Adams, sebut aku dengan nama itu. Jangan lupa ada huruf 'S' di ujung belakang namaku, bukan di depannya. Malam ini aku sengaja datang lebih awal ke kafe, Mocha-Mocha, memesan secangkir kopi hitam tanpa gula, menyesapnya perlahan sembari menghirup wangi biji kopi yang menggugah nostalgia. Ahh, bukan tanpa alasan aku memilih tempat ini. Tempat yang penuh dengan kenangan, bukan disini, tetapi diseberang kafe ini. Tempat dimana segala perasaan pernah bercampur aduk sedemikian rupa, dulu.
Jalanan di depan kafe tampak ramai, beberapa kendaraan melintas, hilir mudik, serta orang-orang tampak berlalu lalang, bergegas, memburu waktu, sepulang kerja atau entah dari mana. Lokasi ini memang tidak terletak di jalan utama pusat kota. Ini hanya area kecil di pinggiran ibu kota. Jalanan di depan kafe adalah penghubung antara stasiun monorel dengan area pemukiman distrik nomor 5 penyangga ibu kota.
Jam 8 lebih sedikit. Bulan baru saja merangkak naik, dan aku masih menunggu beberapa dari mereka, bagian dari masa laluku untuk bergabung disini. Masa laluku yang tersimpan tepat di seberang kafe ini, masa laluku di Toko Kue Goela-Goela.
Toko kue Goela-Goela begitu tersohor. Banyak hal yang membuat toko kue Goela-Goela begitu diminati. Pertama dari bahan baku, semuanya pilihan nomor satu. Sebut saja tepung, coklat, telor, gula, mentega, buah-buahan, dan bahan pelengkap lainnya, semua harus dalam kondisi bagus dan diperoleh dari produsen terpercaya. Setiap produsen mengajukan contoh produk bahan bakunya, kemudian pihak toko akan melakukan seleksi bahan baku melalui beberapa tahapan. Hanya yang paling berkualitas saja yang akan digunakan. Sangat selektif.
Selain itu, peralatan yang digunakan juga sangat menunjang pekerjaan sang chef. Memang sih perlengkapan yang dimiliki toko kue tidak secanggih pabrik roti di ibu kota, tapi aku yakin toko kue Goela-Goela mempunyai peralatan memasak yang sesuai dengan jenis kue yang akan diolah. Jangan tanya tentang sang chef, tukang masak di toko kue itu adalah para ahli yang sangat berdedikasi. Mereka sangat patuh dengan resep, dan tentu saja mereka sudah punya pengalaman memasak yang tak perlu diragukan. Sang chef pun sangat menjaga proses pembuatan kue di toko itu sehigienis mungkin. Tanpa toleransi.
Kalian tahu apa yang membuat toko kue Goela-Goela berbeda dengan toko kue yang lain? Toko kue Goela-Goela hanya melayani penjualan kue dengan sistem pesanan. Kalian jangan pernah berharap bisa mencicipi lezatnya kue di toko kue Goela-Goela tanpa memesan terlebih dahulu. Dulu pernah ada pelanggan yang datang bermaksud memborong kue untuk sebuah acara, sayang sekali, pelanggan itu harus pulang dengan tangan hampa. Sang pemilik toko hanya akan membuat kue sesuai jumlah pesanan dari pelanggan, dan kue yang dibuat hanya jenis tertentu sesuai kekhasan yang ditawarkan oleh toko itu.
Tak perlu menjadi bagian dari toko itu untuk sekedar tahu segala sesuatu tentang toko kue Goela-Goela. Tapi sayangnya tidak seperti itu yang terjadi denganku. Aku pernah menjadi bagian dari toko itu, saat toko kue Goela-Goela dipegang oleh generasi ketiga. Oiya, aku lupa bercerita tentang sejarah toko itu. Generasi pertama toko kue sudah ada sejak negeri ini memenangi pertempuran di perang dunia kedua. Usaha keluarga itu awalnya adalah bisnis rumahan yang dulunya dirintis oleh sang pendiri di kawasan ibu kota. Dengan berbagai pertimbangan, sang pendiri memindahkan usahanya ke distrik nomor 5, tempat yang sama dengan hari ini dimana toko kue itu berada. Semua nyaris sama. Tidak ada yang berubah. Kecuali....
"Ngelamun ya!" Suara yang rasanya tak asing tiba-tiba mengagetkanku dan dengan santainya kedua tangan si pemilik suara menepuk punggungku dengan kencang. Itu pasti Fey, cewek modis yang juga kasir toko kue Goela-Goela.
"Hei Fey, sialan kamu ya. Kalo kopi ini tumpah, kamu harus ganti dua cangkir sekaligus!" Aku mencoba menghilangkan rasa kagetku. "Mana Brian? Kalian kok nggak barengan?"
"Brian masih nutup toko, ntar lagi juga nongol. Dams, aku laper nih. Jadi kan kamu yang bayarin? Eh Cacha mana, kok nggak ikutan? Ehh kamu apa kabar, dah lama ya kita nggak ngumpul kayak gini? Maaf ya, tadi pelanggan toko yang terakhir agak bawel, jadi yah tau sendiri lah, urusan kayak gitu kan harus kami selesaikan sendiri, mana mau si bos ngadepin", Fey mengatur duduknya di kursi seberangku, meletakkan tas ranselnya disamping kursi, sambil terus membolak-balik daftar menu, sepertinya dia mencari yang paling mahal, melanjutkan bicara tanpa jeda, seolah aku hanya patung bisu yang tak patut diacuhkan.
Fey dan Brian, mereka pegawai toko kue Goela-Goela, sama sepertiku dulu. Kami sama-sama bergabung di toko itu saat generasi ketiga. Kalau Fey bekerja sebagai kasir di toko, maka Brian bertanggung jawab atas kenyamanan pelanggan toko saat mereka berada di toko kue. Furnitur, lampu, musik, taman, toilet, kebersihan, dan juga keamanan toko adalah tugas Brian. Sejak kepindahan dari ibu kota, toko kue sudah berganti generasi sampai keturunan keempat, hari ini.
"Cacha nggak bisa ikutan Fey, dia lagi di Kota Lama. Dia lagi ada kerjaan disana. Salam buat kalian berdua. Nanti kalau anak kalian menikah, aku pastikan Cacha datang ke acara kalian." Cacha adalah istriku. Tapi dia bukan bagian dari toko kue Goela-Goela. Ehm, walau nggak sepenuhnya benar juga, Cacha adalah pelanggan setia toko yang aku nikahi belasan tahun silam.
"Hai Dams, apa kabarnya? Sendirian saja nih? Cacha....", seseorang bergabung di meja kami. Brian, suami Fey.
"Abang, Cacha lagi sibuk, aku udah tanya tadi ke Adams. Udah langsung pesan makanan aja, emang kamu nggak lapar ya?" Fey menimpali pertanyaan suaminya, menariknya duduk di kursi sebelah kanan Fey, membiarkan Brian tak menyelesaikan pertanyaannya padaku.
"Yaudah, pesen makanan dulu yuk. Tadi aku sengaja nggak pesen duluan, nunggu kalian. Tapi kayaknya setengah cangkir kopi ini sudah cukup bikin aku kenyang." Aku mencoba menengahi perdebatan diantara mereka.
"Dams, kamu tuh ya. Tetap nggak berubah, kopi dan kopi dan kopi. Ingat umur Dams. Aku kira tujuh tahun meninggalkan Goela-Goela, kamu sudah punya minuman favorit baru. Susu putih hangat barangkali, atau es jeruk mandarin. Hahaha, Kopi....", bibirnya dimiringkan ke arahku, kemudian dia tertawa dengan senangnya.
***
Toko sudah seharusnya tutup sejak tadi sore. Tapi pemilik toko tampaknya masih serius dengan beberapa tamu di ruang kerjanya. Terlihat beberapa karyawan sedang merapikan dan membersihkan seluruh bagian toko. Beberapa lampu-lampu toko juga sudah mulai dimatikan. Temaram. Tak lama kemudian satu dua karyawan mulai pamit terlebih dahulu.
"Fey, siapa sih yang lagi di ruangan si bos? Jadi terlambat pulang deh. Aku ada janji mau makan malam diluar ama Cacha." Aku bertanya ke Fey yang sedang sibuk menghitung uang hasil penjualan hari ini. Sementara aku sedang melakukan updating jumlah persediaan bahan baku sampai dengan penutupan toko sore ini. Aku diberikan tugas untuk mencatat, mengontrol pemakaian, serta pemesanan bahan baku ke para penyedia yang sudah diseleksi oleh si bos.
"Nggak tau juga sih Dams, kayaknya orang penting. Tapi yang jelas, salah satunya adalah ibunya si bos kita. Aduh, kamu jangan berisik deh, aku ngitung sampe berapa tadi. Argghhh...." Fey manyun.
 Ibunya si bos, berarti istri dari pemilik toko ini generasi kedua. Nggak biasanya ibunya si bos main kesini. Ahh sudahlah. Pekerjaanku selesai, mau nggak mau aku harus menyimpan semua catatan di lemari arsip di lantai 2, sebelah ruangan si bos. Sedikit berjingkat aku lewat, khawatir mengganggu pembicaraan si bos dan para tamunya.
"Rud, Ibu minta kali ini saja. Dengarkan apa permintaan Mr Lezatto, semua demi toko kue keluarga kita Nak." Suara perempuan yang tak lain adalah ibu si bos terdengar merajuk.
"Rudy nggak bisa Bu, semua bahan yang masuk ke toko ini harus kualitas nomor satu. Bukankah itu tradisi keluarga kita? Bukankah almarhum ayah juga berpesan seperti itu, Bu? Rudy nggak mau ada unsur pewarna, pengawet, atau perasa buatan dari jenis apapun ikut dicampurkan ke dalam adonan kue di toko ini. Tidak akan pernah sedikitpun, Bu!" Jelas sekali terdengar suara si bos naik satu oktaf dari suara sebelumnya.
"RUDY!!! Ibu nggak pernah minta apapun sama kamu. Kali ini saja Ibu minta kamu mengabulkan permintaan ibu. Kamu sudah dengar sendiri apa kata Mr Lezatto. Kalau kamu pakai bahan pemanis buatan dari Mr Lezatto, nggak akan ada yang tahu. Pemanis buatan milik Mr Lezatto juga dari bahan pilihan, aman secara ketentuan dari organisasi kesehatan. Mr Lezatto akan memberikan label kue di toko milik keluarga kita ini Wess Top Pokokmen di acara televisi nasional yang dia pegang. Itu label yang diharapkan semua pengusaha kue di ibu kota, Rud. Ibu kenal baik dengan Mr Lezatto, dia teman Bapak kamu, Nak. Sederhana sekali ini, kamu tinggal pakai pemanis buatan dari Mr Lezatto, dan toko kamu dapat label Wess Top Pokokmen. Demi Ibu ya Nak. Sekali ini saja." sang ibu tidak mau kalah berargumen dengan anaknya.
"Ibu, aku nggak bisa. Tolong jangan...."
Deg! Aku memilih pulang. Tak sanggup aku mendengarkan pembicaraan mereka selanjutnya. Perdebatan itu masih terus berlangsung, dan menghangat.
"Fey, aku pulang ya. Cacha sudah nunggu nih sama anak-anak. Salam buat Brian ya. Pamitin ke si bos juga. Bahan baku buat kue pesanan besok sudah siap di dapur. Daagh...." Aku bergegas meninggalkan toko dengan segala perasaan yang kacau. Aku berlalu tanpa menunggu jawaban dari Fey. Dia nampak kaget, sedangkan tangannya masih memegang uang hasil penjualan hari ini. Dan sepertinya dia harus menghitung dari awal lagi.
"Adaaaams..., kamu lagi-lagi mengacaukan hitungan uangku. Awas ya...!!!" Fey berteriak, dan aku tak sempat lagi mendengar apa yang diucapkannya kemudian.
***
"Rud, aku resign dari toko mulai besok. Sorry aku baru ngasih tahu sekarang." Sapaku pada Rudy hari ini sembari meracik bahan-bahan untuk pembuatan pesanan kue. Sedangkan pegawai lainnya sedang asyik dengan tugas masing-masing di pagi yang sibuk seperti ini. Tidak ada yang sempat mendengarkan pembicaraan kami.
"Dams, apa aku nggak salah dengar? Kamu nggak betah kerja disini? Atau kamu lagi ada masalah sama teman-teman yang lain?" Rudy menampakkan wajah tidak percaya.
"Anak-anakku sudah makin besar, Rud. Usaha Cacha di Kota Lama juga sedang ramai-ramainya. Dia minta aku support dia, Rud. Aku nggak ada masalah dengan kamu atau teman-teman lainnya. Kalian semua adalah keluargaku. Aku harap kamu bisa mengerti keadaanku." Aku mencoba menjelaskan sebaik mungkin atas semua kekagetan Rudy.
"Pintu toko kue Goela-Goela akan selalu terbuka untuk kamu Dams, setiap saat kamu ingin kembali kesini. Tapi aku menghargai pilihan kamu. Hidup itu kan pilihan, meninggalkan atau ditinggalkan. Tapi jangan lupa ajarin teman-teman terkait semua tugas kamu selama ini ya. Pasti sulit buat kami semua untuk mencari pengganti kamu." Rudy terlihat berat sekali kali menyampaikan kata-katanya.
"Ayolah Rud, everything gonna be OK. Oya aku rasa Fey bisa handle semua kerjaanku. Atau kamu bisa pilih salah satu pegawai disini untuk ambil alih tugasku. Kamu bosnya Rud. Oya, bahan-bahan kiriman dari Mr Lezatto yang baru masuk kemarin sore, aku simpan di cabinet lantai 2, sengaja aku pisahkan dari gudang bahan baku di belakang. Aku nggak tahu mau dipakai apaan, karena aku ngerasa nggak order." Aku mengakhiri obrolan pagi ini, tanpa memperhatikan reaksi Rudy atas kata-kataku barusan.
***
"Dams, kamu beneran nggak mau makan? Yah, jadi kami yang harus ngabisin semuanya? Baiklah kalo kamu memaksa." Brian pura-pura sedih sementara tangannya dengan cekatan menumpahkan seluruh lauk ke piringnya.
"Abang, inget lingkar perut dong. Nggak malu sama Adams apa?" Fey seolah nggak rela Brian menghabiskan sisa makanan yang ada di meja.
"Aku senang kok kita bisa ngumpul bareng seperti ini. Maaf ya baru sekarang aku bisa kumpul lagi sama kalian." Aku mengalihkan arah pembicaraan.
"Dams tahu nggak sih, beberapa waktu setelah kamu resign dari Goela-Goela, ada wartawan dan kamerawan datang ke toko lho, acaranya Mr Lezatto. Bos kita keren ya." Dan seperti biasanya Fey selalu mendominasi pembicaraan kami bertiga. "Waktu itu si bos diwawancara tentang rahasia tiga generasi Goela-Goela, tentang rahasia kue dengan bahan alami yang tanpa pengawet, perasa, dan pewarna. Kamu kan tahu sendiri Dams, toko makanan kalo sudah diliput acaranya Mr Lezatto, bakal naik daun. Aku makin kagum ama si bos. Untung aja si bos tetap konsisten menggunakan resep warisan dari pendiri Goela-Goela. Hari gini tetap komit dengan resep leluhur yang pakai bahan alami itu keren lho Dams." Fey terus bercerita, sedangkan pandanganku mengabur ke seberang kafe Mocha-Mocha. Disana terlihat samar, cenderung gelap, Toko Kue Goela-Goela. Lampunya redup. Dan terlihat sepi dan tampak suram.
***
Â
"Hai kalian, jangan sampai ketinggalan info, kalian harus coba, kue di Toko Kue Goela-Goela memang Wess Top Pokokmen, karena dibuat HANYA DARI BAHAN ALAMI, TANPA BAHAN PEWARNA, PENGAWET, DAN PERASA. Mampir distrik nomor 5 nggak lengkap kalo nggak cobain kue di Toko Kue Goela-Goela. Sangat cocok untuk hidangan keluarga dan nggak malu-maluin kalo mau dijadikan oleh-oleh. Pesan sekarang juga. Inget ya, kue di Toko Kue Goela-Goela hanya dapat diperoleh dengan sistem pesanan. Kualitas, rasa, dan tampilan kue Goela-Goela memang Wess Top Pokokmen." Suara Mr Lezatto menggema dari televisi layar datar yang menayangkan iklan, tampak menggantung di sudut stasiun monorel distrik nomor 5. Dan tiba-tiba saja aku mual, dan ingin muntah. Sangat.
***
Namaku Adams. Jangan lupa ada huruf 'S' di ujung belakang namaku, bukan di depannya. Terima kasih untuk Fey dan Brian, atas semua cerita serunya hari ini. Kisah kita akan selalu abadi, selamanya. Aku janji, lain kali Cacha akan aku ajak serta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H