Menurut Syaikh As-Sa'dy kalimat 'bal sawwalat lakum anfusakum amra' pada ayat ke-18 itu bermakna: "Kalian mengganggap bagus perkara yang buruk ini dengan memisahkan aku dan Yusuf. Karena Ya'qub melihat dari berbagai indikasi dan kondisi yang tampak, juga dari mimpi Yusuf yang telah diceritakan kepadanya, yang menjadi dasar bagi sikapnya."
Dari redaksi kalimatnya, tampak Ya'qub tidak yakin dengan cerita yang disampaikan putra-putranya. Meski tidak yakin dan tidak membenarkan, Ya'qub memilih bersabar, menahan amarah dan tidak mengambil tindakan atau sanksi yang keras untuk menghukum kesepuluh putranya tersebut.
***
Kasus peradilan kedua ialah fragmen ketika istri Al-Aziz hendak mengajak Yusuf berzina. Selaku pemuda normal, Yusuf sudah berkeinginan pula terhadap wanita itu. Akan tetapi rasa takutnya kepada Allah menghalanginya dari berbuat keji. Sang wanitalah yang aktif sejak semula. Dikuncinya semua pintu dan dengan kecantikan dan kemolekannya ia pun mulai merayu Yusuf.
Sang wanita yang bernafsu mengejar Yusuf, menarik gamisnya ke arah belakang sementara Yusuf menghindar dengan bergerak ke arah yang berlawanan, hingga gamisnya robek di bagian belakang. Tepat ketika gamis Yusuf koyak, di pintu tampaklah Al-Aziz yang baru datang. Sang wanita lantas menuduh Yusuflah yang lebih dulu merayu dan hendak memperkosa. Sebaliknya, Yusuf menyanggah: justru sang wanita yang menggoda dirinya.
Maka, seorang saksi yang dipercaya dari kalangan istana mengajukan suatu pasal penentu keputusan: jika gamis Yusuf robek di depan  berarti benar Yusuf hendak memperkosa dan si wanita melawan. Jika gamisnya robek di belakang berarti Yusuf berusaha menghindar dan si wanitalah yang merenggut gamisnya.
Tentang siapa 'saksi' dari keluarga istri Al-Aziz (wasyahida syahidun min ahliha) ini ada beberapa versi riwayat sebagaimana tertera di dalam Tafsir Ibnu Katsir. Al-Qur`an memang tidak memberi perincian  terkait subjek sejarah ini. Namun yang substansial adalah adanya 'ketentuan pasal pemutus yang ia ucapkan' sebagai pasal yang kredibel dan bisa dijadikan sandaran.
Al-Aziz selaku hakim (pemutus hukum) pada akhirnya berkata, "Yusuf lupakanlah ini! Dan kau istriku mohonlah ampun atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang berbuat salah!"
Kita tahu kelanjutan kisah ini: istri Al-Aziz merancang skenario baru dan Yusuf akhirnya dijebloskan ke dalam penjara, tanpa bukti yang benar.
Kisah ini menguatkan kenyataan bahwa kejujuran, kuatnya persaksian, kebenaran barang bukti tidak serta merta menyelamatkan orangnya dari kezaliman sistem dan penyalahgunaan kuasa politik. Sedangkan pada kasus 'gamis berlumur darah palsu' di atas, barang bukti bisa saja direkayasa, narasi bisa dikarang dan drama yang menguatkan indikasi bisa dipentaskan. Dan berujung pada putusan akhir yang tidak berisiko sama sekali terhadap pelaku kejahatan, baik secara fisik maupun psikis.
***