" Bukan tipeku," jawab Halisti ketus.
" Tipemu pasti lelaki berduit, tuir gak jadi soal, jelek gapapa, yang penting pengusaha " Skak DC, sengaja ingin membuat Halisti jengkel.
" Dewa Cinta kok ngomongnya begitu," Halisti memperlihatkan wajah tak suka.
" Gadis yang dibesarkan single parent wanita cenderung mendambakan figur seorang ayah, akan mencari pacar yang mirip figur ayah yang didambakannya." Oceh DC.
" Kalau masih ngomongin cinta, aku pergi loh. Aku singgah buat makan siang, bukan buat diceramahi," muka Halisti cemberut.
" Oke. Mari ikut makan bersama kami. Pelayan ! Minta piring satu lagi !" teriak DC ke pelayan yang lewat tak jauh darinya.
Wajah Halisti berubah cerah." Gitu donk. Eh, ini anakmu? Kok gak mirip bapaknya ?" ini basa-basi ala Halisti.
" Apanya yang gak mirip?" tanya DC.
" Anakmu pendiam, bapaknya ceriwis," Halisti ketawa renyah.
" Siapa bilang Janno pendiam. Dia hanya merasa tidak sopan jika menyela omongan orang tua." DC membela anaknya.
" Emang aku dianggap tua?" protes Halisti.
" Anak SMA memanggil mahasiswi dengan panggilan kakak senior, kalau memanggil karyawan ibu atau bu Halisti, tul engga, Jan?" DC mencari dukungan dari anaknya.
Janno mengangguk sambil mengacungkan jempol. Kembali Halisti menunjukkan wajah cemberut.
" Anak dan bapak kompak ngeroyok seorang wanita. Itu namanya pelecehan," Halisti mengambil nasi ke piring yang diletakkan pelayan di hadapannya.
" Anggaplah itu sebuah kebetulan. Padahal Aku merasa kamu punya tujuan muncul tiba-tiba begini." Kata DC kalem, yakin tebakannya benar.
" Kenapa Om mengira aku punya tujuan? " tanya Halisti, mengambil beberapa udang ke piringnya.
" Karena sejak keluar dari Bigmarket kulihat mobilmu mengekoriku hingga masuk ke mari, kalau itu bukan tujuan, berarti modus namanya, " DC kembali terkekeh.
" Susah mengelabui orang pintar. Oke deh, aku mengaku modus. Tapi modusnya bukan buat aku. Aku ingin meminta Om menjodohkan seseorang." Halisti mengaku dengan terpaksa.
" Menjodohkan siapa ?" tanya DC.
" Ibuku," jawab Halisti.
" Wah, ini kasus menarik. Kenapa kamu memintaku menjodohkan ibumu? Bukankah seharusnya kamu bisa melakukan sendiri tugas mak comblang semacam itu?" tanya DC.
Janno tak ingin mencampuri urusan ayahnya. Melihat ayahnya sibuk bicara, ia mengeluarkan hape dan bermain game.
" Sudah bosan gagal makanya aku mengharapkan bantuan Om. Siapa tahu Om DC lebih beruntung. Aku janji memberi Om sesuatu yang memuaskan sebagai imbalan andai Om berhasil." Halisti tersenyum manis.
" Wah, ini yang berbahaya. Coba jelaskan sesuatu yang ingin kamu berikan sebagai imbalan itu apa? Aku ogah terima sesuatu yang berbau remang-remang, "
" Remang-remang gimana ?" tanya Halisti.
" Aku pernah menyelesaikan sebuah kasus, dan imbalannya adalah pemilik kasus ingin memberiku sesuatu yang seharusnya hanya diberikan pada suaminya. " beber DC tanpa sikap sok bangga.
" Om tentu kesenangan diberi kenikmatan,"
" Kata siapa,"
" Kataku,"
" Kamu masih bocah, tau apa. "
" Tadi mengataiku tua, sekarang mengataiku bocah. Ada apa dengan Dewa Cinta ?" Nada Halisti sarkartis.
" Cara omongmu mirip orangtua, pikiranmu masih bocah." DC menjelaskan sambil makan sup tomyam.
Halisti memonyongkan mulutnya. " Aku gak punya uang untuk membayar Om. Tapi aku ingin ibuku bahagia di hari tuanya."
" Kebahagian orangtua biasanya ingin melihat anaknya menikah dengan pria yang baik dan kaya. Setelah itu momong cucu. Bukan ingin menikah dengan pria muda dan kaya."
" Mulut Om benar-benar ceriwis," Halisti berwajah tak senang. Ia makan udang goreng dua sekaligus, mengunyahnya seakan sedang mengamuk. " Aku gak ngomong ibuku pengen menikah dengan pria muda dan kaya. Aku minta tolong carikan pria buat ibuku agar hidup ibuku bahagia di hari tuanya." Ucapan Halisti seakan ingin menegaskan niatnya.
" Kenapa tidak memintaku menemukan ayah kandungmu ?" tanya DC.
Wajah Halisti berubah lesu. " Aku benci ayahku !" suaranya ketus.
Janno menoleh, menatap Halisti, wajahnya memperlihatkan ia tak suka mendengar ucapan Halisti. Lalu ia kembali bermain game.
" Itu baru menarik. Kenapa kamu membenci ayahmu?" tanya DC.
" Karena dia meninggalkan ibuku," wajah Halisti semakin keruh, hampir menangis.
" Apa kamu tahu alasan ayahmu meninggalkan ibumu ?" tanya DC.
" Tentu karena wanita lain, " wajah Halisti semakin keruh.
" Tidak selalu perceraian karena wanita lain. Terkadang karena perinsip hidup yang berbeda. " ucap DC kalem.
" Mereka tidak menikah, dari tadi Om mengatakan ibuku single parent. Itu artinya mereka tidak menikah, jadi, mana mungkin ada perceraian karena beda prinsip !"
" Oh, jadi mereka belum menikah. Tentu ada alasan kenapa mereka berpisah. Apa kamu pernah bertemu ayahmu ? Ayah biologis ?" tanya DC.
" Gak sudi! Dipertemukan pun aku pilih menghindar !"
" Kalau belum bertemu, gimana kamu menyim-pulkan ayahmu berada di pihak yang salah ? " skak DC.
" Ibuku mengatakan pria itu meninggalkannya dalam kondisi hamil ! Sejelas itu masih harus bertanya ?" nada Halisti mencemooh.
" Gimana kalau pria itu tak tahu ibumu hamil? Gimana kalau pria itu menghindari ibumu karena alasan finansial, alias tak punya biaya untuk menikah? Gimana kalau pria itu meninggalkan ibumu karena paksaan orangtuanya?"
" Kamu pria, tentu membelanya !"
DC coba menenangkan Halisti." Dengar dulu. Kalau pria itu berada di pihak yang salah, kenapa ibumu tidak mencari pria lain, atau menikah dengan pria lain? Kamu berwajah cantik. Aku percaya ibumu pasti berwajah secantik kamu,"
Halisti melongo, lalu tersipu ketika DC mengatakan ia berwajah cantik, ibunya berwajah lebih cantik. Wanita mana yang tak senang dipuji cantik?
DC memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan lebih lanjut. " Wanita terakhir yang kamu antar menemuiku, namanya Tiara Kencana. Dulu dia mencintai pria bernama Zeu Sing Sai. Zeu Sing Sai meninggalkan Tiara Kencana karena ketikakcocokan perinsip. Tiara Kencana kemudian menikah dengan pria lain, seorang sultan di negeri jiran, hidup bahagia bersama suaminya. Namun, ketika suaminya meninggal ia pulang untuk mencari Zeu Sing Sai. Kamu yang mempertemukan kami. Yang tidak kamu ketahui adalah, Tiara Kencana mencari Zeu Sing Sai demi membunuhnya. Apa ibumu pernah menyuruhmu mencari ayahmu untuk dibunuh ?" DC mengelus arlojinya. Ia berharap Zeuss tidak sedang menyaksikan adegan ini akibat namanya terbawa-bawa.
Halisti kaget mendengar omongan DC. Kaget hingga tak bersuara. Lama ia terdiam hingga akhirnya menjawab lirih " Tidak, ibuku tidak sekejam itu,"
" Apa kamu pernah bertanya pada ibumu, apakah ia masih mencintai ayahmu ?"
Halisti menggeleng cepat.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H