" Kamu disiksa ibumu, kan ? Kenapa tak bercerita padaku kalau ibumu kejam ?"
Awai kaget mendengarnya. Darimana Yolana tahu ia sering disiksa ibunya?
" Siapa yang cerita pada makcik ? Tiong It ? "" tebak Awai.
" Bukan. Seseorang, wanita." Jawab Yolana. " Aku tak punya anak, aku sangat berharap punya anak, tapi Tuhan tidak mengabulkan doaku. Aku ingin punya anak tabung, tapi membuatnya susah, ribet, lama, harus bolak-balik ke Dumai yang akan membuatku patah tulang punggung. Lalu kupikir, ada seorang anak baik, sering mengunjungiku, kenapa aku tak memintanya menjadi anakku ? "
Awai terdiam. Ia tahu Yolana sedang bicara tentang dirinya. Tapi ia tak bisa. Orang yang masih punya orangtua, ayah dan ibu lengkap, tak bisa sembarang diangkat anak oleh orang lain. Itu akan dinilai mengkhianati orang tua, atau orang-orang akan mengatakannnya lari dari orangtua miskin untuk mencari orangtua angkat yang kaya. Ia akan diejek anak gila harta orang lain.
" Maukah kamu menjadi anakku ? " tanya Yolana. Mengulurkan tangannya, mengelus pipi Awai dengan lembut.
" Ayahku sakit, butuh aku merawatnya, aku tak bisa meninggalkan papa." Kata Awai.
" Aku tahu itu tak mungkin. Kamu bukan orang yang bisa lari dari tanggung jawab, dan itulah yang menyebabkan aku memilihmu. Itu yang kusuka dari seorang Awai."
" Makasih makcik memaklumi keadaanku,"
" Tapi aku tak rela kamu dipukul ibumu, bahkan dibenamkan ke laut hingga hampir mati tenggelam." Yolana menangis, memeluk kepala Awai, membuat Awai serasa ingin ikut menangis.
" Siapa yang cerita pada makcik ?" tanya Awai.