“Apa maksud mu Mah?, tidak mengenalku, bukankah, semua salah mu juga. Seandainya kamu bisa menerima semua kekuranganku, dan tidak membiarkan dirimu menyuapi ku seperti anak ayam yang sedang lapar, tentu aku akan berubah, tapi kamu terlalu egois dan…”
“Tentunya kamu yang bodoh dan egois Papa, seharusnya kamu bisa lebih bersikap lebih dewasa dalam hal ini, bukannya malah…”
Praaangggg!!!
“Diammmm!!!.” Suara lantang ku memotong, aku tidak kuasa mendengar kelanjutan kata-katanya. Yang ku ingat secara tidak sadar seperti ketika aku memaki si pengendara motor ugal-ugalan barusan. Aku mengambil gelas di samping meja makan, dan membenturkannya ke samping lemari es dan gelas itu pecah berderai.
Kami perlu “bicara” dalam ketenangan. Ketenangan yang saling memahami satu sama lain dan tak berlarut-larut. Suatu rasa yang menghempaskan amarah dan memunculkan pengertian. Yang ku butuhkan saat ini adalah pemaafan… Pemaafan untuk diriku sendiri, terlebih untuk saat ini, aku butuh… aku butuh… Dan persetan kata masyarakat … “aku butuh menangis.”
Rempoa, 10 Juli 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H