Mereka bertanya, "Apakah engkau yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?"
Dia (Ibrahim) menjawab, "Sebenarnya patung besar itulah yang melakukan, maka tanyakanlah kepada patung-patung itu jika mereka dapat berbicara."
Maka mereka kembali kepada kesadaran mereka dan berkata, "Sesungguhnya kalian telah menzalimi (diri sendiri)."
Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), "Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara."
Dia (Ibrahim) berkata, "Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudharat kepada kamu?
Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kalian berakal?"
(Al Qur`an Surat Al Ambiya: 58-67)
Logika yang tandas dinyatakan Ibrahim: "Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula mendatangkan mudarat? Celaka kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kalian menggunakan akal?"
Mereka menundukkan kepala, bahasa tubuh yang menunjukkan sikap kelemahan jiwa lantaran tiadanya argumen. Mereka tahu patung-patung itu bisu: benda mati yang tidak bisa membela diri mereka sendiri.
Dalam frame of reference kaumnya Ibrahim, tindakan Ibrahim ini keliru bahkan sangat kurang ajar, tuhan kok dihancurkan? Premis ini justru melemahkan dirinya sendiri: bagaimana tuhan bisa hancur atau bahkan dihancurkan?
Frame of reference itulah yang  hendak diubah dan diguncang lewat aksi lateral Ibrahim. Seharusnya tuhan bisa membela diri saat diserang. Jangankan membela diri, menjawab pertanyaan saja tidak sanggup. Bagaimana menjawab wong tidak bisa mendengar, tidak bisa bicara, tidak bisa melihat, tidak bisa bertindak. Mati. Tidak berdaya.Â