Saya melakukan survey sederhana kepada siswa kelas X (sepuluh), XI (sebelas), dan XII (duabelas) yang hasilnya, 9 dari 10 siswa tidak tahu persis apa itu menalar, apa itu menganalisis, apa tujuannya, apa urgensi kepentingannya dan bagaimana proses melakukan.Â
Jelas, hal ini membuktikan bahwa tradisi mitos dalam sistem pembelajaran sangat nyata pengaruhnya terhadap siswa. Kebanyakan mereka gagap dalam menyesuaikan diri pada masa transisi dari budaya menghafal menuju budaya menalar ini. Sebab, tradisi mitos tentang ilmu pengetahuan ini berlangsung sejak jenjang sekolah dasar. Sejak sekolah dasar siswa tidak pernah diajarkan berpikir. Mereka hanya "diinstal" pengetahuan angka, huruf, audio, visual, video, dan penggunaannya pada tiap-tiap pelajaran.
Sejak semula para guru tidak mempersoalkan bahkan secara tegas mengatakan tidak perlu anak SD tahu mengapa dan untuk apa belajar matematika misalnya. Apalagi menjelaskan kepada anak SD bagaimana matematika sangat dibutuhkan olehnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendesak untuk dipelajari secara tekun. Hal-hal tersebut merupakan yang biasa diabaikan. Begitu pula ketika si anak sampai pada jenjang menengah atas atau kejuruan maka, mereka menjadi siswa yang penuh dengan mitos, bukan ilmu pengetahuan.Â
Mereka hanya dijejali untuk bisa mengerjakan soal trigonometri tanpa diberi pemahaman sesuai usianya bagaimana trigonometri amat dibutuhkan setiap siswa dalam kehidupan. Sebagai pembuktian lainnya adalah pada jenjang ini para siswa tidak menyadari (bahkan tidak diajarkan) hubungan antara pelajaran bahasa Indonesia yang mempelajari struktur penulisan baku dan ilmiah dengan pelajaran lain yang menugaskan pembuatan karya tulis atau makalah.Â
Inilah yang bisa kita telusur sebagai cikal bakal "sarjana copy-paste (copas)", pada jenjang perguruan tinggi. Akhirnya semua ilmu pengetahuan dalam proses belajar hadir, menetap, dan setelah lulus menghilang dari implikasi kehidupan, tersisalah hanya sebagai mitos belaka.
Jelas umumnya hal-hal pragmatis dan pengabaian  seperti itu dilakukan karena dinilai sebagai upaya yang sia-sia dan tentu amat tidak efektif. Lebih dari pada itu, berbagai alasan bisa diajukan mengapa kita hanya cukup mengimani hal-hal yang disebut pelajaran atau mata kuliah. Untuk apa repot-repot mempertanyakan ihwal asal muasal hingga urgensinya dalam keseharian.Â
Keterbatasan kemampuan siswa, waktu, tempat, tenaga pengajar, peralatan, biaya, dan unsur pendidikan lainnya  adalah yang yang paling umum dijadikan dasar pengabaian tersebut. Lebih sering, alasanya adalah "nilai", yang penting nilainya bagus.Â
Seorang siswa yang nilainya bagus kemudian dianggap bisa menjadi orang sukses. Sedangkan pada pendidikan tinggi kita melihat makin banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan lulusannya. Ini semakin membuktikan bahwa pendidikan sebagai semesta yang logis telah gagal memenuhi fitrah logikanya. Lagi-lagi kita tetap dapat memaklumkannya karena hal itu telah menjadi mitos bagi kita.
Bagaimana asal muasal semua mitos ini bisa lahir? Kita bisa mengambil contoh sederhana atas hal ini sesuai dengan pelaksanaan Permendikbud Edisi Revisi Tahun 2016 mengenai kurikulum 2013. Misalnya pada jenjang SMA, minimal terdapat enam belas mata pelajaran. Penilaian pada setiap mata pelajaran terdiri dari tiga aspek yakni aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.Â
Aspek sikap setidaknya terdapat empat penilaian, yaitu nilai observasi, nilai diri, nilai antarteman, nilai teman. Aspek kognitif umumnya terdiri dari nilai harian, nilai tengah semester, nilai akhir semester, dan ujian kelulusan seperti Ujian Sekolah (US), sekarang terdapat pula Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).Â
Sedangkan untuk aspek keterampilan setidaknya terdapat nilai praktek, proyek, produk, dan portofolio. Lengkapnya dapat dikulik secara mendalam dari banyak peraturan perundang-undangan terkait pendidikan terkini. Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang standar penilaian adalah rekomendasi saya untuk para pembaca jika ingin mengulik maha rumit dan beratnya penilaian di sekolah kita.