Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebermaknaan, Bukan yang Serba Material

24 September 2022   06:54 Diperbarui: 19 April 2024   16:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com

Allah Ta’ala berfirman, 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl (16): 97)

Berkata Ibnu Katsir: “Inilah janji Allah Ta’ala bagi mereka yang beramal saleh yaitu amal yang sesuai dengan Kitabullah  Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dari kalangan lelaki dan perempuan dari Bani Adam yang hati mereka dalam kondisi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Ibnu Katsir menekankan amal saleh itu sebagai amal yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Berarti, amal yang tampak sebagai kesalehan namun tidak ada dasarnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bukanlah ‘amal saleh’ sebagaimana dimaksud ayat di atas.

Amal yang diperintahkan ini memang disyariatkan Allah, lanjut Ibnu Katsir, dengan itu Allah karuniai dia dengan ‘kehidupan yang baik’ di dunia dan ganjaran yang lebih baik di akhirat. Adapun ‘kehidupan yang baik’ itu meliputi segala hal yang menyenangkan dari segala sisi.”

Ibnu Abbas dan segolongan mufassir mengartikan hayatan thayyibah sebagai ‘rezeki yang halal dan baik.’ Adapun Ali bin Abi Thalib menafsirkannya dengan ‘qana’ah’  (merasa cukup).

Ibnu Abbas dalam riwayat lain juga Ikrimah dan Wahb bin Munabbih juga menafsirkannya dengan qana’ah. Ibnu Abbas dikatakan menafsirkannya dengan ‘as-sa’adah’ (bahagia).

Al-Hasan, Mujahid dan Qatadah diriwayatkan berkata: Tidak ada kehidupan yang baik bagi seseorang kecuali di surga. Adh-Dhahhak menafsirkannya sebagai ‘rezeki yang halal dan ibadah di dunia’. Adh-Dhahhak juga berkata: beramal ketaatan dan merasa lapang hati dengannya.

Semua riwayat di atas berasal dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, rata-rata merupakan hadis dhaif.

Ibnu Katsir kemudian membawakan beberapa hadis sahih yang menguatkan tafsiran bahwa maksud ‘hayatan thayyibah’ dalam ayat itu adalah al-qana’ah, yakni ‘merasa cukup’.

Ibnu Katsir membawakan hadis sahih riwayat Al-Imam Ahmad dan Al-Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik yang berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidak menzalimi kebaikan seorang mukmin dengan memberinya ganjaran kebaikan di dunia dan pahala di akhirat. Adapun orang kafir, mereka diberi makan lantaran kebaikannya di dunia hingga kebaikannya itu pun habis, dan di akhirat tidak ada satu pun amal baiknya lagi yang berbuah kebaikan.’”

Rupanya semua kebaikan dan kejahatan kita berbuah ganjaran di dunia dan di akhirat. Jika kebaikan kita ‘dibayar’ Allah dengan kebaikan, demikian pula dosa dan kesalahan kita berakibat munculnya musibah-musibah. Untungnya, musibah-musibah yang dialami seorang mukmin menghapus dosa-dosa yang ia lakukan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampai duri yang melukainya melainkan dengannya Allah mengampuni dosa-dosanya.” (Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim)[1]

Demikian pula hukuman pidana di dunia membuat seorang mukmin tidak lagi terkena hukuman di akhirat, sebagaimana hadis tentang wanita di zaman Rasulullah yang dirajam lantaran mengaku berbuat zina. "Ia telah melakukan tobat dengan tobat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya mereka semua akan mendapatkan bagian,” atau sebagaimana disabdakan Rasul shallallahu alaihi wasallam.

Kehidupan yang baik yang dimaksud ayat di atas ternyata adalah ‘baik’ secara kualitatif bukan kuantitatif. Artinya, orang yang hidupnya baik adalah orang yang merasa cukup, puas dan bahagia meski secara hitungan material hartanya tidak banyak. Dia hidup dari rezeki yang halal sehingga merasa tenang, bisa beribadah dan beramal saleh dalam kondisi hati yang lega dan lapang.

Qana’ah dipahami sebagai kondisi mental positif saat melihat ke dalam (inward). Kalaupun ia melihat ke luar (outward) maka ke arah bawah: kepada pihak yang lahiriahnya kurang beruntung dari segi kesejahteraan.

Ayat mendahulukan lafal ‘amal saleh’ (man amila shaalihan) daripada ‘iman’ (wa huwa mu’min) karena  amal saleh lebih dominan perannya dalam usaha mewujudkan ‘kehidupan yang baik’ itu. Tentu saja amal saleh itu sendiri harus didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bobot amal saleh dan iman itulah yang menentukan kualitas qana’ah (kecukupan) pada diri mukmin lelaki dan perempuan. Fluktuasi amal dan iman seringkali membuat rasa qana’ah itu berkurang atau bahkan hilang dari hati seorang mukmin. Saat amal saleh mengendur, saat iman merosot lantaran kurang dirawat, muncullah sifat manusia yang asli: suka berkeluh kesah.

“Sungguh, manusia diciptakan suka berkeluh kesah.” (QS. Al-Ma’arij: 19)

Saat seorang mengeluh atas kondisi negatif atau musibah yang ia hadapi, sesungguhnya ia sedang mengeluhkan takdir dan ketentuan Allah atas dirinya, secara langsung atau tidak langsung.

Saat miskin dan kesulitan keuangan seakan-akan ia menyoal: mengapa Allah tidak juga mengangkat derajat ekonominya ke kondisi yang lebih baik? Bukankah selama ini ia sudah meminta, berdoa, beramal saleh, beriman dan hanya mentauhidkan Allah?

 Ia tidak melihat pada apa yang telah Allah beri kepadanya tanpa ia minta: ketenangan hidup tanpa gangguan, rezeki kesehatan, kenikmatan indera, istri yang salehah, anak-anak, keluarga, teman dan lingkungan yang saleh, jaminan makan-minum dan tempat tinggal. Apakah ia sudah cukup bersyukur atas semua pemberian Allah itu? Bukankah mustahil ia bersyukur lantaran terlampau banyaknya nikmat Allah yang sudah ia rasakan? Pertimbangan ini luput dari hati dan pikirannya lantaran sibuk dengan keinginan dan cita-cita pribadi yang belum tercapai.

 Akhirnya sebagian manusia berani memprotes Tuhan. Tuhan tidak adil, katanya. Takdir-Nya kejam, katanya. Saat seseorang berkata seperti ini bisa dipastikan imannya sedang lemah. Keyakinannya kepada Allah sedang terguncang. Tugasnya adalah menata cara pandangnya terhadap Allah agar tetap berbaik sangka (huznu zhan). Harapan (raja’)-nya harus lebih ditingkatkan. Ia harus mengingat sifat-sifat Allah yang Maha Rahim, Maha Rauf, dan Maha Adil. Harus mengingat-ngingat kembali banyaknya kebahagiaan dan kenikmatan yang pernah ia reguk sejak lama. Bahkan ia harus mengenang kembali dosa-dosa yang pernah ia lakukan beserta ringannya hukuman yang ia terima. Betapa Allah memaafkan dan menutupi aibnya. Ia juga harus melihat sisi terang dari kepahitan dan kemalangan yang ia hadapi.

Para nabi dan rasul beserta para pengikut mereka, umat-umat terbaik – pernah diguncang dengan cobaan yang sangat hebat. Begitu dahsyat cobaan itu sampai-sampai mereka berkata: kapankah turun pertolongan Allah?

“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)

Allah Jalla Wa ‘Ala berfirman, “Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang membatasinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ankabut: 62)

Allah punya hak prerogatif untuk meluaskan dan menyempitkan rezeki hamba. Dari sini logis kalau kita katakan kita tidak punya hak protes atas ketentuan Allah. Wong Dia Tuhan. Dia yang punya dunia ini. Dia Raja, kita budak. Akan tetapi, di akhir ayat Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Jadi peluasan dan penyempitan rezeki itu didasarkan pada ilmu Allah.

“Sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuara: 27)

Kalau rezeki itu dibuka seluas-luasnya, bukan mustahil si hamba jadi melampaui batas. Diberi kuasa dan kemegahan jadilah ia seperti Firaun. Diberi harta terlalu berlimpah jadi seperti Qarun. Diberi ilmu jadi seperti Haman. ‘Melampaui batas’ di muka bumi. Keberlebihan rezeki itu -dalam rupa kekuasaan, kekayaan dan ilmu pengetahuan-  pasti berdampak pada kondisi psikologis seseorang. Dia jadi arogan, suka merendahkan orang. Jadi zalim. Tindakannya tidak lagi cerdas, tetapi melampaui batas. Ini karena ia merasa telah memiliki segalanya.

Karena itu, hayatan thayyibah tidak bermakna kekayaan yang melimpah ruah, jabatan yang tinggi atau popularitas. Akan tetapi rezeki yang halal, ibadah yang ayem, kehidupan yang serba cukup dan membahagiakan, ketenangan hidup – di dunia, itulah kehidupan yang baik. Dan, di akhirat kelak semua kebaikan itu tentu jauh berlipat ganda, lagi kekal abadi selamanya.

Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun