Pemulihan perekonomian global pascapandemi sepertinya masih harus melalui jalan berbatu. Menurut Organisasi Kerja Sama Pembangunan dan Ekonomi (OECD), pemulihan ekonomi global menyerupai huruf ‘K’. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang (emerging) cenderung melaju. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju cenderung melambat, bahkan terkontraksi.  Â
Dalam laporan yang dirilis oleh OECD pada 9 Juni lalu, pertumbuhan ekonomi dunia sepanjang 2023 dan 2024 masing-masing diperkirakan di level 2.7 persen (year on year/yoy) dan 2.9 persen (year on year/yoy). Perkiraan ini lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi global sepanjang 2013-2019, yaitu sebesar 3.4 persen per tahun. Sejumlah faktor yang memengaruhi perlambatan ekonomi global ini, seperti masih tingginya inflasi inti, beban utang yang cenderung membesar, dan pertumbuhan potensial yang cenderung rendah.
Fragmentasi GeopolitikÂ
Pertumbuhan ekonomi global juga berpotensi tertekan imbas dari meningkatnya risiko fragmentasi geopolitik, khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan China. Fragementasi ini tecermin dari diterbitkannya UU Chips & Science oleh Presiden Joe Biden pada tahun 2022 lalu. UU ini ditengarai akan menjegal China dalam penguasaan teknologi Chips yang merupakan bahan baku industri semikonduktor bagi pengembangan teknologi 5G dan Artificial Inteligent (AI). Padahal, China sangat berambisi untuk menguasai teknologi 5G dan AI dalam mendorong pertumbuhan ekonominya. Buku Chip War: The Fight for the World's Most Critical Technology (Chris Miller, 2022) mengulas secara detail kisah di balik ‘perang’ Chips ini.
Tentu saja, China tidak diam dengan jegalan AS ini. Langkah yang dilakukan China ialah ‘memprovokasi’ sejumlah negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS (de-dolarisasi). Pembelian minyak oleh China dari Rusia dan Arab Saudi dapat dilakukan dengan mata uang Yuan (Petroyuan). China juga terus memperluas kerja sama perdagangan dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia menggunakan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS). China turut menginisiasi pembentukan mata uang tunggal (single currency) di antara negara-negara BRIC.
Pendeknya, risiko fragmentasi geopolitik ini tidak bisa diremehkan. Biaya ekonomi yang dihasilkan cukup besar akibat makin meningkatnya restriksi barang, modal, dan jasa. Menurut estimasi Dana Moneter International (IMF), biaya ekonomi dari fragmentasi geopolitik ini sekitar 0.2 persen sampai 7 persen dari PDB global. Dampaknya, penciptaan lapangan kerja makin sulit dan berpeluang mengungkit tingkat pengangguran dan kemiskinan di sejumlah negara. Â Â
Pusat Pertumbuhan BaruÂ
Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang cenderung melambat ini, maka kawasan ASEAN berpotensi jadi pusat baru pertumbuhan ekonomi global. ASEAN memiliki sejumlah modal yang mumpuni, seperti jumlah populasi yang besar sekitar 663.9 juta jiwa (terbesar ke-3 di dunia) dan relatif muda, sumber daya alam yang beragam, dan posisi geografis yang strategis. Bukan itu saja, kawasan ini juga relatif stabil, baik dari segi keamanan, politik, dan ekonomi.
Dengan segala modal yang mumpuni ini, maka mengintegrasikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi dunia sangat beralasan. Nah, salah satu langkah untuk merealisasikannya melalui konektivitas sistem pembayaran lintas batas (cross border payment). Sistem pembayaran itu ibarat sistem pembuluh darah dalam tubuh manusia (perekonomian), yang mengalirkan darah (dana/modal) ke tubuh (perekonomian), sehingga tubuh (perekonomian) dapat tumbuh dengan maksimal.
Menurut Boston Consulting Group (BCG), pembayaran lintas batas global cenderung meningkat, yaitu dari USD 150 triliun pada tahun 2017 menjadi USD 250 triliun pada tahun 2027. Menurut Bank of England (2023), sejumlah faktor yang memengaruhi peningkatan pembayaran lintas batas ini, seperti ekspansi sektor manufaktur global dengan rantai pasok yang makin melintas batas, pengelolaan dana dan investasi yang makin melintas batas, pesatnya perdagangan International dan e-commerce, dan pesatnya pertumbuhan remittance.Â
Sejumlah TantanganÂ
Masalahnya, untuk menghadirkan sistem pembayaran lintas batas jauh lebih menantang dibandingkan dengan sistem pembayaran domestik. Sejumlah tantangan itu seperti, format data yang berbeda, proses kepatuhan (compliance) yang kompleks (terkait pencucian uang, narkoba, dan terorisme), jam operasi yang terbatas, platform teknologi yang digunakan, biaya yang tinggi, panjangnya rantai transaksi, dan lemahnya kompetisi (Bank of England, 2023).
Untunglah, segala tantangan ini mulai dapat dipetakan dengan dibentuknya peta jalan (road map) sistem pembayaran lintas batas yang dikembangkan oleh Dewan Stabilitas Keuangan (FSB) dan berkoordinasi dengan Komite Infrastruktur Pembayaran dan Pasar (CPMI).
Tentu saja, setelah tantangan itu bisa dipetakan, maka tantangan berikutnya yang harus dijawab adalah menghadirkan sistem pembayaran lintas batas yang cepat, murah, transparan, dan inklusif.
Pertama, kecepatan transfer. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar dana sampai ke rekening penerima? Tentu, harapannya seketika. Ini tidak mudah. Sebab, sistem transfer antarbank International seperti SWIFT (The Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications) yang memiliki 11 ribu jaringan institusi keuangan dan memproses 35 juta transaksi setiap hari, setidaknya membutuhkan 1-5 hari kerja agar dana sampai ke rekening penerima. Demikian juga dengan Western Union, perusahaan penyelenggara pengiriman dana dan remittance dengan jaringan di 200 negara, setidaknya membutuhkan 1-3 hari kerja agar dana sampai ke rekening penerima.
Kedua biaya transfer. Harapannya biaya sangat murah. Dalam laporan Borderless Payment Report (2022) dari Mastercard menunjukkan bahwa 54 persen responden yang disurvei dari sektor UMKM menyatakan bahwa biaya transfer lintas batas saat ini masih mahal. Â Â
Laporan Remittance Prices Worldwide dari Bank Dunia (2022) juga menunjukkan bahwa rata-rata biaya transfer remittance secara global senilai USD 200 sebesar 6.24 persen. Biaya ini lebih tinggi dari negara-negara G-8 sebesar 5.88 persen, meski lebih rendah dibandingkan dari negara-negara G-20 sebesar 6.37 persen.
Ketiga transparan. Hal ini kerap dipertanyakan, khususnya tentang biaya dan pelacakan. Mastercard pernah melakukan survei terhadap nasabah ritel dan korporasi. Dan, secara umum menyatakan bahwa pembayaran lintas batas belum terlalu transparan. Misalnya, banyak waktu terbuang dari pengusaha untuk menyelasarkan antara dana yang dikirim atau diterima dengan barang/jasa yang disediakan. Padahal, tranparansi sangat menentukan tingkat kepercayaan dari pengguna. Â
Keempat inklusif. Mengingat biaya sistem pembayaran lintasan batas masih relatif lebih tinggi dibandingkan sistem pembayaran domestik, maka penetrasi layanan sistem pembayaran lintas batas, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak memiliki rekening bank jadi terbatas.
Terobosan Bank Indonesia
Meski sejumlah tantangan masih menghadang untuk menghadirkan sistem pembayaran lintas batas yang cepat, murah, transfaran, dan inklusif, tetapi hal itu tidak menyurutkan keyakinan Bank Indonesia (BI) untuk menghadirkan sistem pembayaran lintas batas itu. Bagaimana pun, kehadiran sistem lintas batas akan memberikan manfaat bagi perekonomian, khususnya untuk menyokong sektor UMKM dan Pariwisata yang jadi motor utama penciptaan lapangan kerja di Indonesia, mendorong pendalaman pasar keuangan, serta penguatan literasi keuangan dan perlindungan konsumen.
Itulah sebabnya, pada 14 November 2022, BI melakukan terobosan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (NK) bersama empat bank sentral ASEAN, yaitu Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS), dan Bank of Thailand (BOT). Sistem pembayaran lintas batas yang disepakati berbasis pada Fast Payment dan QR Code menggunakan mata uang lokal dan bukan dollar AS, sehingga bisa berbiaya murah. Â
Pertanyaannya, apakah bisa direalisasikan? Sangat mungkin. Hal ini berkaca dari model pembayaran lintas batas yang telah berhasil terhubung, yaitu antara Unified Payment Interface (UPI) dari India dan PayNow dari Singapura berbasis QR Code untuk transfer remittance. Waktu yang dibutuhkan hanya hitungan menit dengan biaya 3 persen (The Economist, 20-24 Mei 2023).
Saat ini, Bank Indonesia sudah memiliki sistem pembayaran domestik berbasis QR Code Indonesia Standard (QRIS) dan Fast Payment (BI-FAST). QRIS diluncurkan tahun 2019. Sampai Februari 2023, QRIS telah menjangkau 24.9 juta Merchant dan 30.8 juta pengguna. Nilai transaksi mencapainya Rp 12.3 triliun dengan volume transaksi sebesar 121.8 juta (Bisnis.com, 12/4/2023).
Sementara, BI-FAST diluncurkan tahun 2021 untuk mengakomodasi pembayaran ritel hingga Rp 250 juta per transaksi. Berbiaya murah, setiap waktu, dan seketika. Sampai Maret 2023, peserta BI-Fast mencapai 122 peserta atau mewakili 94 persen dari pangsa sistem pembayaran ritel Nasional.
Saat ini, sistem pembayaran Indonesia dan Thailand sudah terhubung dengan QR code menggunakan uang lokal. Wisatawan dari dua negara bisa berbelanja atau melakukan penukaran uang menggunakan sistem pembayaran lintas batas ini.
Sementara, sistem pembayaran berbasis Fast Payment antara Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina direncanakan pada tahun 2024 (Kumparan.com, 23/3/2023). Koneksi sistem pembayaran ini diharapkan akan memberikan alternatif pada tenaga kerja Indonesia, khususnya di Singapura dan Malaysia untuk mengirimkan remmitance sebagai salah satu sumber devisa. Menurut Bank Indonesia, nilai remmitence dari Singapura dan Malaysia ke Indonesia sepanjang 2022 sebesar USD 3.2 miliar atau tumbuh 10.3 persen dari 2021.
Kesimpulannya, sistem pembayaran lintas batas ini akan membuka peluang bagi kawasan ASEAN menjadi pusat baru pertumbuhan ekonomi global, khususnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu, kehadiran sistem pembayaran lintas batas ini dapat memberikan alternatif pilihan bagi masyarakat dan dunia usaha, sehingga tidak hanya tergantung pada sistem pembayaran lintas batas tertentu saja. Aktivitas perekonomian pun diharapkan bisa bergerak lebih cepat.
Menghadirkan sistem pembayaran lintas batas merupakan sebuah keniscayaan di tengah dunia yang sudah makin borderless dan connected oleh pesatnya kemajuan teknologi informasi. Semoga Indonesia dapat memanfaatkannya untuk kemajuan ekonomi domestik. Dan, sekali lagi, terobosan yang dilakukan oleh Bank Indonesia ini sangat patut diapresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H