Mohon tunggu...
Des_yach SyAchroni
Des_yach SyAchroni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

satu jiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terpaksa

14 Januari 2012   08:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Meski sebenarnya bukan hal yang menyenangkan buat gua, ketika diminta untuk menemani Iin. Tapi jika gua menolak ajakannya, sudah pasti hal yang lebih tidak menyenangkan akan gua terima lebih parah lagi.

"Loe malu yah, kalo nemenin gua jalan-jalan ya, Bang?" Begitu selalu yang dikatakan Iin jika penolakan itu gua berikan. "..Gua tau kalo gua gak cantik dan menarik, Bang. Hidung gua juga pesek. Pasti elo malu kalo jalan-jalan sama gua." Dan seperti biasa, Iin akan terus menghajar hati nurani gua yang memang sebenarnya gak tegaan sama orang lain.

Keterpaksaan itu membuat gua tidak merasa nyaman selama menemani Iin jalan-jalan. Terlebih sikap Iin yang kadang berlebihan dan tidak sadar diri.

"Gua ini jelek ya, Bang?"tanya Iin terus menerus, ketika melihat banyak orang yang bersikap langsung menghindar dan melepas tatapan aneh kepadanya ketika berpapasan.

"Enggak..Biasa aja,"Jawab gua sekenanya.

"Apa karena rambut gua acak-acakan ya, Bang?"

"Hmm..rambut kamu bagus, Kok."

"Baju gua mungkin , Bang?"

"Akh, gak juga. Baju kamu bagus, kok.."

Begituu..terus. Gua sebenarnya udah tau kenapa orang-orang itu bersikap seperti itu. Tapi gua gak tega untuk ngomong langsung sama si Iin.

"Tapi, kok..orang-orang pada ngeliatin gua kayak begitu, Bang? Kayak orang yang geli dan jijik banget ngeliat gua." Iin semakin penasaran melihat sikap orang-orang itu.

"Perasaan kamu aja kali.."jawab gua berbohong.

"Tapi bukan kali ini aja, Bang. Hampir setiap orang bersikap begitu sama gua, Bang.."

"Masa sih?"Gua belaga ga tau kenyataan yang sebenarnya.

"Iya, Bang..Beneran! Apa karena gua ini jelek dan hidung gua pesek ya, Bang? Jadi mereka serasa melihat hantu kuntilanak bangkit dari kubur.."Kali ini kata-kata itu keluar dengan sedikit nada kesedihan yang membuat gua semakin gak enak untuk berkata jujur.

"Kamu manis,"kata gua.

Muka Iin langsung merah gosong, persis pantat penggorengan yang kelamaan berada di atas kompor. "Ah, Abang... Ja-di maluu.."ucap Iin malu-malu. Gua bergidik ngeri. Bulu kuduk langsung berdiri. Hiiiii...

Kemudian, gua melihat seorang anak kecil sedang asik duduk sendirian. Ia melambaikan tangannya kepada kedua orangtuanya yang berada tidak jauh dari tempat ia duduk. Senang sekali bocah itu sepertinya. Tapii...

Rasa takut diri gua mulai tumbuh, sebab tahu hal buruk apa yang akan terjadi ketika Iin melihat seorang anak kecil. Oh, Tuhan..Please, jangan biarkan si Iin mendekati bocah itu. Pleaseee...! Mudah-mudahan apa yang gua takutkan tidak terjadi. Tapi sialnya, Iin malah langsung berlari mendekati anak kecil itu sambil tersenyum senang dan merasa gemas. Ah, kejadian deh!

"Hal-lo, Adek Keciilll... Namanya siapa?"tanya Iin sambil mencubit pipi bocah itu.

Bocah itu menatap Iin sesaat dengan pandangan ngeri. Tidak lama kemudian ia bangkit dari duduknya dan langsung berlari menghampiri orangtuanya sambil menutup hidungnya. Ah, kejadian deh!

Dan benar saja, ketika bocah itu sudah bersama orangtuanya. Tiba-tiba saja bocah itu muntah-muntah. Membuat panik kedua orangtuanya, yang sesekali menatap Iin dengan pandangan heran. Iin diam terpaku memandang bocah itu dengan pandangan sedih. Gua menghampiri.

"Tuh kan, Bang.. Anak kecil aja takut kalo gua deketin. Sampe muntah-muntah segala lagih,"ucap Iin sedih hampir menangis.

Gua coba menghiburnya dengan menepuk-nepuk pundaknya. Sambil membetulkan letak Masker yang selalu gua pakai setiap kali bertemu dengan Iin. Ah, andai Iin itu manusia yang sadar diri. Seharusnya dia tahu, kenapa selama ini gua selalu mengenakan Masker ini. Sepertinya ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya akan sikap orang-orang itu. Ah, Iin..please dong, ah..Sadar! Badan loe tuh bau bangke!! Tapi kata-kata itu tertahan di dalam dada. Apalagi ketika melihat Iin mulai meneteskan airmata. Ah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun