Buku ini merupakan bunga rampai, bukan buku pegangan (handbook) tentang 'psikologi Indonesia' yang dalam terapannya disejajarkan dengan psikologi ulayat (indigenious psychology).Â
Benar bahwa 15 artikel yang termuat dalam buku ini ditulis oleh orang Indonesia dan mengangkat isu-isu psikologi di Indonesia.Â
Juga, seiring dengan kemajuan penelitian di bidang psikologi, sudah banyak mahasiswa, dosen, peneliti dan penulis yang mengembangkan instrumen penelitiannya sendiri (hal.35-37), akan tetapi pertautannya dengan literatur psikologi 'barat' masih sangat kentara.
Ilmu psikologi memang lahir di barat, ke sanalah para pakar psikologi Indonesia merujuk. Psikologi yang dimaksud yaitu psikologi yang pendekatannya empirik, setelah sedikit keluar dari filsafat dan agama.
Judul buku: Psikologi Indonesia
Penyunting: Subhan El Hafiz & Eko A. Meinarno
Cetakan ke-1, September 2019
Penerbit: Rajawali Press, Depok
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 388 halaman
Lantas, apa sih yang dimaksud dengan 'psikologi Indonesia'? Psikologi Indonesia adalah bidang kajian yang membahas isu-isu psikologi dalam setting negara Indonesia, atau isu-isu yang khas dan bercorak Nusantara.Â
Berangkat dari keresahan bahwa jargon-jargon ilmu psikologi banyak diambil dari barat dan sedikit yang merupakan hasil eksplorasi dan elaborasi teoretis dari dalam negeri.Â
Atas dasar keprihatinan itu pula maka pada 2014 didirikanlah Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) yang merupakan gabungan dari belasan institusi pendidikan psikologi di Indonesia. Lembaga ini berhasil memicu lahirnya banyak karya dan kajian psikologi dalam buletin, jurnal dan buku-buku yang ia terbitkan.
Sejarah psikologi Indonesia secara de facto dimulai ketika Slamet Iman Santoso mengajukan pentingnya pendirian lembaga psikologi di Indonesia di tahun 1952.Â
Saat itu, psikologi Indonesia belum cukup berkontribusi di tingkat internasional. Ahli-ahli psikologi yang cukup menonjol dari sisi reputasi ilmiah dan produktivitas berkarya adalah Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (hal. 4).
Sarwono termasuk pengusung gagasan psikologi ulayat: psikologi yang pandangan-pandangannya tidak diambil dari wilayah geografis lain dan hajat manfaatnya ditujukan untuk masyarakat setempat.Â
Psikologi ulayat lebih menekankan kekhasan lokal ketimbang perbedaan dan persamaan antar etnik seperti yang ditemukan dalam psikologi lintas budaya (cross cultural psyschology).
Artikel-artikel dalam buku menunjukkan keberagaman tema yang cukup representatif. Buku menginspirasi bahwa isu apapun yang berasal dari problematika hidup sehari-hari, di tataran lokal hingga nasional, individu atau kolektif, dari kelompok sosial manapun, dari strata ekonomi mana saja -sejauh ada kaitannya dengan studi psikologi bisa diangkat sebagai bahan dan tema penelitian.
Demikianlah masalah hidup melajang, kesurupan, ekspresi duka di kalangan etnik Batak, konsep kebersyukuran, resiliensi (daya lenting) diri dan keluarga, makna tua bagi orang Indonesia hingga konsep diri dan dilema identitas, merupakan tema yang jadi semakin menarik manakala diperdalam menggunakan pisau bedah ilmu psikologi.
Tentu saja yang berkeperluan terhadap wawasan di bidang kajian psikologi bukan hanya para pemangku kepentingan di bidang ilmu psikologi akan tetapi juga disiplin ilmu sosial dan humaniora yang lain, terutama sosiologi, antropologi dan sejarah.Â
Bahkan masyarakat awam sekalipun sangat membutuhkan psikologi (populer) untuk memecahkan masalah-masalah kejiwaan yang mereka hadapi dari saat ke saat.
Pertanyaan: bagaimanakah selaku bangsa, orang Indonesia berusaha menjaga identitas kolektifnya di tengah pergumulan dan konflik psikologis, di seputar konflik identitas yang panjang di antara sesama mereka sendiri?Â
Artikel yang berjudul 'Isu-isu Kebangsaan dalam Ranah Psikologi Indonesia' di bagian 1 'Teori dan Metode' mencoba menawarkan isu-isu mendasar yang menentukan padu tidaknya Indonesia secara politik, sosial, budaya dan kejiwaan.Â
Dinamika dan fluktuasinya pasti sangat menarik untuk dikaji. Menurut para penulis artikel ini, ada empat konsep kebangsaan (yang sangat 'Nusantara' dan karenanya 'ulayat') yang bisa dikembangkan dan diperdalam sebagai subjek kajian: pertama, tentang Pancasila selaku nilai nasional; kedua, isu multukulturalisme; ketiga, gotong royong dan; keempat, masalah wawasan Nusantara.Â
Isu-isu ini lebih mencakup kepentingan kolektif daripada topik-topik parsial yang sebagiannya sudah disebutkan di atas.
Yang menarik pula: bagaimana psikologi ulayat melihat peran agama dalam fenomena-femonena psikologi yang terjadi pada diri orang Indonesia?Â
"Setiap pihak harus memandang agama sebagai potensi positif karena agama sendiri sudah masuk lebih dalam sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep diri sebagian besar masyarakat Indonesia," tulis Subhan El-Hafiz dari Universitas Uhamka (hal. 294).
Psikologi ulayat lebih melihat agama sebagai elemen kejiwaan, pendorong bagi perilaku dan gejala sosial. Oleh karena itu, jangan berharap akan ada norma-norma agama yang dirujuk dalam kajian psikologi ulayat.
Psikologi ulayat mungkin akan mengulik psikologi kaum muslim di Indonesia sebagai sumber inspirasi kajian: bahwa kaum muslim di Indonesia adalah pemeluk agama mayoritas yang beragam dari sisi mainstream ajaran dan subkulturnya. Kajian tentang psikologi kaum muslim dan psikologi Islam merupakan dua subjek yang berada di kamar wacana yang berbeda.
Buku ini berhasil memetakan masalah sehari-hari dari kaca mata 'psikologi Indonesia', bacalah misalnya artikel "Mengapa Menikah? Mencermati Makna Pernikahan bagi Masyarakat Indonesia Saat ini," tulisan Karel K. Himawan dari Universitas Pelita Harapan (hal. 114-152). Juga artikel "Makna Tua di Indonesia," tulisan Made Diah Lestari dari Universitas Udayana (hal.256-276).
Yang agak mengherankan adalah artikel "Pola Belajar Siswa Indonesia". Secara pribadi, awalnya saya sangat tertarik dengan artikel ini. Sebab, yang dimaksud 'pola' pastinya adalah suatu kebiasaan yang kuat yang membudaya dan dilakukan secara repetitif, sehingga bisa diuraikan sebagai deskripsi.Â
Akan tetapi, alih-alih membahas pola belajar siswa di Indonesia, kajian malah mengangkat masalah prokrastinasi yang diteliti sejumlah periset dan mengusulkan self regulated learning sebagai proposisi alternatif belajar. Artinya, ekspektasi kita tentang gambaran 'bagaimana siswa Indonesia belajar' tidak dijumpai dalam tulisan.
Mungkin dalam kepentingannya menguatkan branding 'psikologi Indonesia' yang nativis itu maka penulis merasa perlu menukil cerita-cerita wayang kulit yang mengisahkan para ksatria yang belajar kepada mahaguru.Â
Yaitu ksatria dunia pewayangan yang belajar ilmu-ilmu semadi dan latihan kesaktian (hal.89-90, 94, 95). Sayangnya, warna-warna lokal ini sejujurnya kurang diakrabi generasi milenial bahkan oleh saya yang tergolong generasi X (lahir antara 1965-1980).
Selebihnya buku yang disunting Subhan el Hafiz dan Eko A Meinarno ini -lepas dari kritik di atas, merupakan bacaan inspirasional bagi para peminat psikologi, atau psikologi dalam kombinasinya dengan bidang-bidang ilmu yang lain.
Bagaimanapun, memperdalam psikologi akan sangat membantu kita memetakan dan memecahkan masalah-masalah kejiwaan, sosial dan budaya baik selaku individu, masyarakat dan bangsa.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H