Mohon tunggu...
Deny Kristianto
Deny Kristianto Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menalar Pemilu, Bagaimana Mungkin Kita Tidak Golput?

28 Maret 2019   05:59 Diperbarui: 28 Maret 2019   06:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu kelak kita mengkutuk-kutuk jika ada anggota DPR korupsi? Tidak hadir rapat? Papa dapet bagian dari proyek besar? Lha wong, kita yang asal pilih kok. Kita tidak golput memang, namun kita ngawur. Pilih mana ngawur atau bodoh?

Kemudian hal yang kedua adalah sistem sosialisasi pemilu kita ini tidak efektif. Buktikan saja, kunjungi infopemilu.kpu.go.id rak puyeng sampeyan. Mungkin saja KPU lupa bahwa mbah-mbah kita juga sudah banyak yang pake aplikasi whatsapp jadi mengapa masih mengijinkan bisnis baliho melambung tinggi menembus awan? Demi ekonomi kerakyatan? 

Tapi memang mau dikata apa lagi, silahkan cek daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif untuk pemilu 2019 ini, jan memalukan. Cuman sebatas data diri saja tanpa keterangan prestasinya apa, peran yang telah dilakukan dalam masyarakat apa, karyanya untuk masyarakat apa, minimal mencantumkan visi misi lah. Ini tidak. 

Jadi, ya malu juga sih kalo KPU atau KPUD broadcast di media sosial, lha wong cuma foto dan keterangan yang sama seperti KTP tok. Tidak punya nilai lebih. Nilai hanya lebih di dapat pada amplop yang mungkin diselipkan kepada para tetangga dan sejawat guna bekal berangkat pemilu, 17 Maret esok. Jadi gimana, milih amplop apa milih bodoh?

Kalau kita mau jujur. Tebaran publikasi menggunakan baliho yang justru malah seperti most wanted di pinggir-pinggir jalan yang dipasang oleh CIA. Sebab seringnya mereka pasang tanpa sepengetahuan kita. 

Para caleg di sekitar kita yang tidak mampu mensosialisasikan diri melalui peran, karya dan prestasi bagi masyarakat  ternyata lebih menggunakan sistem kedekatan untuk menggaet pemilih. Misalnya, perkumpulan suku, paguyuban anu, kelompok tani itu, dan lain-lain. 

Saya gak sebut ormas loh ya, nanti ada yang sensi, weka-weka-weka. Akhirnya kita tidak golput, tapi milih orang yang nyangoni saja, guna ngatur kita kelak bila terpilih. Terbuktilah, ketidak-golput-an kita-lah yang melahirkan penguasa yang korup, kolusi, dan nepotis. 

Bagaimana tidak korup, modal balihonya saja sudah mahal belum amplopan dan lain-lainnya. Bagaimana kerjanya modern, semenjak kampanyenya saja tradisional. Bagaimana menjawab kebutuhan rakyat, kampanyenya saja lewat foto-foto diri bukan konkret prestasi, karya dan kontribusi. Bagaimana tidak golput amanat rakyat saja diperkosa. 

Lalu, masihkah kita harus ikut pemilu? Benarkah golput itu bodoh? Biar, biar saja nurani kita yang menjawab! NB: jangan LUPA 17 APRIL 2019 datang ke TPS, sesuai uleman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun