Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Shahibil Huut

30 September 2024   06:34 Diperbarui: 30 September 2024   17:43 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

 

Maka bersabarlah kamu (wahai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti 'shahibil huut' (orang yang berada di perut ikan) ketika ia berdoa, sedang ia dalam keadaan marah. Andai sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela." (QS. Nun: 48-49)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebut Nabi-Nya Yunus alaihissalam dengan panggilan yang menyuratkan kedekatan. Shahibil hut --orang yang berada di perut ikan, yakni ikan paus. Wahai Muhammad, janganlah kamu bertindak seperti dia!

Sama halnya jika kita memanggil orang dengan laqab-nya --untuk menunjukkan kedekatan, keakraban dan kasih sayang. Rasul kita memanggil sahabat Abdurrahman bin Shakhr dengan Aba Hirr (bapaknya kucing), memanggil Ali bin Abi Thalib dengan Abu Turab (orang yang berlumur tanah), dan memanggil Aisyah dengan Humaira' (yang pipinya kemerah-merahan).

Jangan kamu seperti 'shahibil hut' artinya kata Syaikh Sa'dy -jangan tiru dia dalam perkara yang menyebabkannya ditelan ikan paus -yakni tiadanya kesabaran menghadapi kaumnya, padahal kesabaran itu wajib.  Ia pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah, kemudian naik kapal. Kemudian kapal itu terlampau berat hingga penumpangnya harus mengundi siapa di antara mereka yang harus dibuang ke laut guna mengurangi beban. Lantas undian itu mengenai dirinya. Maka, ia pun ditelan paus itu dalam keadaan tercela.

Adapun Nabi kita shallallahu alaihi wasallam melaksanakan perintah Allah itu. Beliau memang tidak seperti shahibil hut. Beliau bersabar atas ketentuan Allah dengan kesabaran yang tiada bandingnya di dunia ini.

Yunus alaihissalam dikisahkan berdakwah kepada kaumnya di suatu negeri yang bernama Ninawa. Penduduk negeri itu enggan beriman kepada Yunus meski Yunus mengabarkan adanya ancaman Allah berupa turunnya azab. Lantaran dakwahnya tidak diterima, Yunus menjadi marah  dan meninggalkan kaumnya.

Dalam ayat, kondisi marah Yunus itu dinyatakan dalam wazan maf'ul (makzhum). Seakan-akan Yunus merupakan objek: sesuatu yang ditelan sifat marah hingga marah itu mendominasinya. Masih dalam ayat dinyatakan: andai saja Yunus tidak 'dikejar' nikmat Allah, niscaya dia dicampakkan ke padang tandus dalam kondisi tercela.

***

Setelah ditinggal Yunus, penduduk Ninawa mulai melihat adanya tanda-tanda akan turunnya azab, maka seketika itu mereka beriman pada apa yang didakwahkan Yunus. Allah pun tidak jadi mengazab mereka.

"Dan mengapa tiada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka hingga waktu yang tertentu." (Q.S. Yunus 10: 98)

Yunus juga digelari Dzun Nun (orang yang ada di perut ikan Nun).

Setelah meninggalkan kaumnya, Yunus bertolak ke pelabuhan. Dari sana ia menumpang kapal untuk pergi menuju negeri yang lain.

Di tengah laut, baru disadari bahwa kapal itu kelebihan beban. Maka diadakanlah undian, harus ada yang dibuang ke laut guna meringankan beban kapal. Ternyata yang kena undian adalah Yunus alaihissalam. Penghuni kapal sesungguhnya tidak tega melempar Yunus ke laut lantaran padanya ada tanda-tanda kesalehan. Namun setelah tiga kali diundi selalu saja undian itu jatuh pada Yunus. Apa boleh buat. Demi keselamatan orang banyak dikorbankanlah satu orang. Yunus pun dilempar ke laut. Tubuhnya langsung disambar ikan Nun alias ikan Paus.

Berapa lama Yunus berada di perut ikan?

Ulama tafsir berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat 3 hari, lainnya: 7 hari, 20 hari, hingga 40 hari. Kalau kita ambil durasi yang paling pendek yakni tiga hari maka itu pun sudah merupakan derita yang cukup berat. Tiga hari tanpa makan dan minum, di dalam tiga kegelapan: kegelapan perut ikan, kegelapan samudera dan kegelapan malam.

"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan membuatnya sempit (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: 'Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.' Maka Kami perkenankan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan. Demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Q. S. Al-Anbiya': 87-88)

Yunus berdoa dalam tiga kegelapan itu: laa ilaaha illa anta, subhanaka, innii kuntu minazh zhaalimiin. Tiada tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim.

Karena kesalehannya maka ia teringat pada Rabb-nya. Terucap dari lisannya doa dalam kalimat-kalimat sederhana, namun luar biasa bobotnya, karena diucapkan dari iman yang murni  dan keinsyafan yang paling dalam. Dan, doa itu maqbul.

Maka Kami perkenankan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan...

Itulah nikmat Allah. Nikmat taufik dan pertolongan, serta nikmat penyelamatan dari penderitaan. Nikmat itu dikatakan 'menyusul' dan 'mengejar' Yunus yang keliru karena terlarut emosi.

 "Kemudian ia ditelan ikan besar dalam keadaan tercela." (QS. Ash-Shaffat: 142)

Menurut Syaikh As-Sa'dy, 'tercela' dalam ayat ini yaitu lantaran marahnya kepada Rabb-nya. Marah kepada Rabbnya yakni seakan beliau tidak menerima ketentuan Allah berupa penolakan kaumnya atas dakwahnya.

 "Andai dia bukan golongan orang yang banyak bertasbih kepada Allah." (QS. Ash-Shaffat: 143)

Yakni: dahulunya ia termasuk orang-orang yang berzikir kepada Allah, lagi banyak zikirnya. Berkata Ibnu Abbas: ia termasuk orang yang mengerjakan salat. Berkata Wahb: termasuk orang yang suka beribadah. Kata Al-Hasan: bukan berarti dia salat di dalam perut ikan, akan tetapi dahulunya ia banyak beramal saleh. Kata Adh-Dhahhak: Allah mensyukurinya atas ketaatan yang dulu ia kerjakan.

Said bin Jubair menafsirkan ayat 'Andai dia bukan golongan orang yang banyak bertasbih kepada Allah' yakni ucapan Yunus: laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh zhaalimin. (Tafsir Ma'alimut Tanzil lil Baghawi, Jilid VII hal.60)

 "Niscaya dia akan tetap tinggal di perutnya (ikan) sampai hari kebangkitan." (QS. Ash-Shaffat: 144)

Maksudnya perut ikan itu akan menjadi kuburnya sampai hari kiamat. Akan tetapi karena tasbihnya dan ibadahnya kepada Allah maka Allah selamatkan ia. Demikianlah Allah menyelamatkan orang-orang mukmin saat mereka didera kesulitan.

 "Kami kemudian melemparkannya (dari mulut ikan) ke daratan yang tandus, sedang dia dalam keadaan sakit." (QS. Ash-Shaffat: 145)

Tidak jelas jenis paus apa yang menelan Yunus alaihissalam. Beberapa spesies paus memang makan tidak dengan cara mengunyah mangsanya. Mereka makan dengan semata-mata menyedot dan menelan plankton-plankton dan ikan-ikan kecil dalam jumlah besar. Kebiasaan ikan paus yang lain ialah suka memuntahkan isi perutnya. Demikianlah setelah beberapa hari Yunus berada di perut ikan paus, ikan besar itu memuntahkan isi perutnya hingga Yunus terdampar di daratan yang tandus, tidak ada pepohonan dan tidak ada naungan.

Kondisi fisik Yunus tentu saja sangat parah. Dia sakit dan kehabisan tenaga.

 "Dan telah Kami tumbuhkan untuknya tanaman sejenis yaqthin." (QS. Ash-Shaffat: 146)

Ahli tafsir sepakat bahwa buah yaqthin adalah qar' (sejenis labu atau labu kuning). Di daratan tandus itu ternyata telah ada tetumbuhan sejenis labu. Labu itu bisa dimakan segera untuk memulihkan tenaga.

Ibnu Katsir menyebut pendapat sebagian ulama tentang banyaknya manfaat labu. Di antaranya ialah ia cepat tumbuh dan membanyak dedaunannya lantaran besar dan lunaknya, tidak didekati lalat serta banyak kandungan gizi buahnya. Ia bisa dimakan dalam kondisi mentah atau dimasak terlebih dahulu, buah dan kulitnya sekalian (Tafsir Al-Quranul Azhim libni Katsir, Jilid VI, hal. 366).

 "Seorang tukang jahit mengundang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam untuk menikmati hidangan makan yang disajikannya. Aku mendatangi undangan makan itu bersama Rasulullah. Dia pun menghidangkan ke hadapan Rasulullah roti gandum serta kuah berisi labu dan daging. Lalu aku melihat Rasulullah menjumputi labu itu dari pinggiran pinggan. Maka sejak hari itu aku selalu menyukai labu." Tsumamah mengatakan dari Anas, "Maka kukumpulkan labu itu di hadapan beliau." (Hadis riwayat Al-Bukhari No. 5439)

Yunus alaihissalam dikaruniai pengikut yang banyak.

 "Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih." (QS. Ash-Shaffat: 147)

Untuk zaman itu jumlah seratus ribu lebih adalah populasi yang cukup banyak. Jumlah itu sangat banyak jika dibandingkan dengan pengikut Nuh atau Luth alaihimassalam.

Sudah pasti dalam Islam banyaknya jumlah atau pengikut bukanlah tolok ukur keberhasilan dakwah. Akan tetapi merupakan fitrah manusia jika dia bergembira saat melihat hasil yang tampak (zhahir). Banyaknya pengikut di satu sisi adalah kabar gembira dan tambahan ganjaran di dunia bagi para nabi.

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

 "Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)." [Sahih riwayat Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma'qil bin Yasar]

 "Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para Nabi nanti pada hari kiamat." [Sahih riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa'id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]

Kedua hadis diambil dari: https://almanhaj.or.id/2258-islam-menganjurkan-umatnya-untuk-mempunyai-banyak-anak.html

Kisah Yunus alaihissalam berakhir dengan happy ending, di mana Allah berfirman,

 "Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka beberapa waktu lamanya." (QS. Ash-Shaffat: 148)

Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun