Mohon tunggu...
Desmon Silitonga
Desmon Silitonga Mohon Tunggu... Lainnya - Analis PT Capital Asset Management

Membaca dan menulis adalah caraku untuk merelaksasi diri dan melakukan dialektika.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengintegrasikan Ekonomi ASEAN Melalui Sistem Pembayaran Lintas Batas

15 Juni 2023   22:20 Diperbarui: 15 Juni 2023   22:48 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemulihan perekonomian global pascapandemi sepertinya masih harus melalui jalan berbatu. Menurut Organisasi Kerja Sama Pembangunan dan Ekonomi (OECD), pemulihan ekonomi global menyerupai huruf ‘K’. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang (emerging) cenderung melaju. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju cenderung melambat, bahkan terkontraksi.   

Dalam laporan yang dirilis oleh OECD pada 9 Juni lalu, pertumbuhan ekonomi dunia sepanjang 2023 dan 2024 masing-masing diperkirakan di level 2.7 persen (year on year/yoy) dan 2.9 persen (year on year/yoy). Perkiraan ini lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi global sepanjang 2013-2019, yaitu sebesar 3.4 persen per tahun. Sejumlah faktor yang memengaruhi perlambatan ekonomi global ini, seperti masih tingginya inflasi inti, beban utang yang cenderung membesar, dan pertumbuhan potensial yang cenderung rendah.

Fragmentasi Geopolitik 

Pertumbuhan ekonomi global juga berpotensi tertekan imbas dari meningkatnya risiko fragmentasi geopolitik, khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan China. Fragementasi ini tecermin dari diterbitkannya UU Chips & Science oleh Presiden Joe Biden pada tahun 2022 lalu. UU ini ditengarai akan menjegal China dalam penguasaan teknologi Chips yang merupakan bahan baku industri semikonduktor bagi pengembangan teknologi 5G dan Artificial Inteligent (AI). Padahal, China sangat berambisi untuk menguasai teknologi 5G dan AI dalam mendorong pertumbuhan ekonominya. Buku Chip War: The Fight for the World's Most Critical Technology (Chris Miller, 2022) mengulas secara detail kisah di balik ‘perang’ Chips ini.

Sumber Gambar: techwireasia.com
Sumber Gambar: techwireasia.com
Tentu saja, China tidak diam dengan jegalan AS ini. Langkah yang dilakukan China ialah ‘memprovokasi’ sejumlah negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS (de-dolarisasi). Pembelian minyak oleh China dari Rusia dan Arab Saudi dapat dilakukan dengan mata uang Yuan (Petroyuan). China juga terus memperluas kerja sama perdagangan dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia menggunakan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS). China turut menginisiasi pembentukan mata uang tunggal (single currency) di antara negara-negara BRIC.

Pendeknya, risiko fragmentasi geopolitik ini tidak bisa diremehkan. Biaya ekonomi yang dihasilkan cukup besar akibat makin meningkatnya restriksi barang, modal, dan jasa. Menurut estimasi Dana Moneter International (IMF), biaya ekonomi dari fragmentasi geopolitik ini sekitar 0.2 persen sampai 7 persen dari PDB global. Dampaknya, penciptaan lapangan kerja makin sulit dan berpeluang mengungkit tingkat pengangguran dan kemiskinan di sejumlah negara.   

Pusat Pertumbuhan Baru 

Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang cenderung melambat ini, maka kawasan ASEAN berpotensi jadi pusat baru pertumbuhan ekonomi global. ASEAN memiliki sejumlah modal yang mumpuni, seperti jumlah populasi yang besar sekitar 663.9 juta jiwa (terbesar ke-3 di dunia) dan relatif muda, sumber daya alam yang beragam, dan posisi geografis yang strategis. Bukan itu saja, kawasan ini juga relatif stabil, baik dari segi keamanan, politik, dan ekonomi.

Dengan segala modal yang mumpuni ini, maka mengintegrasikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi dunia sangat beralasan. Nah, salah satu langkah untuk merealisasikannya melalui konektivitas sistem pembayaran lintas batas (cross border payment). Sistem pembayaran itu ibarat sistem pembuluh darah dalam tubuh manusia (perekonomian), yang mengalirkan darah (dana/modal) ke tubuh (perekonomian), sehingga tubuh (perekonomian) dapat tumbuh dengan maksimal.

Sumber Gambar: ASEAN.org
Sumber Gambar: ASEAN.org
Menurut Boston Consulting Group (BCG), pembayaran lintas batas global cenderung meningkat, yaitu dari USD 150 triliun pada tahun 2017 menjadi USD 250 triliun pada tahun 2027. Menurut Bank of England (2023), sejumlah faktor yang memengaruhi peningkatan pembayaran lintas batas ini, seperti ekspansi sektor manufaktur global dengan rantai pasok yang makin melintas batas, pengelolaan dana dan investasi yang makin melintas batas, pesatnya perdagangan International dan e-commerce, dan pesatnya pertumbuhan remittance. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun