Secara hitungan kasar, jika setiap siswa minimal mendapat sebelas jenis nilai untuk tiap mata pelajaran maka  setiap siswa perlu memenuhi seratus tujuh puluh enam nilai sesuai dengan kriteria kompetensi lulusan (KKL) dan misalnya seorang guru mengajar 100 siswa, berarti harus mengambil  seribu seratus nilai sepanjang semester untuk seluruh siswa tersebut. Bisa di bayangkan jika sungguh-sungguh hal itu dilaksanakan tanpa taktik dan strategi adalah tindakan pembodohan. Ini baru satu aspek, penilaian.Â
Belum perencanaan, pelaksanaan, proses evaluasi, laporan kegiatan, dan program sekolah lainnya. Nyatanya, penilaian yang banyak, mendetail, rinci, dan mencakup semua aspek diri seorang siswa "bisa diatur" oleh guru zaman now.Â
Ditambah lagi bahwa guru tidak hanya transfer ilmu tapi juga transfer nilai-nilai kehidupan. Selain mengajar, guru juga bertugas mendidik. Berdasarkan beban pekerjaan guru yang makin tidak masuk akal ini, maka proses produksi (baca: belajar-mengajar) juga menjadi makin absurd.Â
Akhirnya produknya adalah manusia dengan kualitas "tidak masuk akal" jua. Jadi sudahkah terjawab dari mana sesungguhnya asal muasal sumber daya manusia negara berkembang kita? Ini tidak perlu dijawab, cukup yakini saja begitulah adanya dunia pendidikan kita. Kelindan persoalan semacam ini bisa dikupas habis-habisan tanpa penyelesaian apapun.Â
Sehingga upaya minimal yang dapat kita lakukan adalah merefleksi kembali serta menyusun ulang strategi penembusan "jalan buntu" ini, dimulai dengan kesadaran. Saya pikir  dengan kisah yang berakhir dengan tragedi ini sementara berakhir pula perjalanan wisata kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H