Ini pula yang terjadi pada Sewu Dino. Pembaca setianya mungkin menyayangkan ada banyak detail yang terlewatkan di film dengan utasnya.Â
Sebut saja adegan dimana Dela yang kerasukan Sengarturih mengganggu para penghuni rumah tua tersebut berkali-kali, atau adegan dimana mereka seharusnya berpindah rumah, tapi di film latarnya tetap di situ-situ saja.
Kendati demikian plot yang dihadirkan di film ini dibuat lebih padat. Jika di utas tak disebutkan dengan jelas kapan santet seribu hari (sewu dino) terjadi, di film dijelaskan kalau santet itu tinggal lima hari lagi.
Hal ini memudahkan bagi penonton awam untuk paham apa yang dimaksud dan mengapa film ini berjudul Sewu Dino lewat urgensi dari segi waktu dan tempat yang dijelaskan di film. Sederhana, tidak bertele-tele dan to the point.
Dan seperti yang sudah disebutkan, meski banyak improvisasi di sana sini Sewu Dino tetap berada di jalurnya, bahkan bagian awal dan akhir cerita dibuat sama persis seperti versi utasnya. Hanya bagian konflik di tengah-tengahnya saja yang dibuat sedikit berbeda.Â
Itulah alasan mengapa saya menyebut Sewu Dino diadaptasi dengan cukup baik oleh Kimo Stamboel. Tidak melenceng dan tetap berada dalam pakemnya.
Bahkan para bagi pembaca utasnya pasti ngeh melihat beberapa easter eggs yang mengarah pada kelanjutan dari film ini.Â
Pro Kontra
Jika KKN di Desa Penari dibuak plek plekan sama dengan versi utas yang membuat film terasa sangat datar, Sewu Dino membuat pendekatan sedikit berbeda yang membuat penonton yang sudah atau belum membaca utasnya tertarik untuk menonton film ini.
Namun bukan berarti Sewu Dino lepas dari kritikan. Sebagai pembesut Ratu Ilmu Hitam (2019) dan Ivanna (2022) dengan horornya yang penuh gore, Kimo Stamboel seperti kehilangan sentuhannya.