Mohon tunggu...
Deny Kristianto
Deny Kristianto Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menalar Pemilu, Bagaimana Mungkin Kita Tidak Golput?

28 Maret 2019   05:59 Diperbarui: 28 Maret 2019   06:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada minggu-minggu panas jelang pemilu 2019 anjuran tidak golput makin gencar dilakukan. Seruan agar tidak golput sempat dibuat panas melalui viral pernyataan Romo Magnis pada tulisannya berjudul Golput, di harian Kompas tanggal 12 Maret 2019 lalu. Dimana beliau memberi sangkaan yang cukup menyudutkan bahwa pihak golput adalah kaum bodoh, benalu, dan kaum tidak berakal dan seterusnya. 

Tak pelak sangkaan tersebut menuai kontroversi. Tetapi, kita kira wajar bahwa kontestasi politik yang memanas memang berbanding lurus dengan makin naiknya angka melek politik warga bangsa. Oleh sebab itu menjadi penting untuk diketahui semua orang, setidaknya dari muasal secara sejarahnya bagaimana golput menjadi istilah yang selalu muncul saat pemilu. 

Ribut-ribut tentang istilah golongan putih (golput) sebenarnya bukan barang baru bagi bangsa ini.  Istilah golput telah di klaim angkatan '66 (Arif Budiman, dkk) sejak tahun 70-an sebagai sebuah frasa tandingan atas Golongan Karya (Golkar) yang mendominasi corak politik Orba. 

Frasa golongan putih yang digunakan untuk menyebut golongan yang absen dari pemilu sebagai perlawanan atas keblingernya demokrasi Orba saat itu ternyata membudaya dalam spirit demokrasi bangsa kita. Tradisi ini turun-temurun mengambil oposisi politik terhadap pemilu di tahun-tahun berikutnya, hingga sekarang. Namun, benarkah golput pada masa sekarang masih se-idealis golput masa itu?

Arif Budiman bersama adiknya Soe Hoek Gie adalah bagian dari aktivis '66 yang berdiri menantang penguasa dengan mengatasnamakan demokrasi yang sehat. Tentu, mereka berdiri menantang moncong senjata penguasa tidak dengan dasar-dasar keberanian yang ngawur dan membabi buta. Mereka berdiri diatas paham perlawanan akal sehat terhadap mistisme-totalitarian kekuasaan. 

Runtuhnya orde lama yang kemudian melahirnya orde baru, tidak luput dari peran mereka sebagai kaum yang demokratis-militan. Semangat ini identik dengan kaum muda (mahasiswa) sebagai kaum yang selalu bangga akan jargon agent of change. 

Tradisi semangat perubahan dan pembaharuan itu terus dilestarikan lewat beberapa drama politik negara bangsa ini hingga runtuhnya orde baru. Kini jujur saja kita agak risih untuk mengatakan bahwa kita dalam orde reformasi. 

Trauma kekacauan saat itu membuat para aktivis masa kini mulai meninggalkan cara-cara lama yang terang-terangan "subversif". Sehingga, ada beberapa pihak yang setuju untuk mengembalikan golput pada fitrahnya sebagai perlawanan atas kondisi politik saat ini dapat dijalani dengan cara-cara yang kekinian.

Memang, secara sejarah kita tidak dapat mengelak bahwa situasi dan kondisi politik kita hari ini adalah sebuah konsekuensi logis dari drama negara-bangsa kala itu. Berjalannya sejarah membawa kita pada perubahan pemahaman dan spirit yang berbeda pada dunia perpolitikan. 

Golput yang lahir dengan semangat pembaharuan dan perubahan progresif kini lebih sering berisi apatisme, pragmatisme, arogansi akal sehat, hingga arogansi ideologi. Sayangnya, ideologi yang sering diseret-seret ini bukanlah Pancasila tapi, ideologi partikular berdasarkan golongan. Sehingga dunia politik kita sekarang cenderung berisi semacam perang budaya golongan. 

Budaya barat dengan budaya timur-[tengah], budaya asing dengan budaya pribumi, budaya nalar dengan budaya kedunguan dan budaya partisan dengan budaya golput. Akan tetapi ada satu sisi yang lebih miris dari itu semua budaya itu yaitu budaya pembodohan. 

Artinya, dengan seolah gaya berpolitik modern (termasuk golput) tapi justru malah mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan bodoh. Tindakan fanatik sempit, intoleran, penggunaan isu SARA demi angka elektoral, hingga hilangnya persaudaraaan gegara pemilu. 

Akhirnya, golput bukan lagi karena kita melawan, bukan lagi karena kita tahu mana yang terbaik diantara yang terburuk, justru karena kebodohan. Jadi golput memang sebuah kebodohan. Kebodohan yang dimaksud berupa ketidakmampuan untuk mengakses informasi secara benar, lengkap, dan valid, menafsirkannya dengan akal sehat, dan menentukan pilihan berdasarkan hasil pemikiran logis. 

Golput tidaklah dungu atau bodoh sejak lahir, tapi mereka lebih kepada golongan yang sengaja di buat bodoh oleh golongan berkepentingan lainnya. Bertebarannya hoax, fitnah, tuduhan, rancunya sosialisasi pemilu oleh KPU, suburnya ujaran kebencian, bisingnya isu-isu pemilu dan keberpihakan media massa utama pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden membuat kita muak! 

Akhirnya memilih tidak mau tau, dan berakhir dengan kebodohan (tidak mau dan atau mampu menentukan pilihan). Bagaimana mungkin?

Untuk menjawab pertanyaan, "Bagaimana mungkin kita tidak golput?" Kita perlu melihat hubungan kita dengan pemilu. Jadi, pemilu sedang kita apakan sejauh ini kok ya sampai ada yang begitu nafsu dalam memberi dukungan kepada calon atau pasangan calon kontestan pemilu. 

Sudah seharusnya pemilu kita anggap sebagai sesuatu yang "suci" dalam sistem demokrasi tapi faktanya kita sendiri tega memperkosanya. Pemerkosaan pemilu legislatif oleh arus isu-isu utama pemilu presiden adalah bukti nyata bahwa kita sedang dibodohkan oleh sistem yang kita ciptakan sendiri. 

Kegaduhan para pendukung kedua capres-cawapres membutakan perhatian kita terhadap mereka yang akan dipilih untuk menduduki kursi legislatif. Saking ramainya bahasan Jokowi Vs Prabowo di semua saluran media, sebagian besar kita akhirnya melalaikan tetangga satu kampung yang nyaleg. 

Selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana prosesnya bagaimana mungkin tidak golput. Pertama, bangsa kita ngaku modern dan ya, sudah cukup maju dalam penggunaan teknologi nyatanya karakter politiknya masih feodal. Mengapa? 

Sebab pemahaman konstitusional (tentang UUD 1945) kita masih latah Orba dimana seolah presiden masih lebih tinggi kedudukannya dibanding legislatif (DPR) masih diperlakukan seperti raja. Perlu dicatat baik-baik bahwa DPR-MPR, Presiden, dan MA-MK, berkedudukan sama. 

Lalu mengapa pemilihan presiden seolah lebih penting bahkan cenderung fanatis dibanding pemilihan legislatif? Memangnya presiden itu menentukan kebijakan tidak dengan persetujuan DPR? Mesake sekali akal sehatmu, bhosque. 

Lalu kelak kita mengkutuk-kutuk jika ada anggota DPR korupsi? Tidak hadir rapat? Papa dapet bagian dari proyek besar? Lha wong, kita yang asal pilih kok. Kita tidak golput memang, namun kita ngawur. Pilih mana ngawur atau bodoh?

Kemudian hal yang kedua adalah sistem sosialisasi pemilu kita ini tidak efektif. Buktikan saja, kunjungi infopemilu.kpu.go.id rak puyeng sampeyan. Mungkin saja KPU lupa bahwa mbah-mbah kita juga sudah banyak yang pake aplikasi whatsapp jadi mengapa masih mengijinkan bisnis baliho melambung tinggi menembus awan? Demi ekonomi kerakyatan? 

Tapi memang mau dikata apa lagi, silahkan cek daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif untuk pemilu 2019 ini, jan memalukan. Cuman sebatas data diri saja tanpa keterangan prestasinya apa, peran yang telah dilakukan dalam masyarakat apa, karyanya untuk masyarakat apa, minimal mencantumkan visi misi lah. Ini tidak. 

Jadi, ya malu juga sih kalo KPU atau KPUD broadcast di media sosial, lha wong cuma foto dan keterangan yang sama seperti KTP tok. Tidak punya nilai lebih. Nilai hanya lebih di dapat pada amplop yang mungkin diselipkan kepada para tetangga dan sejawat guna bekal berangkat pemilu, 17 Maret esok. Jadi gimana, milih amplop apa milih bodoh?

Kalau kita mau jujur. Tebaran publikasi menggunakan baliho yang justru malah seperti most wanted di pinggir-pinggir jalan yang dipasang oleh CIA. Sebab seringnya mereka pasang tanpa sepengetahuan kita. 

Para caleg di sekitar kita yang tidak mampu mensosialisasikan diri melalui peran, karya dan prestasi bagi masyarakat  ternyata lebih menggunakan sistem kedekatan untuk menggaet pemilih. Misalnya, perkumpulan suku, paguyuban anu, kelompok tani itu, dan lain-lain. 

Saya gak sebut ormas loh ya, nanti ada yang sensi, weka-weka-weka. Akhirnya kita tidak golput, tapi milih orang yang nyangoni saja, guna ngatur kita kelak bila terpilih. Terbuktilah, ketidak-golput-an kita-lah yang melahirkan penguasa yang korup, kolusi, dan nepotis. 

Bagaimana tidak korup, modal balihonya saja sudah mahal belum amplopan dan lain-lainnya. Bagaimana kerjanya modern, semenjak kampanyenya saja tradisional. Bagaimana menjawab kebutuhan rakyat, kampanyenya saja lewat foto-foto diri bukan konkret prestasi, karya dan kontribusi. Bagaimana tidak golput amanat rakyat saja diperkosa. 

Lalu, masihkah kita harus ikut pemilu? Benarkah golput itu bodoh? Biar, biar saja nurani kita yang menjawab! NB: jangan LUPA 17 APRIL 2019 datang ke TPS, sesuai uleman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun