Mohon tunggu...
Maddie Depal Suyadi
Maddie Depal Suyadi Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa, yang belajar ngeblog dan berbagi. Salam ceria... Weblog : http://www.depal.info || pembuat video tutorial edit foto bertema surealis & abstrak di http://youtube.com/depalpiss7 ;)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suara Gelas Pecah

22 Oktober 2015   09:25 Diperbarui: 22 Oktober 2015   09:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sudut sang istri

Praaangggg!!!

“Diammmm!!!.” Katanya memerintah dan marah. Gelagar suara gelas pecah, menghantam sisi kanan lemari es. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia. Suamiku. Ketika suara yang memekakan telinga itu sayup-sayup berhenti, ku rasakan keheningan yang mencekam. Bukan suaranya yang kelihatan begitu menakutkan, akan tetapi ada getaran-geraran samar yang mengelayut di hati dan meninggalkan bekas-bekas luka yang menyesakkan. Tanpa ku sadari ke dua tanganku memegang mulut. Dan suami ku pergi. Seolah hilang bersama sepi yang gila itu.

“Pertengkaran…” itulah yang terjadi. Entah sudah berapa perang mulut dan hati yang saling kami benturkan satu sama lain. Tak terhitung. Perubahan yang terjadi tidak bisa ku tangani. Hanya ada memori, memori yang membuat pilu dan jurang yang semakin menganga. Setiap harinya jurang itu bertambah melebar inci per inci.

Aku sangat menyadari yang kami butuhkan adalah “bicara”, tapi harus ku akui ketika kemarahan meraja. Akal sehat menjadi hilang. Dan kami hanya menumpahkan itu sebagai kutukan yang tak berkesudahan. Hubungan kami seperti bunga yang indah dan wangi pada awalnya. Namun waktu membuktikan, bunga itu akan segera layu dan mati.

“…Kamu berubah, yang ku inginkan Papa seperti dulu.” Demikian kilahku ketika, aku tidak tahu harus berkata apalagi dan menunjukan segala kesalahannya.

“Apa yang berubah?, jangan meminta perubahan jika kamu sendiri tidak pula ingin berubah.” Kata-kata itu menyengat di batinku dalam sekejap menguasai dentum-dentum sesak yang tak berperi.

Dan keributan itu berlanjut, semakin keras. Entah apa yang telah ku katakan, apa yang telah dia katakan. Seolah tidak terekam kewarasan. Seperti luka yang di taburi air jeruk nipis. Dan aku tak tahu dari mana kami, terutama aku mendapatkan rasa itu pada awalnya. Semuanya tumpang tindih dalam hatiku. Yang ku ingat adalah saat, ada sesuatu sikap keras kepala darinya yang ingin ku ubah.

Tapi kemudian bergulir, menjadi begitu besar masalah yang tak terselesaikan. Sampai kadang aku tidak tahu apakah pertengkaran-pertengkaran yang lain berhubungan atau tidak. Dan kemudian, pertengkaran kami yang terakhir hanya ada suara gelas pecah.

Aku butuh menangis, aku butuh diriku sendiri. Aku butuh sahabatku, air mata. Gelayur-gelayur rasa, sesal silih berganti. Ini adalah tangisan milik ku. Hanya untuk ku. Takkan ku biarkan siapapun merenggutnya. Bahkan egonya dan juga egoku dan juga keadaan. Saat itu ku rasakan semat-semat kerinduan akan diriku sendiri.

Dalam tangis itu batin ku berkata “aku mencintai diriku sendiri.” Ketika air mataku sudah kosong terperas dan butiran-butirannya membawa sesak dan kehampaan. Namun kemudian kehampaan itu menghantarku pada sesuatu, tapi aku tidak yakin apa itu?. Mungkin kelegaan, dan diriku kembali membisikkan dengan sebuah nyanyian syahdu dan berkata “aku siap untuk saat ini, aku siap mencoba memahami dirinya terutama diriku sendiri.”

***

 

Sudut sang suami

“Gila, … edan…, apa yang telah ku lakukan?.” Aku tidak menyadari kemarahan begitu menguasaiku. Aku begitu kalut. Gelas pecah itu, bukti dari kekecewaan yang yang tak berujung. Harus ku akui, sikap ku yang keras kepala memang sumber masalahnya. Terkadang aku tidak membiarkan siapapun, bahkan istri ku sendiri mendiktenya.

Aku menyadari sepenuhnya, aku ingin berubah. Akan tetapi saat dia meminta merubahnya. Aku merasakan sentuhan-sentuhan ketersinggungan yang sangat besar di hatiku. Aku tidak terima. Dan aku semakin lari.. lari dan lari. Dan yang terjadi adalah sikap itu justru menjadi bumerang untuk hubungan kami. Pikiran-pikiran itu menyertaiku bersama mobil yang sedang ku kendarai melaju saat ini. Seandainya aku bisa menghapusnya, kenangan ini yang ingin ku hapus.

Namun apa daya… Lamunanku tertahan, sementara seorang mengendari motor menyalip mobil ku dari sisi kiri, aku kaget hampir aku kehilangan keseimbangan dan agak oleng kemudiku sedikit ku banting ke kanan. Dan mencoba menyeimbangkannya kembali.

“MON***” Yang ku ingat hanya kata itu, yang tanpa kusadari, mencaci si pengendara motor yang sudah semakin menjauh di depan. Lalu perlahan rasa sesak itu kembali, menenggelamkan diriku di dalam istriku, pertengkaran-pertengkaran dan rasa sakit.

Bias ingatan membawa kembali ke sana ketika kukatakan “…Jika kau ingin aku berubah, maka biarkan ku belajar memahaminya, aku tak ingin siapapun memaksakan hal itu. Termasuk kamu Mama.”

Dan dia menjawab “Apa yang harus kamu pahami, aku sudah tidak lagi mengenalmu. Kamu…”

“Apa maksud mu Mah?, tidak mengenalku, bukankah, semua salah mu juga. Seandainya kamu bisa menerima semua kekuranganku, dan tidak membiarkan dirimu menyuapi ku seperti anak ayam yang sedang lapar, tentu aku akan berubah, tapi kamu terlalu egois dan…”

“Tentunya kamu yang bodoh dan egois Papa, seharusnya kamu bisa lebih bersikap lebih dewasa dalam hal ini, bukannya malah…”

Praaangggg!!!

“Diammmm!!!.” Suara lantang ku memotong, aku tidak kuasa mendengar kelanjutan kata-katanya. Yang ku ingat secara tidak sadar seperti ketika aku memaki si pengendara motor ugal-ugalan barusan. Aku mengambil gelas di samping meja makan, dan membenturkannya ke samping lemari es dan gelas itu pecah berderai.

Kami perlu “bicara” dalam ketenangan. Ketenangan yang saling memahami satu sama lain dan tak berlarut-larut. Suatu rasa yang menghempaskan amarah dan memunculkan pengertian. Yang ku butuhkan saat ini adalah pemaafan… Pemaafan untuk diriku sendiri, terlebih untuk saat ini, aku butuh… aku butuh… Dan persetan kata masyarakat … “aku butuh menangis.”

Rempoa, 10 Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun