Hahaha.”

Kutangkap tubuh Mbok Minah yang telah tak bergerak di lantai. Kepalanya masuk ke dalam sebuah palung yang sedang ditumbuk oleh Pak Sadikin. Kepalanya remuk. Lehernya nyaris putus. Darah menggenangi lantai tanah. Mbok Minah mati!

Aku berlari dalam gelap dan mencari jalan keluar. Tak kuhiraukan rasa sakit pada sekujur tubuhku sebab hatiku telah menjadi lebih sakit oleh kenyataan bahwa Mbok Minah mati. Harus kuteriakkan pada warga bahwa Pak Sadikin, kepala desa, adalah pembunuh!

Buuuuuuk!

Sebuah pukulan keras menghantam tubuhku. Aku tersungkur. Pak Sadikin telah mendapatkanku dan kini berada di atas tubuhku. Ia melemparkan tongkat besinya, membuka bajunya, dan menurunkan celananya.

Aku berteriak. Dengan sigap ia sumpal mulutku dengan bajunya. Dijelajahinya tubuhku dengan bibir kurang ajarnya. Dengan terburu ia buka semua kancing bajuku. Kurasakan birahi yang sebentar lagi akan meledak melalui napasnya yang panas.

“Sukma, sudah lama aku menginginkanmu. Jika kau tak menolak pinanganku, maka semua akan baik-baik saja.”

-oOo-

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun