“Sukma, bangun nak.”
Kurasakan hujan pada wajahku. Aku membuka mata. Kudapati Mbok Minah, penjual jamu gedong yang berumah di depanku membawa semangkuk air yang tengah ia percik-percikkan tepat pada wajahku.
“Apa yang terjadi denganmu nduk? Mengapa kau sakiti tubuhmu dan kau bakar rumahmu sendiri?”
Aku masih tak mengerti dengan apa yang Mbok Minah pertanyakan, sampai kulihat beberapa orang lalu lalang membawa berember-ember air yang mereka siramkan pada rumahku yang hampir habis terbakar.
Aku mencoba bangkit, namun kurasakan perih pada sekujur tubuhku. Sungguh kutak percaya bahwa tubuhku penuh luka. Kulit kakiku sedikit terkelupas, tanganku penuh dengan sayatan, juga kepalaku yang penuh dengan benjolan.
“Pak Sadikin sedang memanggil dokter untuk mengobati luka pada sekujur tubuhmu, Sukma.”
“Aku bisa mengobati lukaku sendiri Mbok. Jangan biarkan Pak Sadikin memanggil dokter atau siapapun itu. Aku tak butuh bantuan.”
“Sukma, jangan keraskan hatimu. Kami semua sangat mengerti bahwa kematian ayahmu membuat jiwamu terguncang saat ini.”
“Mbok Minah berpikir bahwa aku gila?”
“Bukan begitu, Sukma.”
“Mbok percaya padaku?”