Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu-ibu biasa

Sedang tinggal di negeri orang. Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing. Lulusan S1 Fikom Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pramugari, di Balik Senyum dan Anggunnya Seragam

10 April 2019   04:33 Diperbarui: 10 April 2019   13:36 4419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flight terakhir sebelum resign. Membelakangi si montok favorit saya, Airbus A380 setelah landing di bandara Charles de Gaulle, Paris, Prancis (foto : dok. Derby Asmaningrum)

Lay over
Setelah mendarat di kota tujuan dan penumpang telah keluar dari pesawat, kami akan mengecek kembali kabin yang sudah acak-acakan mulai dari tempat duduk hingga kompartemen atas lalu menuju bis yang sudah menunggu di luar terminal kedatangan atau terkadang bis sudah menanti tepat di dekat pesawat yang telah diparkir (apron) untuk membawa rombongan yang sudah kelelahan ini menuju hotel dan selanjutnya, kami bisa menikmati saat-saat lay over. 

Lay over adalah sebutan ketika para flight crew telah mendarat di destinasi dan menjalani masa off duty di sana sembari nenunggu jadwal keberangkatan pesawat selanjutnya. Masa-masa lay over adalah saatnya untuk senang-senang, shopping, mencicipi kuliner lokal, jalan-jalan mengunjungi beberapa objek wisata atau landmark yang terkenal dari setiap kota yang kami singgahi dan untuk awak kabin, terkadang kami diberi diskon khusus untuk yang terakhir tadi.

Musim panas di negeri beruang merah. Numpang foto di depan St. Basil's Cathedral di kawasan Red Square, Moscow, Rusia (foto : Derby Asmaningrum) 
Musim panas di negeri beruang merah. Numpang foto di depan St. Basil's Cathedral di kawasan Red Square, Moscow, Rusia (foto : Derby Asmaningrum) 

Hasil akhir dari sebuah lay over biasanya koper (cargo bag) yang terlalu penuh yang bisa melebihi 20 kg. Ahahaahha. Apalagi kalau bukan berisi suvenir-suvenir khas, belanjaan peralatan dandan, kosmetik, baju hingga berbagai jenis makanan ringan.

Akhirnya saya dapat memegang dan mengagumi kemegahan Piramida Giza di Mesir. Sesuatu yang dulu hanya bisa saya lihat gambar-gambarnya di buku-buku pelajaran Sejarah (foto : dok. Derby Asmaningrum)
Akhirnya saya dapat memegang dan mengagumi kemegahan Piramida Giza di Mesir. Sesuatu yang dulu hanya bisa saya lihat gambar-gambarnya di buku-buku pelajaran Sejarah (foto : dok. Derby Asmaningrum)

Insiden kecil
Saya sungguh bersyukur selama mengepakkan sayap bersama SQ tidak pernah sampai harus membuka pintu pesawat dalam keadaan darurat. Kalau turbulence, yaa saya sudah kenyang merasakan dari yang imut-imut hingga yang amit-amit bikin mulut komat-kamit pengen cepat-cepat pamit dari pesawat. Hanya ada satu insiden kecil yang saya alami saat flight dari Singapura menuju London Heathrow (LHR). Ketika itu pesawat lepas landas pukul 9 pagi dari Singapore Changi Airport. 

Setelah take off, ternyata landing gear pesawat tidak mau menutup kembali. Akhirnya Kapten memutuskan untuk kembali ke Singapura. Tetapi karena pesawat baru saja lepas landas sekaligus menampung penuh bahan bakar untuk direct flight kurang lebih 13 jam ke London, maka para cockpit crew harus melakukan prosedur membuang bahan bakar (fuel dumping) karena akan sangat berbahaya jika mendarat dengan bahan bakar yang masih utuh ditambah dengan pesawat yang penuh pula pada hari itu.

Setelah berputar-putar beberapa waktu membuang bahan bakar, akhirnya pesawat landing kembali dengan selamat di Singapura. Saya pun tidak jadi bekerja hari itu dan diposisikan sebagai kru stand by di mana saya tidak boleh meninggalkan base (Singapura), harus senantiasa berjaga-jaga di dekat telepon karena para pegawai di Cabin Crew Control Centre di Changi Airport bisa menghubungi kapan saja untuk flight ke mana saja dengan reporting time jam berapa saja. Kalau sudah begini saya biasanya jadi tidak enak makan apalagi berani-beraninya sampai tertidur karena gelisah gundah gulana memikirkan ke mana pesawat akan membawa diri ini selanjutnya... 

Kangen keluarga
Merasa sendirian di tengah keramaian. Begitulah gambaran perasaan saya ketika tinggal di Singapura, sendiri dan pastinya memendam kerinduan. Segala sesuatu dilakukan secara tunggal ditemani lagu Angka Satu milik om Caca Handika yang melantun pilu : masak, masak sendiri/makan, makan sendiri/cuci baju sendiri/tidurku sendiri (nah ini nih yang paling nggak enak. Ahahahahah...). Apalagi ketika tengah melakukan long flight berhari-hari, saya merasa sangat jauuuh sekali bagaikan anak hilang. Sesuatu hal yang dengan mudahnya membuat saya selalu menitikkan air mata.

Bekerja untuk maskapai luar negeri berarti harus mengikuti aturannya untuk bersedia tinggal di negeri tersebut. Maka saya pun harus rela hidup jauh dari keluarga tercinta di Bekasi. Jarak antara Singapura dengan Jakarta memang dekat tapi buat saya itu menyedihkan. Tidak bisa lagi setiap hari menikmati lezatnya sambel terasi buatan Mama, ketawa ngakak bercanda bareng adik tercinta sambil pedes-pedesan makan bakso atau diskusi tentang topik-topik yang lagi hangat bersama Papa tengah malam sembari makan indomie terkadang kacang rebus.

Saya memang sangat dekat dengan keluarga meski ketika masih ABG doyan sekali ngeband gak jelas sana-sini dan main sepakbola, masa-masa kuliah pun datang ke kampus hanya dengan jeans belel robek-robek, sepatu dan kaos butut, rambut tergerai panjang, namun saya tetap akrab dengan tetangga-tetangga sebelah dan juga si Eman, sang tukang sayur langganan asal Cikarang yang menjadi idola ibu-ibu dan kadang menjadi provokator ranah pergosipan di kampung saya. Jadi ketika saya harus mengepak koper untuk menjalani karir yang baru di negeri orang, tentu saja terlalu berat meninggalkan semuanya. Namun berkat cinta dan dukungan keluarga, semangat saya pun membara dan tidak pernah redup sampai detik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun