Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nabi Nuh Alaihissalam Sebagai Ayah

19 Januari 2025   07:45 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya ada sedikit fragmen tentang kisah Nuh alaihissalam sebagai ayah yaitu dalam Surat Hud (Surat 11) ayat 42 hingga 47. Adapun sebagian besar kisah rasul pertama itu isinya adalah deskripsi penentangan kaumnya terhadap dakwah beliau dan itu sudah sangat masyhur.  Dalam Surat Nuh secara khusus diungkap curahan hati Nabi Nuh kepada Allah Ta'ala tentang cara-cara yang telah beliau lakukan guna membujuk kaumnya agar beriman, selama 950 tahun.

Allah sendiri menyifati kaum Nuh sebagai kaum yang paling zalim dan paling melampaui batas (azhlama wa athgha) (An-Najm: 52), fasik (Adz-Dzariyat: 47),  dan jahat (Al-Ambiya: 77). Mereka menyebut Nuh sebagai 'orang gila' (Al-Qamar: 9), menudingnya sebagai orang yang mencari kedudukan dan kehormatan (An-Nur; 24), memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak punya kelebihan, hanya diikuti orang-orang kampungan yang lekas percaya, sekaligus pembohong (Hud: 27).

Banjir besar adalah klimaks dalam sejarah dan biografi Nabi Nuh alaihissalam. Peristiwa itu merupakan pemisah antara mukmin dan kafir, antara yang selamat di atas kapal dan yang celaka ditenggelamkan.

Ayat ke-42 Surat Hud menggambarkan dahsyatnya banjir bandang itu: "Dan kapal itu berlayar mengangkut mereka di antara gelombang-gelombang besar laksana gunung." Saking besar dan tingginya pergerakan air yang mengucur dari langit dan semburat dari bumi.

Dalam kata-kata Al-Baghawi: "Gelombang itu adalah air yang meninggi lantaran kerasnya tiupan angin, hingga seperti gunung yang besar menjulang."

Wa naada Nuhu ibnahu, dan Nuh memanggil anaknya. Ibnu Katsir menyebut namanya adalah Yam, anak Nuh nomor empat. Sedangkan Al-Baghawi mengatakan namanya Kan'an. Beliau juga menukil riwayat Ubaid bin Umair bahwa nama anak itu adalah Sam.

Wa kaana fi ma'zilin, sedang anaknya itu ada di tempat terpencil. Yakni terpencil posisinya dari kapal.

"Wahai anakku, naiklah ke atas kapal bersama kami dan jangan kamu bersama orang-orang kafir!"

Lafal yang digunakan Nabi Nuh saat memanggil anaknya naik ke atas kapal adalah 'ya bunayya' yang dalam bahasa Arab merupakan panggilan yang paling santun dari seorang ayah kepada anaknya.

Naik ke dalam kapal ini merupakan garis pemisah, anaknya harus memilih dengan siapa ia akan bergabung: bersama orang beriman atau bersama orang kafir? Bukan itu saja, pilihan ini juga dibarengi risiko yang pasti: nyawa.  Bergabung bersama orang beriman berarti selamat, bergabung bersama kafir berarti tenggelam.

Anaknya menjawab,"Aku akan berlindung ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!"

Kata Ibnu Katsir: "Ia merasa yakin -dengan kebodohannya- bahwa taufan banjir itu tidak akan mencapai ujung gunung. Ia yakin bahwa andai dia berada di puncak gunung itu niscaya ia tidak akan tenggelam."

Kondisi yang dihadapi anak Nabi Nuh ini berbeda dengan Firaun yang juga mati ditenggelamkan di Laut Merah. Firaun sudah di ambang maut, hingga ia terpaksa menyatakan persaksian keimanan kepada 'Tuhannya Bani Israil' (persaksiannya tertolak karena dilakukan dalam kondisi yang genting dan sangat terpaksa). Sedangkan anak Nabi Nuh yang kafir ini masih melihat peluang hidup dengan cara lari ke puncak gunung. Dalam hal kesombongan (menolak beriman) pada dasarnya kedua orang ini sama.    

Lagi pula sudah dikatakan bahwa gelombang air bah itu sangat tinggi laksana gunung.

Nuh berkata, "Tidak ada pelindung dari perintah Allah pada hari ini kecuali Yang Memberi Kasih Sayang (Allah)." Yakni benar-benar hanya Allah yang mampu memberi perlindungan dari musibah dan bencana besar ini. Nuh menyebutnya dengan lafal: 'illa man rahima' yang artinya: kecuali Yang Memberi Kasih Sayang. Ia sebutkan satu sifat Allah yang dengan itu diharapkan hati manusia luluh dan tunduk.  

"Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka anak itu termasuk orang yang ditenggelamkan." (Hud: 43)

Ayat menggambarkan satu adegan yang dramatis: ayah dan anak itu akhirnya dipisah oleh ombak besar yang memisahkan keduanya.

Dari sini bisa disimpulkan betapa keras kekufuran anak Nuh yang kafir tersebut. Ia lebih memilih kehilangan nyawa daripada bergabung dengan ayahnya dan orang-orang yang beriman. 

Anak Nuh itu memilih jalan kekafiran sama dengan ibunya (yakni istri Nuh) yang juga kafir.  Demikianlah Nuh, seorang Rasul paling mulia, yang tergolong ulul azmi, ternyata diingkari oleh istri dan salah satu putranya. Senasib dengan Nuh  adalah Luth alaihisssalam. Istri Luth juga kafir, namun kedua putrinya memilih beriman, sebagaimana ayah mereka.

Tentang kafirnya istri Nuh dan Luth di antara disebutkan dalam Surat At-Tahrim ayat ke-10.

"Allah membuat perumpamaan tentang orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat menolong mereka sedikit pun dari siksa Allah, dan dikatakan (kepada kedua istri itu), "Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)."

Kedua istri Nabi tersebut dan putra Nuh yang kafir memilih jalan mayoritas orang di zaman mereka.

Di dalam kitab suci Al-Quran, tidak ada uraian tentang proses pengasuhan dan pembinaan keimanan dalam kehidupan keluarga Nabi Nuh. Kita hanya beroleh ujung dari proses itu berupa kafirnya salah satu putra Nuh. Apakah karena dia lebih dekat kepada ibunya? Atau lebih dekat kepada kaumnya? Karena keimanan manusia itu mengikuti orang yang paling dekat dengannya dan atau ikut pada pemahaman mayoritas orang di sekitarnya, yakni lingkungan sosial di mana dia berada.

Kita sudah tahu betapa kerasnya penentangan kaum Nuh terhadap dakwah Nabi Nuh. Watak serupa tergambar pula pada penentangan putra Nuh terhadap ayahnya. Sikap kafir yang paling keras. Kafir sekafir-kafirnya.

Meski demikian, selaku ayah, Nuh masih berbelas kasih kepada anaknya itu.

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya".

Karena Allah berfirman dalam ayat sebelumnya: "Angkutlah ke dalam kapal itu masing-masing hewan sepasang-sepasang  dan juga keluargamu..." (Hud: 40)  Sedangkan putranya itu termasuk keluarganya. Dan Engkau ya Allah tidak mungkin menyalahi janji-Mu, begitu kata Nuh.

Kata Syaikh As-Sa'dy: "Agaknya Nuh terbawa rasa belas kasihnya bahwa Allah telah menjanjikan keselamatan keluarganya. Nuh menyangka bahwa janji Allah itu bersifat umum, baik bagi yang beriman maupun yang tidak beriman. Maka ia berdoa kepada Allah dengan doa itu. Dengan ini pula ia menyerahkan urusan ini untuk suatu hikmah yang mendalam."

Lantas dalam ayat berikutnya Allah menafikan doa Nuh tersebut: Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."

Nuh berkata: "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi."

Satu kesimpulan terakhir adalah hanya Allah yang mampu memberi hidayah. Betapa pun mulianya seorang nabi dan rasul semacam Nuh alaihissalam, betapa pun keras perjuangan beliau memberi arahan (hidayatul irsyad wal bayan) kepada manusia, termasuk kepada anak dan istrinya, tetap saja petunjuk untuk beriman (hidayatut taufiq) ada di tangan Allah.

"Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang Ia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash: 56)

Wallahu a'lam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun