Pada minggu-minggu panas jelang pemilu 2019 anjuran tidak golput makin gencar dilakukan. Seruan agar tidak golput sempat dibuat panas melalui viral pernyataan Romo Magnis pada tulisannya berjudul Golput, di harian Kompas tanggal 12 Maret 2019 lalu. Dimana beliau memberi sangkaan yang cukup menyudutkan bahwa pihak golput adalah kaum bodoh, benalu, dan kaum tidak berakal dan seterusnya.Â
Tak pelak sangkaan tersebut menuai kontroversi. Tetapi, kita kira wajar bahwa kontestasi politik yang memanas memang berbanding lurus dengan makin naiknya angka melek politik warga bangsa. Oleh sebab itu menjadi penting untuk diketahui semua orang, setidaknya dari muasal secara sejarahnya bagaimana golput menjadi istilah yang selalu muncul saat pemilu.Â
Ribut-ribut tentang istilah golongan putih (golput) sebenarnya bukan barang baru bagi bangsa ini. Â Istilah golput telah di klaim angkatan '66 (Arif Budiman, dkk) sejak tahun 70-an sebagai sebuah frasa tandingan atas Golongan Karya (Golkar) yang mendominasi corak politik Orba.Â
Frasa golongan putih yang digunakan untuk menyebut golongan yang absen dari pemilu sebagai perlawanan atas keblingernya demokrasi Orba saat itu ternyata membudaya dalam spirit demokrasi bangsa kita. Tradisi ini turun-temurun mengambil oposisi politik terhadap pemilu di tahun-tahun berikutnya, hingga sekarang. Namun, benarkah golput pada masa sekarang masih se-idealis golput masa itu?
Arif Budiman bersama adiknya Soe Hoek Gie adalah bagian dari aktivis '66 yang berdiri menantang penguasa dengan mengatasnamakan demokrasi yang sehat. Tentu, mereka berdiri menantang moncong senjata penguasa tidak dengan dasar-dasar keberanian yang ngawur dan membabi buta. Mereka berdiri diatas paham perlawanan akal sehat terhadap mistisme-totalitarian kekuasaan.Â
Runtuhnya orde lama yang kemudian melahirnya orde baru, tidak luput dari peran mereka sebagai kaum yang demokratis-militan. Semangat ini identik dengan kaum muda (mahasiswa) sebagai kaum yang selalu bangga akan jargon agent of change.Â
Tradisi semangat perubahan dan pembaharuan itu terus dilestarikan lewat beberapa drama politik negara bangsa ini hingga runtuhnya orde baru. Kini jujur saja kita agak risih untuk mengatakan bahwa kita dalam orde reformasi.Â
Trauma kekacauan saat itu membuat para aktivis masa kini mulai meninggalkan cara-cara lama yang terang-terangan "subversif". Sehingga, ada beberapa pihak yang setuju untuk mengembalikan golput pada fitrahnya sebagai perlawanan atas kondisi politik saat ini dapat dijalani dengan cara-cara yang kekinian.
Memang, secara sejarah kita tidak dapat mengelak bahwa situasi dan kondisi politik kita hari ini adalah sebuah konsekuensi logis dari drama negara-bangsa kala itu. Berjalannya sejarah membawa kita pada perubahan pemahaman dan spirit yang berbeda pada dunia perpolitikan.Â
Golput yang lahir dengan semangat pembaharuan dan perubahan progresif kini lebih sering berisi apatisme, pragmatisme, arogansi akal sehat, hingga arogansi ideologi. Sayangnya, ideologi yang sering diseret-seret ini bukanlah Pancasila tapi, ideologi partikular berdasarkan golongan. Sehingga dunia politik kita sekarang cenderung berisi semacam perang budaya golongan.Â