Ibnu Katsir membawakan hadis sahih riwayat Al-Imam Ahmad dan Al-Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik yang berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidak menzalimi kebaikan seorang mukmin dengan memberinya ganjaran kebaikan di dunia dan pahala di akhirat. Adapun orang kafir, mereka diberi makan lantaran kebaikannya di dunia hingga kebaikannya itu pun habis, dan di akhirat tidak ada satu pun amal baiknya lagi yang berbuah kebaikan.’”
Rupanya semua kebaikan dan kejahatan kita berbuah ganjaran di dunia dan di akhirat. Jika kebaikan kita ‘dibayar’ Allah dengan kebaikan, demikian pula dosa dan kesalahan kita berakibat munculnya musibah-musibah. Untungnya, musibah-musibah yang dialami seorang mukmin menghapus dosa-dosa yang ia lakukan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampai duri yang melukainya melainkan dengannya Allah mengampuni dosa-dosanya.” (Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim)[1]
Demikian pula hukuman pidana di dunia membuat seorang mukmin tidak lagi terkena hukuman di akhirat, sebagaimana hadis tentang wanita di zaman Rasulullah yang dirajam lantaran mengaku berbuat zina. "Ia telah melakukan tobat dengan tobat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya mereka semua akan mendapatkan bagian,” atau sebagaimana disabdakan Rasul shallallahu alaihi wasallam.
Kehidupan yang baik yang dimaksud ayat di atas ternyata adalah ‘baik’ secara kualitatif bukan kuantitatif. Artinya, orang yang hidupnya baik adalah orang yang merasa cukup, puas dan bahagia meski secara hitungan material hartanya tidak banyak. Dia hidup dari rezeki yang halal sehingga merasa tenang, bisa beribadah dan beramal saleh dalam kondisi hati yang lega dan lapang.
Qana’ah dipahami sebagai kondisi mental positif saat melihat ke dalam (inward). Kalaupun ia melihat ke luar (outward) maka ke arah bawah: kepada pihak yang lahiriahnya kurang beruntung dari segi kesejahteraan.
Ayat mendahulukan lafal ‘amal saleh’ (man amila shaalihan) daripada ‘iman’ (wa huwa mu’min) karena amal saleh lebih dominan perannya dalam usaha mewujudkan ‘kehidupan yang baik’ itu. Tentu saja amal saleh itu sendiri harus didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bobot amal saleh dan iman itulah yang menentukan kualitas qana’ah (kecukupan) pada diri mukmin lelaki dan perempuan. Fluktuasi amal dan iman seringkali membuat rasa qana’ah itu berkurang atau bahkan hilang dari hati seorang mukmin. Saat amal saleh mengendur, saat iman merosot lantaran kurang dirawat, muncullah sifat manusia yang asli: suka berkeluh kesah.
“Sungguh, manusia diciptakan suka berkeluh kesah.” (QS. Al-Ma’arij: 19)
Saat seorang mengeluh atas kondisi negatif atau musibah yang ia hadapi, sesungguhnya ia sedang mengeluhkan takdir dan ketentuan Allah atas dirinya, secara langsung atau tidak langsung.
Saat miskin dan kesulitan keuangan seakan-akan ia menyoal: mengapa Allah tidak juga mengangkat derajat ekonominya ke kondisi yang lebih baik? Bukankah selama ini ia sudah meminta, berdoa, beramal saleh, beriman dan hanya mentauhidkan Allah?