" Kamu mengekori si tukang bakpao ? "
Mata Meilan mengilat, " Aku pernah diberi bakpao olehnya. "
" Itu bakpao sisa tak laku ! Sama dengan penjaga kelenteng memberimu barang yang tidak habis dimakannya. Manusia hanya memberi kita sampah.Â
Lihat Kali Krukut, banyak sampah !"
" Enggalah. Dia tulus kok. Bakpaonya selalu habis kok. Dia jarang pulang sambil membawa bakpao sisa ke rumahnya."
" Gila ! Kamu mengekorinya juga !"
" Aku mencarikan jodoh yang baik untuk Aldi," Meilan menundukkan wajahnya.
" Bodoh ! Kalau kamu mencintainya, kamu harus mendapatkannya, kenapa malah ingin dijodohkan dengan si Bakpao !" umpat Melli.
" Kan sudah kubilang, aku tak mungkin bersamanya, aku hanya ingin mencintainya dalam hati. Cinta tak harus memiliki. Asal dia bahagia, hatiku ikut bahagia. Aku ingin dia bahagia, makanya suatu saat aku akan memberitahunya bahwa Widia tidak tulus mencintainya, Widia hanya ingin rumahku terjual, sedangkan Jean, Jean hanya menjadikannya pelarian karena usianya yang sudah 30 tahun, sering didesak menikah oleh ortunya, dan dia tak punya pilihan selain menempel pada Aldi. "
" Kalau begitu, biar kubilang pada Aldi, kamu yang paling tulus mencintainya. Dia harus tahu !" sambar Melli.
" Jangan !"
" Kenapa gak boleh ? Kamu mencintainya, kamu tulus, dia harus tahu ketulusanmu, apa itu salah ?" cecar Melli.
" Jangan, Melli. Aku tak ingin kamu menerornya, cukup biarkan dia tinggal hingga 11 bulan dan aku akan memintanya pindah." Pinta Meilan dengan tatapan memelas.
" Huh, itu gak boleh ini gak boleh. Menyebalkan, mending aku pulang menjaga kakek ! Pokoknya awas kalau dia menyakiti hatimu, akan kukuliti dia dan kujemur kayak kulit kambing yang dipotong tukang sate di ujung gang Pengukiran !" Melli melayang pergi. Tinggallah Meilan seorang diri, duduk sambil memeluk lutut, menahan dinginnya malam sambil menunggu Aldi tidur barulah dia berani masuk agar tidak membuat Aldi curiga.
Demi mendapatkan naskah, Aldi sadar ia tak boleh menyinggung perasaan Jean. Jean semakin sering  mengajaknya keluar, jalan jalan di Mall, berbelanja, nonton di bioskop sore, makan malam, setelah itu baru Aldi diantar pulang. Antarnya tidak masuk ke jalan Kemenangan atau Kemenangan 3, hanya sampai di Jalan Pintu Besar Selatan. Aldi terpaksa berjalan kaki lumayan jauh untuk tiba di rumahnya.
Malam ini secara tak sengaja ia bertemu Della dalam perjalanan pulang. Della hanya menenteng sebuah tas jinjing. Aldi tahu itu isinya uang hasil penjualan bakpao.
" Hei, Aldi. Sekarang jarang ke Pasar, ya ? " Sapa Della ramah.
" Eh, Della. Mau pulang nih? Aku sibuk mengedit, jarang keluyuran. Waktuku tinggal 6 bulan. Nanti deh, kalau sudah bebas dari tanggung jawab, aku ngontrak di sekitar sini, aku akan sering mengunjungimu." Â Kata Aldi.
" Gak kapok tinggal disini ? Kudengar sudah 2 kali kamu terluka  akibat diganggu hantu itu,"
" Bukan diganggu hantu, Del. Yang pertama aku dikejar anjing, yang kedua aku yang kurang hati-hati, berjalan terlalu ke tengah jalan. Resikonya ya ditabrak motor."
" Widia percaya kedua kejadian itu berkaitan dengan hantu di rumahmu. Katanya pasti ada ketiga kalinya." Kedua berjalan bersama, searah. Aldi terkejut mendengar omongan Della.
" Dia bilang begitu ?" tanya Aldi tak percaya.
" Ya, katanya dia suka padamu, asal kamu sanggup bertahan setahun di rumah itu, ia akan mempertimbangkan dengan serius andai kamu memintanya menjadi pacarmu. " suara Della bergetar saat mengatakan hal itu.
Aldi tersenyum, lalu tertawa kecil." Omongannya agak membingungkan." Â
" Membingungkan kenapa ?" tanya Della.
" Yaaah, itu artinya kalau aku tak sanggup bertahan, langsung diskualifikasi. Kupikir bukan tipe wanita demikian yang kuharapkan jadi pendamping hidupku." Ucap Aldi tanpa berani menatap ke wajah Della.
" Seperti apa tipe wanita yang kamu harapkan jadi pacarmu." Tanya Della, ikut tak berani menatap Aldi, ia menatap ke deretan ruko yang mereka lalui, yang semua pintunya tertutup.
" Yang pengertian, tidak mata duitan, tidak meminta yang terlalu muluk, apalagi yang tak mungkin diraih dan dicapai. Aku suka wanita sederhana seperti ibuku. Sederhana dan tidak menuntut."
Wajah Della memerah, menatap Aldi, dan dua wajah saling bertatapan. Sama sama tersenyum penuh arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H