“Akan selalu percaya, sama seperti sewaktu ayahmu masih hidup.”
“Mbok, apakah masih percaya jika kukatakan bahwa ada potongan kepala melompat-lompat dalam rumahku? Juga potongan tangan yang piawai mencincang jemarinya serta dua potong kaki yang terkelupas kulitnya?”
“Nyebut, nduk. Nyebut. Duh Gusti, paringono sehat nduk Sukma. Sehat jiwa.”
Mbok Minah adalah orang terdekat yang kini tak mampu lagi percaya pada perkataanku. Di matanya, aku tak lebih dari seorang gadis dengan gangguan jiwa karena ditinggal mati ayah tercintanya.
Mbok Minah menangis. Berulang kali menyeka air matanya menggunakan jarik bekas menggendong jamu tadi pagi. Matanya menatapku dengan penuh cemas. Sesekali ia tiup luka-lukaku dengan bibir keriputnya.
***
Aku duduk di kursi bambu milik Mbok Minah sambil memandangi rumahku yang hangus. Mbok Minah mengajakku untuk tinggal di rumahnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin sampai aku bosan merepotinya. Ia menumbuk kencur dengan beras lalu membalurkannya pada luka-lukaku. Sangat perih namun seketika hilang berganti rasa dingin.
Mbok Minah memilih untuk tidak berkeliling kampung dengan menggedong botol-botol jamu hari ini. Ia lebih menyukai luka-lukaku dari pada mencari uang seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi.
“Sukma, bawalah tubuhmu untuk beristirahat. Kau telah seharian duduk di sini dengan hanya memandangi rumahmu yang hangus dengan percuma.”
Dipapahnya tubuhku masuk ke dalam. Mbok Minah merelakan kamarnya untuk kutempati. Aku pun hanya bisa pasrah pada kebaikan yang tersedia di depan mata. Kubaringkan tubuhku pada ranjang kayu tanpa kasur.
Di dalam kamar Mbok Minah, selain ranjang kayu juga terdapat sebuah lemari serta kursi besi yang tua. Jika malam tiba seperti saat ini, maka kamar ini akan menjadi sangat gelap. Mbok Minah menyalakan sebatang lilin dan meletakkannya di depan pintu kamar, sebelum akhirnya pamit untuk meramu jamu di dapur.