Duk. Duk. Duk.
Kudengar suara seseorang sedang menumbuk, sama seperti ketika Mbok Minah menumbuk obat untuk lukaku namun kali ini lebih keras. Aku pun memutuskan untuk mencari Mbok Minah di dapur untuk membantunya. Aku hanya ingin menjadi berguna selama menumpang pada kebaikan dirinya.
Samar-samar kulihat seseorang sedang menumbuk. Ia memegang serupa tongkat yang terbuat dari besi dan mengayunkannya ke bawah berulang kali. Kuperjelas pandangku agar mampu menangkap wajahnya.
“Pak Sadikin!”
“Oh, rupanya suara tumbukanku membangunkanmu, Sukma. Kau mau turut membantu meramu jamu?”
“Kemana Mbok Minah?”
“Hahaha.”
Kutangkap tubuh Mbok Minah yang telah tak bergerak di lantai. Kepalanya masuk ke dalam sebuah palung yang sedang ditumbuk oleh Pak Sadikin. Kepalanya remuk. Lehernya nyaris putus. Darah menggenangi lantai tanah. Mbok Minah mati!
Aku berlari dalam gelap dan mencari jalan keluar. Tak kuhiraukan rasa sakit pada sekujur tubuhku sebab hatiku telah menjadi lebih sakit oleh kenyataan bahwa Mbok Minah mati. Harus kuteriakkan pada warga bahwa Pak Sadikin, kepala desa, adalah pembunuh!
Buuuuuuk!
Sebuah pukulan keras menghantam tubuhku. Aku tersungkur. Pak Sadikin telah mendapatkanku dan kini berada di atas tubuhku. Ia melemparkan tongkat besinya, membuka bajunya, dan menurunkan celananya.