Pada siang hari, jika kuliahku sedang libur dan Gugun sedang tidak bertugas menjaga studio, ia kerap mengajakku menemaninya ngamen di dalam bus kota yang selalu kuiyakan dengan antusias. Dan hasilnya, ia bilang kalau kulitku jadi terlihat dekil sejak berteman dengannya. Aku hanya membalasnya dengan tawa. Biar saja, pikirku. Toh aku menikmatinya, terlebih denganmu, ucapku dalam hati waktu itu. Aku memang tidak bisa menyangkal kalau perlahan, benih-benih itu telah mencuri start untuk tumbuh. Benih-benih yang tidak mau kuakui, benih-benih yang mungkin bisa membuatnya menjauh dariku, benih-benih yang rasanya tak pernah kutanam. Entah bagaimana memusnahkan kembali semua itu.
"Pernah gak kepikir olehmu untuk pacaran dengan seorang pengamen?" tanya Gugun suatu siang sehabis ngamen di dalam bus kota dari Pasar Baru yang saat itu sepi penumpang dan kami duduk di barisan paling belakang.
Glek! Aku terperanjat mendengar pertanyaannya. Apa maksudnya nih, batinku.
"Pengamen yang mana?" tanyaku sambil berusaha tertawa padahal hatiku jedag-jedug tak karuan. Aku lalu menatapnya. Terlukis sedikit keraguan di wajahnya untuk melanjutkan topik pembicaraan.Â
"Apa sih maksud pertanyaanmu tadi?" tanyaku meminta konfirmasi.
"Nggak. Nggak ada maksud apa-apa." Gugun menjawab pelan lalu tersenyum seraya melempar pandangan ke luar jendela. Setelah itu tak ada lagi di antara kami yang bersuara. Hanya deru kendaraan yang tersisa menemani separuh perjalanan.
"Lemba... Lemba.. Salemba..!" tiba-tiba teriakan nyaring kenek bus membuyarkan semuanya. Tak terasa kami sudah sampai di kawasan Salemba yang siang itu terlihat sepi. Kawasan yang biasanya kami gunakan sebagai tempat istirahat untuk makan di sebuah warteg sebelum melanjutkan lagi petualangan hari itu. Gugun segera berdiri sembari menggamit tangan kananku.
"Nanti kalau sempat akan kujawab maksud pertanyaanku tadi." bibirnya berucap di telingaku ketika kami sudah berada di dekat pintu sembari menunggu bus berhenti melaju. Aku hanya bisa mengangguk. Kubiarkan tangannya menggenggam tanganku lebih erat.
**
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Gugun. Aku memang tidak sempat lagi makan di warung Mas Mul karena semakin padatnya jadwal kuliah dan dimulainya kerja paruh waktuku di sebuah toko donat. Aku hanya berharap semoga Gugun masih tetap ngamen di sana pada jam-jam yang sama setiap malam. Namun yang terpenting, mudah-mudahan ia baik-baik saja.
Pada malam Sabtu yang mendung di pertengahan bulan Juli, akhirnya aku memiliki waktu luang untuk makan di luar. Aku ingin mengabarkan Gugun sebuah berita bagus sekaligus mengembalikan bukunya yang sempat beberapa waktu kuperlihatkan kepada teman-temanku para musisi. Satu harapanku, Gugun hadir malam ini. Kukendarai motor bebekku lalu memarkirnya tepat di depan warung Pecel Lele Mas Mul yang sudah dikerubungi pembeli.