Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Satu hal yang membuat tanggal itu terasa lebih begairah adalah diadakannya konser keroyokan musisi dalam negeri bersama sebuah band asing tersohor yang sepanjang karirnya belum pernah menginjakkan kaki di sini.Â
Konon menurut liputan di majalah-majalah musik yang kubaca dan celotehan pembawa acara hiburan di televisi, promotor musik ternama di sini sudah habis-habisan melobi band dengan empat personil tersebut sejak lama, saling ngotot dan saling ngambek namun akhirnya semua deal.Â
Jadi, konser mereka yang akan datang adalah murni kesempatan langka. Aku dan Roy harus hadir. Kupelototi kalender yang membisu di hadapanku lalu kulingkari tanggal itu dengan spidol merah sebelum aku lupa. Tak ada alasan untuk tidak menonton meski harus melewati fase perang mulut dulu dengan Papa.Â
"Konser musik rock? Kamu bercanda?" tanya Papa malam itu setelah kuutarakan keinginanku.
"Nggak seperti yang Papa bayangkan, Pa." jawabku mencoba meyakini.
"Lah, itu seminggu yang lalu konser band apa tuh yang rambutnya kayak nenek lampir, rusuh sampai ada yang mati terinjak-injak. Nyari maut aja kamu. Anak perempuan itu bagusnya di rumah, belajar menjahit, memasak, lemah lembut, keibuan. Kamu malah mau kayak anak-anak berandalan itu nonton konser pulang pagi, musik gak jelas pula. Kamu jadi tengil sejak pacaran sama anak band itu." komentar Papa ketus.
"Keibuan? Ibu-ibu aja banyak yang senang nonton konser." gerutuku ngasal karena terlanjur kesal sambil berlalu masuk kamar dan menutup pintu sekencang-kencangnya. Kuacuhkan saja suara Papa yang masih berkicau di ruang tengah menyaingi suara televisi yang tengah menyala.
Sudah hampir setahun ini hubunganku dengan Papa merenggang semenjak aku berpacaran dengan Roy yang sering disebut Papa 'cuma anak band' atau 'musisi tanpa masa depan'.Â
Sejak saat itu, bisa dibilang semua tema pertengkaranku dengan Papa adalah tentang Roy dan musik tercintaku, rock n' roll. Aku tidak tahu mengapa Papa begitu membenci Roy yang selalu baik dan bertanggung jawab, tidak pernah macam-macam padaku.Â
Setiap kali aku tanya, alasan yang Papa berikan menurutku tidak logis dan terlalu mengada-ada. Berkali-kali aku menyadarkan Papa kalau aku bukan anak kecil lagi, sudah bisa menjaga diri namun Papa tetap bersikeras pada pendiriannya dan malah menegurku kalau aku membela Roy yang tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.
Aku berkenalan dengan Roy di sebuah festival musik luar kota di mana saat itu ia menjadi pengisi acara bersama grup musiknya. Roy berusia enam tahun lebih tua dari aku yang saat ini masih duduk di bangku kuliah semester empat. Kepadaku ia mengaku tidak menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi karena lebih memilih musik, nge-band sebagai tujuan utama hidupnya. Tekadnya sudah bulat, ia ingin hidup dari musik.
"Sudah jam tujuh, Rin. Sebaiknya kuantar kau pulang sekarang. Aku tidak mau berperang dengan Papamu. Bisa batal nanti nonton konser tanggal sembilan." Roy berkata malam itu ketika ia menyudahi latihan bersama teman-temannya di sebuah studio musik di pinggiran kota. Aku mengangguk lalu membereskan majalah-majalah musik yang sedari tadi kubaca.
"Papaku tidak memberi izin, Roy. Dia takut rusuh seperti konser heavy metal dua minggu yang lalu itu." ucapku kemudian sedikit kesal.Â
"Sudah kuduga." sahutnya pendek sembari mengambilkan jaket milikku yang tergantung di balik pintu. Aku memakainya lalu melangkah keluar dengan gontai, merasa tidak ingin pulang ke rumah karena harus bertemu Papa dan diwawancarai habis-habisan tentang aktivitasku seharian bersama Roy hingga aku tersudut tidak bisa menjawab lagi.Â
Kadang aku berpikir mungkin dulu cita-cita terpendam Papa adalah menjadi seorang reporter televisi karena segala pertanyaan yang diajukannya padaku sungguh menjebak dan tidak dapat ditebak. Sejenak aku tertawa sendiri dengan masygul.
"Jadi kapan demo tape kalian akan ditawarkan ke Mawar Berduri Records?" tanyaku ketika mobil butut Roy memasuki jalan tol yang sudah tersendat. Mawar Berduri Records adalah label rekaman bergengsi nomor satu di negeri ini, menjadi target utama semua musisi rock untuk melejit, sukses dan populer, mewujudkan mimpi-mimpi.Â
"Rencananya bulan depan. Mudah-mudahan bisa langsung ketemu dengan bosnya, Ibu Ari Budiyanti dan Ibu Dewi Leyly. Kebetulan ada kawan lamaku yang kenal sama anaknya Ibu Dewi." Roy menjawab dengan mata yang terus mengawasi arus kendaraan di hadapannya. Aku mengangguk-angguk.
"Kalau tembus rekaman, mungkin Papamu akan melunak sedikit karena ia tahu calon menantunya akan jadi rockstar." lanjutnya sedikit berseloroh. Aku pun tertawa. Namun tawa itu segera terhenti ketika kurasakan mobil Roy mulai ndut-ndutan. Kendaraannya ini memang tidak dapat diprediksi, kadang ia sehat-sehat saja kadang mogoknya kambuh dan langsung akut. Aku segera dikepung rasa panik. Berharap tidak sekarang ini terjadi.
"Haduh, mogok lagi!" Roy menggerutu sambil berusaha menstarter mobilnya berulang-ulang. Di belakang, bunyi klakson mobil saling bersahutan tiada henti seolah meneriaki mobil Roy yang malang. Untunglah tidak lama kemudian mesinnya kembali menyala meski kembang kempis. Roy segera meminggirkan mobilnya. Setelah itu, bisa kurasakan sang mesin seperti hendak mengucapkan selamat tinggal.
Gawat! Sudah mogok, bagaimana pula caranya bisa keluar dari kemacetan yang nampaknya bakal berlangsung selamanya ini? batinku cemas. Seketika kutatap langit yang mendung, membuat cemasku bertambah beringas.Â
Kulihat Roy yang masih berusaha menstarter mobilnya lagi. Akhirnya ia menyerah lalu segera turun untuk memeriksa mesin mobil. Aku mengikutinya keluar dengan rasa gelisah bukan kepalang. Dalam hati aku sudah tahu keadaan yang harus kuhadapi nanti di teras rumah.
*
"Gak usah pulang sekalian, Rin!" suara Papa langsung terdengar begitu aku membuka pagar rumah. Amarahnya memang sudah tercium sejak peristiwa mogoknya mobil Roy tadi.
"Mobil Roy mogok, Pa di jalan tol dan saat itu sedang macet. Untung Arini bisa kontak Andika jadi dia datang meminjam mobil temannya." Andika, adik lelakiku satu-satunya itu nongol di sampingku setelah memarkir mobil yang kumaksud.
Papa langsung terperangah melihat penampilan Andika yang rambutnya sudah panjang, sedikit melebihi bahu. Maklum, Papa baru melihat Andika lagi setelah enam bulan tidak bertemu karena Andika yang memilih tinggal di kos-kosan dan malas pulang ke rumah gara-gara Papa yang banyak maunya, begitu ia bilang padaku suatu malam.
"Kamu juga ikut-ikutan gondrongin rambut pake kaos sepatu butut dan jeans robek?! Lama-lama malu Papa. Kamu kan anak akuntansi, Andika. Gondrong begitu mana pantes, kayak gembel. Kamu kan calon orang kantoran, harus bersih, rapi, klimis. Lagipula mana bisa konsentrasi belajar kalo mata ketutupan rambut yang ikal uwel-uwelan macam bulu domba begitu?" mata Papa melotot. Andika hanya memberi senyuman hambar.
"Kan bisa pake bando, Pa." jawabnya santai.
"Lagipula, kan Papa yang mau Andika jadi orang kantoran. Andika gak mau kok, Pa. Andika dari dulu maunya kuliah jurusan musik. Musik Pa, musik! Main musik, bikin lagu, belajar teori-teori musik, ngajar musik. Pokoknya musik!" bak seorang demonstran ia menumpahkan segala perasaannya yang selama ini terpendam lalu menghilang dari teras. Kulirik Roy yang terdiam dengan matanya yang terus menatap Papa. Pandangan Papa kemudian beralih padanya.
Â
"Dan kamu, anak muda. Saya tidak peduli orangtuamu kaya, kamu anak pejabat atau konglomerat, apalagi kalau ternyata kau memang melarat tapi jangan sekali-kalinya mempengaruhi anak-anak saya menjadi berandal seperti kamu dan teman-teman bandmu, apalagi berani-beraninya menyentuh Arini. Jangan menjadi racun!"
"Pa.." ucapku lirih.
"Masuk Arini. Sudah larut begini. Mau jadi wanita macam apa kamu pacaran sama kaum beginian yang bisanya cuma senang-senang? Nggak ada gunanya. Rambut saja yang panjang, prestasi botak!"Â
"Cukup, Pa." air mataku mulai tumpah. Roy maju selangkah.
"Pak, maafkan saya karena sudah lancang mengantar Arini pulang hampir tengah malam. Tapi saya tidak terima perkataan Bapak yang seperti itu tentang saya. Penampilan saya memang urakan, citra anak band dengan rambut gondrong kayak saya memang buruk, alkoholik, pecandu narkoba dan pergaulan bebas namun saya bukan penganut hal-hal seperti itu. Saya mengerti ketakutan Bapak. Dari awal saya kenal Arini, ia sudah bercerita bagaimana Bapak membesarkan ia dan Andika. Saya salut. Tolong, jangan menilai saya seperti tadi. Yang saya tahu, saya sangat menyayangi Arini. Saya akan menjaganya meski tidak akan pernah bisa sesempurna ketika Bapak yang melakukannya." ujarnya, berusaha untuk tetap tenang. Aku tahu ia sudah memendam unek-unek itu sejak lama.
"Lalu kamu mau apa?!" tanya Papa sengit.Â
"Beri saya waktu untuk membuktikan semua ucapan saya. Hanya itu yang saya pinta."
Papa terdiam. Roy menatapku penuh keyakinan. Sorot matanya akhirnya membuatku tenang. Perlahan mendung menumpahkan butiran-butiran hujan. Roy yang merasa tak mendapat respon dari Papa segera membalikkan badan lalu melangkah pergi. Dibiarkannya air hujan yang mulai membasahi sekujur tubuhnya.Â
Aku menatap Roy dari balik linangan air mata. Ingin rasanya berlari dan memeluk lelaki itu. Papa masih terdiam. Tatapan kedua bola matanya yang mulai sayu karena usia itu tetap mengikuti langkah Roy yang terus berjalan hingga menghilang di tengah deras hujan dan kegelapan malam.
***
Dua minggu kemudian...
Aku terbelalak lalu terduduk pasrah ketika kulihat kalender di dinding sudah tiba di angka sembilan. Kusadari harapanku menonton konser Hari Musik dengan bintang tamu band asing pujaanku, punah sudah. Memang nggak jodoh, pikirku. Baru saja aku akan mengambil kaset mereka yang ada di atas meja untuk diputar, Papa tiba-tiba muncul. Aku tersentak dan langsung berdiri. Hah, nggak salah liat, nih, batinku bingung.
Di hadapanku, Papa berdiri dengan sebuah senyuman lebar. Tapi tunggu, bukan senyumnya yang membuatku terkaget-kaget melainkan penampilannya yang kulihat beribu-ribu persen berbeda.
"Gimana menurutmu, Rin? Keren gak rambut Papa?" tanyanya sambil memegang 'rambut kriwil' - nya. Aku langsung terbahak ketika menyadari ia menggunakan wig gondrong ala rocker. Papa cengar-cengir. Kuperhatikan dengan seksama penampilannya sambil manggut-manggut dan bersuit pelan. Celana jeans biru donker, kaos putih polos, sepasang biker boots cokelat tua, dan jaket kulit hitam. Ditambahkannya anting yang nangkring di telinga kirinya. Entah darimana datangnya semua yang ia kenakan itu tapi yang pasti aku sungguh menikmatinya dan sepertinya ini pertanda baik untukku, terlebih untuk hubunganku dengan Roy.
"Ayo siap-siap sana. Paul Stanley sudah menunggu." ujarnya menyebut nama vokalis band favoritku yang akan tampil di konser musik itu. Dikeluarkannya selembar tiket dari amplop cokelat yang sedari tadi ia pegang di tangan kirinya. Jantungku berdetak kencang. Tidak mungkin!
"Buruan ganti baju. Papa akan mengantarmu ke tempat konser. Kalau kau mau, sih..."
Sontak aku berteriak kegirangan.
"Roy juga sudah menunggu di sana." Papa tiba-tiba memotong. Di antara senang dan bingung, aku terpana tak percaya mendengar kata-kata Papa barusan. Papa tersenyum melihat ekspresiku.
"Beberapa hari setelah kejadian malam itu, Papa datang ke studio tempat Roy latihan. Andika yang memberitahu Papa alamatnya. Papa berbicara banyak dengan Roy. Dan ujungnya, tiket ini sebagai bagian dari permintaan maaf Papa." mendengar itu aku langsung memeluk Papa.
"Maafkan Papa, Arini. Papa tahu kamu sudah dewasa tapi di mata Papa kamu selalu menjadi gadis kecil Papa. Kadang Papa terlalu berlebihan menjagamu. Papa tidak mau terjadi apa-apa denganmu, kehilanganmu. Itu saja." suara Papa terdengar lirih.
"Iya, Pa. Arini juga minta maaf." hanya itu yang bisa terucap dari bibirku. Aku memaklumi sikap Papa yang sangat berhati-hati menjaga kedua anaknya terutama aku semenjak kepergian Mama karena kecelakaan pesawat di pulau seberang saat aku masih berumur 12 tahun. Dalam hati aku hanya bisa berjanji takkan pernah mengecewakan Papa.
**
Di gerbang masuk arena konser, Roy yang sudah menunggu segera melambaikan tangannya. Hari itu ia terlihat begitu ceria, lepas, dan yang pasti sungguh menawan dengan rambut gondrong kriwilnya yang dibiarkan panjang mendekati pinggang seperti para rockstar era 80-an. Setengah berlari ia mendatangi aku dan Papa. Kulihat ia sangat terkejut sekaligus senang melihat penampilan Papa yang juga 'nge-rock' seperti dirinya.Â
"Rambutnya keren, Pak!" pujinya lalu menyalami tangan Papa. Papa tersenyum sembari menepuk-nepuk pundak Roy.Â
"Mungkin lain kali saya juga harus memakai jeans robek butut sepertimu." canda Papa lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala memperhatikan penampilan Roy dan beberapa gerombolan anak muda yang lalu lalang di sekeliling kami. Tak lama, pintu utama arena konser dibuka dan Roy meminta izin untuk masuk lebih dahulu untuk menemui beberapa temannya yang kebetulan juga datang ke konser malam ini, teman-teman yang bisa membantunya menjadi apa yang selama ini ia impikan.
"Jadi Papa akan berusaha mengenal Roy kan?" tanyaku dengan nada sedikit mendesak setelah Roy pergi. Pria berkulit sawo matang dengan satu tahi lalat di pelipis kirinya itu tidak menjawab.
"Sudah sana, nikmati konsernya." sahutnya kemudian setelah beberapa saat berada dalam diam sembari menatapku dengan lembut, seakan tahu kalau aku sudah tidak sabar menyaksikan konser itu. Ini akan menjadi salah satu malam terindah di hidupku. Betapa tidak, aku akan menyaksikan musisi pujaanku yang sudah menggerayangi setiap tidur malamku, merasuk di antara mimpi-mimpi siang bolongku selama bertahun-tahun. Dan aku menontonnya bersama Roy yang juga berhasrat untuk bisa berada di panggung seperti mereka suatu hari nanti, meraung-raungkan gitar di atas kobaran semangat, tepukan tangan dan histeria pemujanya, berada di puncak dunia.
Di belakangku, erangan gitar listrik dan gebukan drum yang bersahutan mulai terdengar. Sorak-sorai manusia bergema tak sabar menanti mulainya konser seakan hendak meruntuhkan arena terbuka dengan lampu-lampunya yang mulai berkilatan.Â
"Pa, kok gak dijawab?" tanyaku lagi.
"Apa yang perlu dijawab?" ia balik bertanya.
"Tentang Roy." jawabku menggantung. Ia menghela nafas.
"Kau ini. Jadi untuk apa Papa mengantarmu kemari, bela-belain semua ini? Kan mending Papa di rumah baca koran sambil makan pisang goreng dan minum kopi." ucapnya, nampak serius. Kemudian senyumnya mengembang. Sebuah senyum penuh arti. Kubalas senyumannya lalu kupeluk dirinya yang dibalasnya lagi dengan sebuah pelukan yang lebih erat. Kubisikkan kata terima kasih lalu kucium kencang-kencang kedua pipinya. Ia melepas kedua tanganku lalu menatapku pergi memasuki area konser.
"Oh ya, Pa." kataku sembari membalikkan badan menghadap Papa lagi. Papa yang pandangannya masih mengikutiku mengernyitkan kening. Sebelum ia membuka mulut dan bertanya kenapa, aku segera berucap lebih dulu,
"Papa keren banget pake wig gondrong kayak gitu. Mirip Robert Plant, vokalisnya Led Zeppelin. Kalau beneran gondrong, pasti lebih keren!" seruku. Ia tertawa kecil.
"Lebih keren Papa apa Roy?" godanya. Aku terbahak.
"Arini sayang papa." ucapku.
"Papa juga." pria itu berucap lalu memberi tanda dengan tangannya agar aku segera masuk ke gelanggang konser.
Setelah saling melempar kiss-bye, aku melangkah mantap menuju pintu masuk utama, menunjukkan tiket kepada seorang penjaga, melewati pemeriksaan security lalu segera berlari masuk memeluk Roy yang telah menunggu bersama teman-temannya. Malam itu semua sempurna. Malam itu anugerah. Kisah cintaku, kasih sayang Papa, perayaan musik dan konser rock n' roll sang idola, tak ada lagi yang ingin kupinta lebih dari itu. Tak ada.
Derby Asmaningrum
****
Estafet Perdana Kompasiana
Tim Trio Mawar Berduri:
Dewi Leyly (topik 1)
Ari Budiyanti (topik 2)
Derby Asmaningrum (topik 3)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H