Di dalam kitab suci Al-Quran, tidak ada uraian tentang proses pengasuhan dan pembinaan keimanan dalam kehidupan keluarga Nabi Nuh. Kita hanya beroleh ujung dari proses itu berupa kafirnya salah satu putra Nuh. Apakah karena dia lebih dekat kepada ibunya? Atau lebih dekat kepada kaumnya? Karena keimanan manusia itu mengikuti orang yang paling dekat dengannya dan atau ikut pada pemahaman mayoritas orang di sekitarnya, yakni lingkungan sosial di mana dia berada.
Kita sudah tahu betapa kerasnya penentangan kaum Nuh terhadap dakwah Nabi Nuh. Watak serupa tergambar pula pada penentangan putra Nuh terhadap ayahnya. Sikap kafir yang paling keras. Kafir sekafir-kafirnya.
Meski demikian, selaku ayah, Nuh masih berbelas kasih kepada anaknya itu.
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya".
Karena Allah berfirman dalam ayat sebelumnya: "Angkutlah ke dalam kapal itu masing-masing hewan sepasang-sepasang  dan juga keluargamu..." (Hud: 40)  Sedangkan putranya itu termasuk keluarganya. Dan Engkau ya Allah tidak mungkin menyalahi janji-Mu, begitu kata Nuh.
Kata Syaikh As-Sa'dy: "Agaknya Nuh terbawa rasa belas kasihnya bahwa Allah telah menjanjikan keselamatan keluarganya. Nuh menyangka bahwa janji Allah itu bersifat umum, baik bagi yang beriman maupun yang tidak beriman. Maka ia berdoa kepada Allah dengan doa itu. Dengan ini pula ia menyerahkan urusan ini untuk suatu hikmah yang mendalam."
Lantas dalam ayat berikutnya Allah menafikan doa Nuh tersebut: Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."
Nuh berkata: "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi."
Satu kesimpulan terakhir adalah hanya Allah yang mampu memberi hidayah. Betapa pun mulianya seorang nabi dan rasul semacam Nuh alaihissalam, betapa pun keras perjuangan beliau memberi arahan (hidayatul irsyad wal bayan) kepada manusia, termasuk kepada anak dan istrinya, tetap saja petunjuk untuk beriman (hidayatut taufiq) ada di tangan Allah.
"Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang Ia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash: 56)
Wallahu a'lam.