Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mengusung Psikologi yang Lebih Bercorak Indonesia

25 Juli 2023   10:16 Diperbarui: 1 Agustus 2023   13:30 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dilema dalam psikologi. (Sumber: Freepik/Freepik.com via kompas.com) 

"Setiap pihak harus memandang agama sebagai potensi positif karena agama sendiri sudah masuk lebih dalam sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep diri sebagian besar masyarakat Indonesia," tulis Subhan El-Hafiz dari Universitas Uhamka (hal. 294).

Psikologi ulayat lebih melihat agama sebagai elemen kejiwaan, pendorong bagi perilaku dan gejala sosial. Oleh karena itu, jangan berharap akan ada norma-norma agama yang dirujuk dalam kajian psikologi ulayat.

Psikologi ulayat mungkin akan mengulik psikologi kaum muslim di Indonesia sebagai sumber inspirasi kajian: bahwa kaum muslim di Indonesia adalah pemeluk agama mayoritas yang beragam dari sisi mainstream ajaran dan subkulturnya. Kajian tentang psikologi kaum muslim dan psikologi Islam merupakan dua subjek yang berada di kamar wacana yang berbeda.

Buku ini berhasil memetakan masalah sehari-hari dari kaca mata 'psikologi Indonesia', bacalah misalnya artikel "Mengapa Menikah? Mencermati Makna Pernikahan bagi Masyarakat Indonesia Saat ini," tulisan Karel K. Himawan dari Universitas Pelita Harapan (hal. 114-152). Juga artikel "Makna Tua di Indonesia," tulisan Made Diah Lestari dari Universitas Udayana (hal.256-276).

Yang agak mengherankan adalah artikel "Pola Belajar Siswa Indonesia". Secara pribadi, awalnya saya sangat tertarik dengan artikel ini. Sebab, yang dimaksud 'pola' pastinya adalah suatu kebiasaan yang kuat yang membudaya dan dilakukan secara repetitif, sehingga bisa diuraikan sebagai deskripsi. 

Akan tetapi, alih-alih membahas pola belajar siswa di Indonesia, kajian malah mengangkat masalah prokrastinasi yang diteliti sejumlah periset dan mengusulkan self regulated learning sebagai proposisi alternatif belajar. Artinya, ekspektasi kita tentang gambaran 'bagaimana siswa Indonesia belajar' tidak dijumpai dalam tulisan.

Mungkin dalam kepentingannya menguatkan branding 'psikologi Indonesia' yang nativis itu maka penulis merasa perlu menukil cerita-cerita wayang kulit yang mengisahkan para ksatria yang belajar kepada mahaguru. 

Yaitu ksatria dunia pewayangan yang belajar ilmu-ilmu semadi dan latihan kesaktian (hal.89-90, 94, 95). Sayangnya, warna-warna lokal ini sejujurnya kurang diakrabi generasi milenial bahkan oleh saya yang tergolong generasi X (lahir antara 1965-1980).

Selebihnya buku yang disunting Subhan el Hafiz dan Eko A Meinarno ini -lepas dari kritik di atas, merupakan bacaan inspirasional bagi para peminat psikologi, atau psikologi dalam kombinasinya dengan bidang-bidang ilmu yang lain.

Bagaimanapun, memperdalam psikologi akan sangat membantu kita memetakan dan memecahkan masalah-masalah kejiwaan, sosial dan budaya baik selaku individu, masyarakat dan bangsa.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun