Â
Kembali lagi penulis membahas mengenai adat yang semakin hari semakin tidak karuan yang bukannya melahirkan solusi namun menimbulkan masalah baru baik itu ketika adat itu tidak dilaksanakan maupun dan bahkan ketika sudah dilaksanakan pun masih menimbulkan masalah baru.Â
Oleh karena itu penulis kembali mengangakat mengenai hal ini, tetapi dengan perspektif yang berbeda, yaitu perbaiki atau dibubarkan saja adat ini.
Posisi Adat
Ada satu statement atau pernyataan menarik yang pernah penulis dengar kira-kira seperti ini kata-katanya "Adat itu dilaksanakan baik, tidak dilaksanakan tidak mendatangkan dosa". Dari sini kita bisa melihat bahwa posisi adat itu bukanlah sesuatu yang penting untuk dilaksanakan.Â
Memang seperti yang kita tahu adat itu merupakan identitas kita hidup di Indonesia, tapi bukan berarti tidak melaksanakannya membuat kita durhaka terhadap budaya yang menjadi identitas kita.Â
Dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, dari lahir bahkan sampai matipun kita tetap mempunyai identitas dan budaya yang mengalir di darah kita. Hal itu tidak bisa dihilangkan hanya karena kita tidak melaksanakan adat.
Dan satu hal lagi yang penting, tidak melaksanakan adat bukan berarti kita tidak mengahargai atau tidak menghormati para nenek moyang sang pembuat adat di zaman dahulu atau lebih sederhananya tidak menghormati orang tua kita sendiri.Â
Menurut penulis, konteks menghargai dan menghormati tidak bisa didasarkan kepada pelaksanaan adat, karena adat tidak bisa dijadikan parameter pengukuran untuk menentukan seseorang menghargai orang tua nya atau nenek moyangnya.Â
Karena sejatinya memuliakan orang tua dengan cara bersikap sopan, tidak melawan, meluangkan waktu bersama orang tua dan lain-lain itu sudah termasuk bentuk menghargai dan menghormati orang tua.
Kembali lagi ke pembahasan posisi adat, dimana posisinya yang tidak begitu penting dalam kehidupan ini. Jika kita melihat ada 3 aturan yang selalu mengikuti kita dalam kehidupan ini yaitu aturan agama, aturan negara dan aturan adat. Jika kita melihat aturan agama, aturan agama langsung berhubungan dengan Tuhan sang pencipta yang membuat aturan ini.Â
Dan kedua aturan negara atau aturan pemerintah, di beberapa ajaran agama posisi pemerintah begitu penting dan kita diwajibkan menaati nya bahkan di ajaran agama kristen pemerintah disebut sebagai Wakil Tuhan di dunia.Â
Nah sedangkan adat ini bukanlah siapa-siapa dihapadan Tuhan, dan karena hal itu kiranya janganlah adat mencoba mendominasi atas dua aturan diatasnya yaitu aturan agama dan aturan pemerintah. Cukup sebagai pilihan saja, dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tidak apa-apa, opsi ada pada masing-masing pribadi, jangan dipaksakan.
Saat ini masih ada saja orang yang menganggap adat itu sesuatu yang penting. Oke coba dibuktikan dilapangan contohnya dalam hal pernikahan, hanya pernikahan secara adat saja tanpa pernikahan secara agama dan negara untuk melihat apakah adat itu sesuatu yang penting atau tidak.Â
Ketika pasangan yang sudah menikah secara adat terkena razia di hotel misalnya. Lalu mereka menjawab bahwa mereka sudah menikah walaupun hanya secara adat saja, apakah mereka bisa dilepaskan oleh petugas razia, jelas tidaklah karena tidak ada bukti yang kuat akan hal itu. Sudah tidak berguna, tidak bermanfaat, unfaedah, tidak bisa menjamin apa-apa, ribet dalam pelaksanaan, banyak pula uang keluar untuk melaksanakannya. Jadi intinya adat itu posisinya bukanlah sesuatu yang penting. Â
Penghormatan yang berlebihan
Kadangkala kita melihat di dalam pelaksanaan adat, ada sesuatu yang tidak masuk di akal dan terkesan menuhankan adat. Dimana dalam pelaksanaannya terkesan memberi penghormatan yang berlebihan kepada manusia bahkan melebihi penghormatan kita kepada Tuhan, baik itu kepada paman, orang tua dan lain-lain. Yang kadang kala tidak pernah mereka perbuat hal yang sama kepada Tuhan. Adat dalam hal ini mencoba menggantikan posisi Tuhan yang begitu penting dalam kehidupan sehari-sehari.
Mungkin orang-orang takut ketika ada yang kurang dalam pelaksanaan adat misalnya tidak ada penghormatan yang berlebihan atau bahkan tidak melaksanakan adat, mereka takut akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat sekitar yaitu digosipkan satu kampung atau bahkan dikucilkan dari pergaulan di masyarakat.Â
Menurut saya hal ini tidak apa-apa, bukan sesuatu yang berdampak rugi terlalu besar dalam kehidupan kita, karena kita masih punya Tuhan dan masih punya orang-orang pemerintahan atau orang lain yang akan menolong kita.
Lebih baik disebut tidak beradat dari pada tidak bertuhan, apalagi tidak bernegara, mau tinggal di daerah mana kita kalau kita tidak mempunyai status kewarganegaraan yang sah yang bisa menjamin kehidupan kita.
Dibungkus dengan Agama
Seperti yang kita lihat, kadang kala di dalam pelaksanaan adat ada kegiatan-kegiatan atau diselingi dengan kegiatan berbau agama. Padahal kalau dipikir-dipikir apa yang diperbuat dalam pelaksanaan adat, tidak ada tertulis di kitab suci.Â
Hanya akal-akalan saja untuk membenarkan setiap kegiatan yang salah dari adat itu sendiri. Agama dalam hal ini telah disalahgunakan fungsinya untuk menyampaikan kebenaran dialihkan hanya untuk melegalkan kegiatan yang ada dalam adat atau sederhananya adat dibungkus dengan agama.
Namun, penulis juga tidak menutup mata akan ada beberapa kegiatan adat yang dalam pelaksanaannya merujuk kepada ajaran agama, dimana itu merupakan representasi dari ajaran agama.Â
Akan tetapi bagaimana dengan beberapa kegiatan adat lain yang dibungkus dengan ajaran agama yang jelas-jelas tidak tertulis di kitab suci bahkan kadang kala bertentangan dengan kitab suci ajaran agama. Hal ini menimbulkan permasalahan baru, selain tidak ada dasar dalam pelaksanaan, juga mencari pembenaran melalui kegiatan selingan ajaran agama yang malah menciptakan dosa baru dihadapan Tuhan.
Mempercepat Kematian
Di dalam pelaksanaannya, adat kadang kala menuntut untuk memakai hal-hal yang tidak ramah dengan kesehatan. Ada begitu banyak contohnya, tapi dalam hal ini penulis mengambil penggunaan minuman keras (miras) dan rokok dalam setiap pelaksanaan adat. Sudah banyak jurnal ilmiah beredar luas di internet atau banyak informasi tentang kesehatan yang berbicara tentang berbahayanya penggunaan atau mengonsumsi miras dan rokok secara terus-menerus. Â
Jelas-jelas dalam hal ini, adat tidak mendukung upaya pemerintah dalam menjaga kesehatan masyarakatnya dengan mensosialisasikan bahaya miras dan rokok.Â
Mereka malah menuntut miras dan rokok ini harus ada di dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat, dan yang lebih anehnya hal ini tidak bisa tergantikan. Padahal, sebenarnya hal ini bisa digantikan dengan meminum teh atau kopi atau permen gula-gula manis yang lebih sehat dan tidak seberbahaya miras dan rokok.
Dalam hal ini penulis sebenarnya ingin merubah ritual atau kegiatan-kegiatan yang kadang kala tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya baik dan sebisa mungkin dibikin sesimple atau sesederhana mungkin tanpa mengurangi esensi makna dari ritual kegiatan adat tersebut agar bisa semakin menjadi lebih baik lagi dan tidak merugikan siapapun.
Adat bisa diubah
Jika melihat lebih jauh kebelakang, adat ini tidak mempunyai dasar di dalam pelaksanaannya, hanya diucapkan secara lisan oleh nenek moyang di masa lampau yang diikuti dari generasi ke generasi. Dan melihat hal ini, jika ada yang berkata bahwa adat tidak bisa diubah, maka muncul pertanyaan baru, apa dasarnya bahwa adat tidak bisa diubah.
Sedangkan aturan negara atau aturan pemerintah yang jelas-jelas buatan manusia ini bisa diutak-atik. Tercatat aturan negara sudah mengalami 4 kali pengutak-atikkan yang kita kenal dengan istilah kerennya amandemen undang-undang dasar (UUD) yang kita ingat hal ini terjadi pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Dalam hal ini, adat mencoba menyaingi aturan Tuhan yang ada pada kitab suci yang tidak bisa diutak-atik. Sederhanya begini, adat itu bukan kitab suci yang tidak bisa diutak-atik. Jelaslah kitab suci tidak bisa diutak-atik karena kitab suci dibuat atau ditulis oleh Tuhan sendiri melalui perantara nabi dan rasul-Nya. Yang malah jika mencoba mengutak-atiknya, malah mendatangkan murka Tuhan nantinya.
Jadi intinya, jika ada yang berkata bahwa adat tidak bisa diubah, ini adalah pernyataan yang sangat-sangat salah. Adat itu pada dasarnya aturan tidak berkekuatan hukum kuat, dan karena hal ini, ia pasti dan sangat bisa untuk diubah, hanya butuh pola pikir yang terbuka (open mindset) dan kedewasaan akan perbedaan pendapat serta niat tidak ingin lagi terbelenggu dengan aturan-aturan adat ini. Jika hal ini sudah ada pada mayoritas masyarakat, maka bukan sesuatu yang mustahil untuk mewujudkannya.
Dalam hal ini penulis tidak mengatakan adat ini dibubarkan atau dihilangkan, akan tetapi sebaiknya menurut penulis adat yang rusak ini dipoles atau diperbaiki agar menjadi sesuatu yang baru dan bisa dipergunakan lagi atau istilah sederhananya adat ini di recyle atau di daur ulang.
Oleh: Deotri Totonafo Saro Gulo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H