Mohon tunggu...
DESI HAYATI
DESI HAYATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kariawan swasta

humoris, suka bekerja keras dan rajin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemanfaatan Hukum Tak Tertulis sebagai Sumber Hukum

31 Desember 2022   01:10 Diperbarui: 2 Januari 2023   22:11 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya terdiri dari Kepulauan Nusantara yang membentang luas sepanjang garis Khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke memiliki beraneka corak kebudayaan dan adat istiadat yang beraneka ragam, yang mewujudkan bangunan "Bhinneka Tunggal Ika".

Pertanyaan pertama yang timbul adalah seberapa jauh kemungkinan pemanfaatan hukum adat yang tersebar dan beranekaragam tersebut sebagai sumber hukum nasional sangatlah agar operasionalisasi penerapan hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dapat berlaku efektif di masyarakat kita dengan kemajemukan hukum adat tersebut?

Maka melalui berbagai kegiatan penelitian/kajian/pengembangan hukum dalam rangkaian pembangunan hukum nasional perlu dicari dan ditarik suatu prinsip yang dapat berlaku secara nasional.

Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari sistem hukum nasional, yang eksistensinya sejak jaman kolonial secara tegas dimaksudkan sebagai aturan hukum bagi golongan pribumi (Pasal 131 IS).

Setelah Merdeka, selain masih dianut pluralisme hukum berdasarkan aturan peralihan Pasal II UUD 1945, yang antara lain masih menempatkan hukum adat sebagai hukum pribumi. Pancasila dan UUD 1945 telah memberi landasan untuk mengangkat hukum adat sebagai sumber hukum nasional. Dalam arti menarik segi-segi baik dari hukum adat itu dan membuang segi-segi yang tidak relevan dengan perkembangan kesadaran , hukum masyarakat dalam pembangunan sebagaimana dengan perkembangan Iptek.

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data lengkap, akurat, dapat dipercaya, up to date dan obyektif di masyarakat tentang peranan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum, dan langkah kepustakaan melalui penelaahan dan penelusuran dasar-dasar berlakunya hukum tidak tertulis bertolak dari penggarisan UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, (UUD 1945 menegaskan bahwa selain hukum dasar yang tertulis diakui juga adanya hukum dasar yang tidak tertulis). Demikian pula Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada undang-undangnya, hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Bahkan ditegaskan oleh undang-undang bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang berbentuk adat istiadat setempat. Hal inilah yang mendorong digunakannya hukum tak tertulis sebagai sumber hukum.

  • Batasan-batasan Hukum Tidak Tertulis 

Dalam kepustakaan hukum dikenal adanya sumber hukum yang selalu menjadi pegangan para hakim dalam memutus suatu perkara, pada umumnya sumber hukum meliputi : Hukum Tertulis, Hukum Kebiasaan (adat-istiadat setempat), Prinsip-prinsip Hukum Umum dan pendapat para ahli (Legal Opinion/opinion Dictarum). Batasan mengenai hukum tidak tertulis bersumber pada penjelasan UUD 1945 yang menyatakan:

"Undang-undang suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya.... berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah peraturan-peraturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis".

Penjelasan UUD 1945 memberi landasan terhadap konvensi ketatanegaraan. Sedangkan berlakunya hukum adat sejak pemerintahan kolonial diakui oleh Pasal 131 I.S. yang sampai saat ini masih dianggap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Prof. Dr. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa baik menurut UUDS 1950 maupun UUD 1945, masih belum dibentuk peraturan yang menurut dasar berlakunya hukum adat, maka dasar hukum yang tercantum dalam Pasal 131 ayat (2) (b) I.S. masih tetap berlaku.

Selanjutnya Soerjono Soekanto menyatakan :

  • Dasar perundang-undangan bagi berlakunya hukum adat untuk peradilan adat diatur dalam Pasal 3 R.O.
  • Dasar perundang-undangan daerah Swapraja tercantum dalam Pasal 13 (2) Stbl 1938 No. 592.
  • Dasar perundang-undangan bagi para hakim adat di Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 3 a R. O.

Ter Haar Bzn mengemukakan pendapat mengenai pentingnya hakim memperhatikan hukum adat bahwa setiap hakim yang mengambil putusan menurut hukum adat untuk dapat menjalankan putusan dengan baik, haruslah menginsyafi sedalam-dalamnya stelsel hukum adat, kenyataan sosial dan tuntutan keadilan serta kemanusiaan.

Dengan kata lain hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat sehingga terjaminlah bahwa perkembangan dan penerapan hukum adat itu akan berjalan secara wajar, sehingga turut serta secara aktif merealisasikan pengaturan hukum di seluruh Indonesia dalam rangka pembangunan hukum nasional.

Nampaknya pemikiran Ter Haar mempengaruhi penyusunan Undang-undang No. 14 Tahun 1971 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah banyak munculnya perkembangan praktek hukum dewasa ini, hukum tidak tertulis dapat meliputi selain hukum adat, seperti Yurispudensi kebiasaan profesional, serta kebiasaan dalam hukum Administrasi Negara.

Aspek-aspek Hukum Tidak Tertulis 

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata aspek hukum tidak tertulis/hukum adat terdapat dalam berbagai aspek hukum baik yang bersifat publik maupun privat:

  • Aspek Hukum Pidana
  • Aspek Hukum Perdata

Peraturan Yang Memuat Hukum Tidak Tertulis 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Satjipto Rahardjo dengan prakarsa BPHN tahun 1989 memberikan gambaran bahwa 157 Undang-undang yang diteliti (Undang-undang Produk Legislatif 1946 - 1987) terdapat 25 (15,95%), diantaranya menyebut atau menyinggung hukum tak tertulis. Dari 25 undang-undang itu, 16 dibuat pada periode 1946 -1965 dan 9 pada periode 1966 -1987 (Satjipto Rahardjo, 1990 : 21-22)

Analisa hasil penelitian lapangan tentang hukum adat tanah dan kaitannya dengan UU No. 5/1960.

Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria kurang lebih sudah mencapai umur 31 tahun tepatnya undang-undang tersebut diundangkan pada tanggal 24 September 1960. Sepanjang perjalanan berlakunya undang-undang tersebut, bermunculan undang-undang lainnya yang erat sekali dengan Undang-undang Pokok Agraria. Undang-undang yang berkaitan itu adalah sebagai berikut:

  • 1. UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
  • UU No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
  • UU No. 6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
  • UU No. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup.
  • UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun.
  • UU No. 3 tahun 1972 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi.

Walaupun Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sepanjang peranannya bermunculan undang-undang yang erat sekali dengan undang-undang itu namun pada prinsipnya undang-undang itu masih banyak relevansinya dengan perkembangan zaman.

Lahirnya Undang-undang tentang Agraria melatar belakangi bahwa susunan kehidupan rakyat negara Republik Indonesia ini dalam perekonomian masih bercorak agraris, maka bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.

Kemudian Hukum Agraria yang masih berlaku sekarang ini (Undang-undang Agraria No. 6 tahun 1960) sebagai tersusun dan berdasar pada sendi-sendi Pemerintah jajahan hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan pembangunan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Hukum Agraria pada zaman penjajahan mempunyai sifat dualisme, di samping hukum adat juga hukum agraria yang berdasarkan atas hukum berat.

Hukum Tidak Tertulis meliputi berbagai aspek hukum yang tidak secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan tetapi mempunyai kekuatan yang sama dengan Undang-undang tertulis. Hukum Tidak Tertulis meliputi kebiasaan masyarakat (Usage) dan kepatutan, kebiasan profesional, kebiasaan ketatanegaraan. Kebiasaan administrasi negara yang dalam praktek berlaku seperti undang-undang.

Hukum Tidak Tertulis sebagai sumber hukum selain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, juga perlu dibuat tempat di dalam peraturan yang tertulis. Beberapa peraturan mengakui berlakunya hukum tidak tertulis seperti UU No. 14/1970, UU No. 1 tahun 1974, UU No. 5 tahun 1960. Seyogianya dalam penyusunan RKUHP diberikan tempat untuk berlakunya Hukum adat setempat guna tercapainya efektifitas hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Suatu putusan atau peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat akan mengakibatkan hukum tidak ditaati atau bahkan dapat mengakibatkan rasa antipati masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.

Mempelajari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berguna bagi pembangunan hukum nasional, untuk mewujudkan suatu sistem hukum yang dapat mengabdi kepada kepentingan nasional. Bahkan hukum harus mampu menyaring segi-segi positif dan nilai-nilai yang hidup itu baik yang dari unsur tradisional maupun yang diambil dari unsur asing dan mentransformasikannya ke dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hukum dapat mengarahkan masyarakat pada tingkat progresivitas yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi pada pergaulan sosial yang semakin kompleks, perkembangan hukum tidak tertulis cenderung menunjukkan adanya bentuk-bentuk hukum baru dalam praktek kemasyarakatan, terutama di bidang ekonomi, misalnya adanya perkembangan dalam kebiasaan profesional atau dalam bidang hukum administrasi Negara. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan untuk mengantisipasi perkembangan yang semakin pesat, terutama dalam hubungan ekonomi yang semakin terbuka. Hal tersebut dapat tampak pada latar belakang permasalahan hukum yang berkembang dalam masyarakat pada seluruh bagian wilayah nusantara.

Pengalihan terhadap penerapan hukum adat dalam yusiprudensi dan perundang-undangan dan bahkan di tingkat daerah perlu dikaji secara berlanjut/berkesinambungan agar wawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam pembangunan nasional dapat dioperasionalisasikan.

PENULIS I: Desi Hayati (30302200295)

PENULIS II: Meilan Arsanti, S. Pd., M.Pd.  (meilanarsanti@unissula..ac.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun