Mohon tunggu...
Deny Kristianto
Deny Kristianto Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mitos-mitos Dunia Pendidikan Kita

27 Maret 2019   23:21 Diperbarui: 27 Maret 2019   23:26 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembahasan tentang dunia pendidikan di Indonesia memang selalu hangat. Apalagi di tengah deraan penegasan kembali istilah "Negara Berkembang" melalui lelucon yang sedang viral di berbagai media sosial. Video dan meme bertema -- negara berkembang -- selain sebagai hiburan juga dapat dimaksudkan sebagai sindirian (baca:kritik) atas sumber daya manusia Indonesia yang selalu berlabel "kualitas rendah". 

Suka tidak suka sumber daya manusia Indonesia adalah produk dari dunia pendidikan yang serba absurd dan politis. Entah dari peraturan, kurikulum, model, maupun proses pembelajaranya yang selalu satu paket dengan berbagai arah perkembanganya yang absurd. 

Sebab, segala daya upaya perbaikan diarahkan untuk mengejar ketertinggalan level kualitas pendidikan di negara-negara maju. Sedangkan  faktanya di negara-negara maju pendidikannya juga semakin mutakhir. 

Model kejar-kejaran seperti ini tentu adalah upaya yang tidak masuk akal. Belum lagi segala sistem dan infrastruktur penunjang dunia pendidikan kita yang makin menegaskan diri seolah hanya sebagai agen utama penyedia tenaga kerja bagi dunia industri. 

Praktis, pendidikan kita menghamba pada kapitalisme. Tetapi sudah menjadi karakter orang Indonesia yang selalu optimis, bahwa kita hakulyakin bisa mengejar kemajuan bahkan mengalahkan mereka. Maka perlulah kita menilik dunia pendidikan kita sebagai keniscayaan kebutuhan yang begitu penting bagi keberlangsungan kehidupan masa kini.

Dunia pendidikan di Indonesia amatlah rumit, sehingga seolah-olah tidak pernah ada jawaban yang tepat sempurna lagi menyeluruh atas segala persoalan di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari akar permasalahan utama pendidikan di Indonesia secara makro yaitu kebijakan pendidikan, infrastruktur fisik, kemajemukan masyarakat, dan wilayah yang sangat luas yang berkarakter kepulauan. 

Kajian-kajian mengenai sejarah, proses, kebijakan, sistem, arah kemajuan, hingga program-program teknis terkait pelaksanaan dan infrastruktur terkini tentang pemajuan pendidikan di Indonesia sudah cukup kokoh.  

Tersisalah suatu upaya kritik-reflektif sebagai kemungkinan partisipasi pembenahannya pada celah yang jarang diminati, sebab identik kekirian. 

Bisa dimaklumi pasalnya trauma sejarah belumlah sepenuhnya hilang pada masyarakat kita (terkait larangan ideologi komunis yang lazim disebut ideologi kiri). Maka pembahasan ini dapat di mulai dari rekonstruksi sebuah kesadaran yang paling sederhana. Kita ambil saja istilah program wajib belajar. 

Perlu kita pahami kembali bahwa dalam istilah "progam wajib belajar" secara umum, berarti hanya mewajibkan kita untuk belajar bukan sekolah. Sekolah tidak wajib. Sekolah dan belajar  adalah dua hal yang berbeda tetapi menyatu. Sekolah bisa kita batasi pengertiannya sebagai tempat atau lembaga dengan segenap struktur, sistem, identitas, dan infrastrukturnya untuk belajar dan mengajar. 

Sedangkan belajar, adalah proses yang berisi upaya-upaya memperoleh kepandaian dan keterampilan guna penghidupan. Faktanya, masyarakat umum memiliki anggapan bahwa pendidikan adalah sekolah. Sekolah formal yang terdiri dari tingkat dasar hingga universitas padahal hanyalah satu dari sekian banyak wahana proses belajar yang dapat dijangkau oleh kita.

Belajar sebagai substansi pendidikan memiliki opsi, jenis, tipe, waktu, tujuan, dan tempatnya yang amat beragam. Salah satu filsuf pendidikan, George F. Kneller memiliki rekomendasi tentang definisi pendidikan dalam arti luas yang cukup lengkap. Menurutnya pendidikan berarti menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa, watak, dan kemampuan fisik individu. 

Prosesnya seumur hidup. Perluasan definisi ini membawa kita kepada pemahaman betapa beragamnya pilihan pendidikan di luar sekolah formal. Harus diakui, sekolah formal sangat mendominasi dunia pendidikan kita.  Sehingga layaklah bahwa sekolah formal perlu "dipertanyakan" kembali oleh setiap kita yang memiliki kepedulian dan harapan-harapan akan kemajuannya bagi kemaslahatan bersama.

Pertanyaan mengenai bagaimana keberadaan sekolah dengan segenap faedah kontributifnya terhadap masyarakat, mendesak untuk diuraikan. Terlebih, isu-isu arah perkembangan industri 4.0 sudah makin santer di Indonesia. Kita menjadi bagian masyarakat yang tak pelak dalam belenggu sekolah yang diyakini sebagai bagian fundamental proses penghidupan. 

Saking pentingnya, sehingga hampir seluruh orang percaya bahwa sekolah (dari TK, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan Universitas/sederajat) adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh jika ingin menjadi manusia. Sayangnya, dalam dosis ini berarti kita sedang memasuki dunia mitos. Mitos tentang pendidikan. 

Meminjam konsep mitos filsuf sekaligus antropolog kenamaan Mircea Eliade, yang menjelaskan mitos sebagai cerita lama tentang asal-usul dunia atau benda di dunia, yang dengan berbagai jalan menjelaskan mengapa keberadaan manusia begitu adanya, atau mengapa norma-norma budaya masyarakat berkembang sedemikian rupa. Berbekal dengan pemahaman ini saya ingin mengajak anda untuk melakukan "karya wisata" dalam dunia mitos pendidikan di Indonesia.

Kunjungan wisata pertama kita di mulai dari hakikat pendidikan itu sendiri yaitu memanusiakan manusia. Kebanyakan orang enggan untuk mengulik jawaban atas pertanyaan -- apakah benar jika tidak mengikuti pendidikan formal (sekolah) sedari kecil sampai setinggi jangkauan dompet, tidak dapat menjadi manusia? Hal ini ternyata adalah mitos, karena semua orang mengamini tanpa membantahnya bahwa pendidikanlah satu-satunya jalan untuk "menjadi dan bertahan" sebagai manusia. 

Ringkasnya, tidak memungkinkan bahwa seorang anak manusia bisa mengenal baca, tulis, hitung, berpikir, dan bertindak sebagai manusia beradab tanpa menempuh sekolah. Pada ranah ini dapat kita simpulkan sementara bahwa sekolah adalah satu-satunya "jalan buntu yang mau tidak mau harus tetap ditempuh" untuk menjadi manusia.  Kita secara konsisten tetap mengamininya dengan penuh keyakinan bahwa begitulah adanya asal-usul manusia yang beradab. Ya, dari sekolah.

Masih dalam konstelasi pemahaman tentang mitos. Kita akan menambah perbekalan pemahaman kita dengan penjelasan Steven Palmquist sebagai seorang filsuf yang "tidak suka bertele-tele". Ihwal pengertian mitos darinya dapat  digunakan sebagai jembatan pemahaman yang lebih dalam guna menikmati kunjungan wisata ke dunia mitos pendidikan kita. 

Palmquist menjelaskan mitos sebagai riwayat, keyakinan, dan hal-hal maknawi lain yang tak dipersoalkan (tidak pernah dipertanyakan eksistensi kebenaran dan  asal muasalnya). Pada sudut pemahaman ini menjadi semakin jelas bahwa mitos yang saya maksudkan disini bukan sebagai "cerita sekedar dongeng" atau "cerita bohong" tetapi titik berat perspektifnya adalah pada hal-hal maknawi dan fundamental dalam hidup yang seolah tak dipersoalkan. Kita akan melanjutkan perjalanan ini menuju pertunjukan mitos tentang "sekolah yang tak dipersoalkan".

Seperti yang telah saya singgung sedikit di depan bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia, ini dogma. Apa pasal, karena kebanyakan orang hanya menyoal sekolah mahal, sekolah berkualitas, sekolah berstandar, dan soal-soal mengenai sekolah lainnya. Namun, dari soal-soal yang mulia ini saya kira cukup jarang yang mempertanyakan manusia seperti apakah yang diproduksi oleh sekolah-sekolah tersebut. Kita percaya begitu saja akan ke-Maha pentingan sekolah. 

Apalagi jika mencoba menggali rumusan pembubaran atau penghilangan sekolah dalam arti konvensional-formal dari masyarakat kita. Terdengar sangat tidak masuk akal bahkan bisa saja kita dikira orang gila. Tetapi, minimal bukti yang bisa kita lihat adalah dari sedikitnya orang tua/wali (sebagai konsumen) yang mau dan mampu mengkritisi produk yang hendak mereka nikmati. 

Memang, sebagian orang tua milenial makin peduli pada hal itu. Akan tetapi tetap saja akhirnya, mereka toh percaya begitu saja atas merk-merk tertentu pada sekolah. Ada merk sekolah nasional, nasional plus, internasional, favorit, negeri 1, negeri 2, berbasis agama, karakter, lingkungan, dan seterusnya. 

Konon, pengkategorian seperti Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sekolah berstandar internasional (SBI) ini secara resmi sudah tidak digunakan lagi demi mengurangi kesenjangan (Pembatalan; Pasal 50 Ayat 3 UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh MK pada 2013) . Namun bagi para konsumen kategorial ini abadi.  Jadi teranglah bahwa sekolah-sekolah tersebut telah menjadi mitos bagi kita.

Berangkat dari mitos kategorial "yang tak pernah dipersoalkan", kita menuju pertunjukan tentang mitos kesuksesan sebagai buah surga pendidikan. Jika kita lulusan sekolah ternama, maka kita akan sukses. Saya kira ini mitos yang diimani oleh cukup banyak orang. Setidaknya terdapat dua hal yang dapat kita urai tentang mitos ini. 

Pertama, kita tidak pernah dapat mengetahui secara lengkap dan pasti mengapa sebuah sekolah dapat dikatakan "ternama". Informasi ini lebih banyak beredar melalui mulut ke mulut saja, alias berdasarkan isu-su yang beredar sejak lama mungkin dari saudara, teman, tetangga, kenalan, atau pertunjukan kesuksesan para lulusannya. 

Hal-hal inilah yang membuat kita percaya begitu saja bahwa sekolah itu adalah sekolah yang baik bagi anak-anak kita. Tidak pernah dipertanyakan lagi mengapa dan bagaimana bisa mereka memproduksi orang sukses? Kedua, sebenarnya kesuksesan tidak pernah mencapai pengertian objektif. Maksudnya, arti kesuksesan bagi tiap-tiap orang berbeda-beda  (relatif). 

Walaupun demikian, sebagian besar dari kita akan setuju jika kesuksesan bagi seseorang berarti minimal terdiri dari, kestabilan keuangan, prospek karir prestisius, dan kedudukan terhormat secara moral sosial maupun moral agama, syukur-syukur kedudukan secara politik. 

Kepentingan pencapaian semacam itulah yang mendorong kita menjadi sangat pragmatis, bukan kritis. Memang, melimpahnya informasi tentang sekolah-sekolah dari berbagai jenjang dan jenis makin terbuka dan mudah diakses, terutama melalui internet. Tapi apa betul, semua orang tua atau wali siswa selalu melakukan riset mendalam sebelum mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah? Tetap saja, kita memperlakukan sekolah sebagai pabrik orang sukses layaknya mitos.

Kita akan masuk lebih dalam pada karya wisata mitos pendidikan ini yaitu ilmu pengetahuan sebagai salah satu substansi pokok pendidikan. Ilmu pengetahuan (baca: pelajaran atau mata kuliah), akhir-akhir ini sering diibaratkan program-program komputer atau aplikasi smartphone yang didownload dari para guru kemudian diinstal melalui proses belajar-mengajar kedalam diri para siswa. 

Ini reduksionisme, sebab anggapan itu berarti mengurangi derajat kemuliaan manusia sebagai makhluk jika disamakan dengan komputer atau smartphone yang hanya sebatas benda. Tetapi faktanya menunjukan hal demikian. 

Malahan, semakin banyak yang mengira justru komputer lebih pandai dari manusia, benarkah?  Konon pula, proses pembelajaran di sekolah sudah mulai berubah, dari klasikal (belajar di kelas) menjadi learning by doing (banyak prakteknya). Baiklah, ini satu mitos lagi yang tentu perlu juga kita nikmati pesonanya. Meski kabar itu dapat dibenarkan karena adanya perubahan sistem dan kurikulum yang baru (Permendikbud No. 20, 21, 22, 23, 24 Tahun 2016), nyatanya dalam pelaksanaanya justru makin ironis. 

Berawal dari penjejalan mitos sejak dini bahwa setiap siswa harus rajin belajar agar pengetahuannya semakin luas dan bisa menjadi orang sukses. Maka makin banyaklah tugas-tugas siswa zaman now. Sayangnya, para siswa tidak dibekali terlebih dahulu strategi belajar, yang penting tugas selesai, hafalannya bagus maka nilai ulangannya (sekarang dinamakan penilaian) pun bagus dan sekarang ditambah, "dinalar" -- istilah umum yang digunakan siswa untuk menyebut cara berpikir analisis. 

Saya melakukan survey sederhana kepada siswa kelas X (sepuluh), XI (sebelas), dan XII (duabelas) yang hasilnya, 9 dari 10 siswa tidak tahu persis apa itu menalar, apa itu menganalisis, apa tujuannya, apa urgensi kepentingannya dan bagaimana proses melakukan. 

Jelas, hal ini membuktikan bahwa tradisi mitos dalam sistem pembelajaran sangat nyata pengaruhnya terhadap siswa. Kebanyakan mereka gagap dalam menyesuaikan diri pada masa transisi dari budaya menghafal menuju budaya menalar ini. Sebab, tradisi mitos tentang ilmu pengetahuan ini berlangsung sejak jenjang sekolah dasar. Sejak sekolah dasar siswa tidak pernah diajarkan berpikir. Mereka hanya "diinstal" pengetahuan angka, huruf, audio, visual, video, dan penggunaannya pada tiap-tiap pelajaran.

Sejak semula para guru tidak mempersoalkan bahkan secara tegas mengatakan tidak perlu anak SD tahu mengapa dan untuk apa belajar matematika misalnya. Apalagi menjelaskan kepada anak SD bagaimana matematika sangat dibutuhkan olehnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendesak untuk dipelajari secara tekun. Hal-hal tersebut merupakan yang biasa diabaikan. Begitu pula ketika si anak sampai pada jenjang menengah atas atau kejuruan maka, mereka menjadi siswa yang penuh dengan mitos, bukan ilmu pengetahuan. 

Mereka hanya dijejali untuk bisa mengerjakan soal trigonometri tanpa diberi pemahaman sesuai usianya bagaimana trigonometri amat dibutuhkan setiap siswa dalam kehidupan. Sebagai pembuktian lainnya adalah pada jenjang ini para siswa tidak menyadari (bahkan tidak diajarkan) hubungan antara pelajaran bahasa Indonesia yang mempelajari struktur penulisan baku dan ilmiah dengan pelajaran lain yang menugaskan pembuatan karya tulis atau makalah. 

Inilah yang bisa kita telusur sebagai cikal bakal "sarjana copy-paste (copas)", pada jenjang perguruan tinggi. Akhirnya semua ilmu pengetahuan dalam proses belajar hadir, menetap, dan setelah lulus menghilang dari implikasi kehidupan, tersisalah hanya sebagai mitos belaka.

Jelas umumnya hal-hal pragmatis dan pengabaian  seperti itu dilakukan karena dinilai sebagai upaya yang sia-sia dan tentu amat tidak efektif. Lebih dari pada itu, berbagai alasan bisa diajukan mengapa kita hanya cukup mengimani hal-hal yang disebut pelajaran atau mata kuliah. Untuk apa repot-repot mempertanyakan ihwal asal muasal hingga urgensinya dalam keseharian. 

Keterbatasan kemampuan siswa, waktu, tempat, tenaga pengajar, peralatan, biaya, dan unsur pendidikan lainnya  adalah yang yang paling umum dijadikan dasar pengabaian tersebut. Lebih sering, alasanya adalah "nilai", yang penting nilainya bagus. 

Seorang siswa yang nilainya bagus kemudian dianggap bisa menjadi orang sukses. Sedangkan pada pendidikan tinggi kita melihat makin banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan lulusannya. Ini semakin membuktikan bahwa pendidikan sebagai semesta yang logis telah gagal memenuhi fitrah logikanya. Lagi-lagi kita tetap dapat memaklumkannya karena hal itu telah menjadi mitos bagi kita.

Bagaimana asal muasal semua mitos ini bisa lahir? Kita bisa mengambil contoh sederhana atas hal ini sesuai dengan pelaksanaan Permendikbud Edisi Revisi Tahun 2016 mengenai kurikulum 2013. Misalnya pada jenjang SMA, minimal terdapat enam belas mata pelajaran. Penilaian pada setiap mata pelajaran terdiri dari tiga aspek yakni aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 

Aspek sikap setidaknya terdapat empat penilaian, yaitu nilai observasi, nilai diri, nilai antarteman, nilai teman. Aspek kognitif umumnya terdiri dari nilai harian, nilai tengah semester, nilai akhir semester, dan ujian kelulusan seperti Ujian Sekolah (US), sekarang terdapat pula Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). 

Sedangkan untuk aspek keterampilan setidaknya terdapat nilai praktek, proyek, produk, dan portofolio. Lengkapnya dapat dikulik secara mendalam dari banyak peraturan perundang-undangan terkait pendidikan terkini. Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang standar penilaian adalah rekomendasi saya untuk para pembaca jika ingin mengulik maha rumit dan beratnya penilaian di sekolah kita.

Secara hitungan kasar, jika setiap siswa minimal mendapat sebelas jenis nilai untuk tiap mata pelajaran maka  setiap siswa perlu memenuhi seratus tujuh puluh enam nilai sesuai dengan kriteria kompetensi lulusan (KKL) dan misalnya seorang guru mengajar 100 siswa, berarti harus mengambil  seribu seratus nilai sepanjang semester untuk seluruh siswa tersebut. Bisa di bayangkan jika sungguh-sungguh hal itu dilaksanakan tanpa taktik dan strategi adalah tindakan pembodohan. Ini baru satu aspek, penilaian. 

Belum perencanaan, pelaksanaan, proses evaluasi, laporan kegiatan, dan program sekolah lainnya. Nyatanya, penilaian yang banyak, mendetail, rinci, dan mencakup semua aspek diri seorang siswa "bisa diatur" oleh guru zaman now. 

Ditambah lagi bahwa guru tidak hanya transfer ilmu tapi juga transfer nilai-nilai kehidupan. Selain mengajar, guru juga bertugas mendidik. Berdasarkan beban pekerjaan guru yang makin tidak masuk akal ini, maka proses produksi (baca: belajar-mengajar) juga menjadi makin absurd. 

Akhirnya produknya adalah manusia dengan kualitas "tidak masuk akal" jua. Jadi sudahkah terjawab dari mana sesungguhnya asal muasal sumber daya manusia negara berkembang kita? Ini tidak perlu dijawab, cukup yakini saja begitulah adanya dunia pendidikan kita. Kelindan persoalan semacam ini bisa dikupas habis-habisan tanpa penyelesaian apapun. 

Sehingga upaya minimal yang dapat kita lakukan adalah merefleksi kembali serta menyusun ulang strategi penembusan "jalan buntu" ini, dimulai dengan kesadaran. Saya pikir  dengan kisah yang berakhir dengan tragedi ini sementara berakhir pula perjalanan wisata kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun