Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Sewu Dino, Ulasan dan Perbandingan Adaptasinya

27 April 2023   15:53 Diperbarui: 28 April 2023   00:25 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Sewu Dino yang sudah bisa disaksikan di bioskop. Sumber: Instagram Sewu Dino Movie via Kompas.com

Jika ada film yang diadaptasi dari sebuah buku, novel atau utas viral, akan ada tiga tipe penonton. Penonton pertama adalah mereka yang membaca buku, novel atau utas viral, kemudian mengagumi bahkan mungkin memujanya.

Penonton kedua adalah tipikal penonton awam yang tidak tahu menahu dan tidak juga membaca buku, novel atau utas viral tersebut. Cukup jadi penonton konvensional atau asal nonton saja.

Sementara penonton ketiga adalah mereka yang membaca buku, novel dan utas viral, namun tetap menikmati film adaptasinya. Penonton tipe terakhir ini jumlahnya tidak banyak, lebih dominan kedua tipe penonton sebelumnya.

Sewu Dino (sumber: Tribun) 
Sewu Dino (sumber: Tribun) 

Ketika sebuah film berjudul Sewu Dino (2023) yang diadaptasi dari utas atau thread viral pemilik akun twitter Simpleman akhirnya tayang, penontonnya pun pecah jadi tiga kelompok tersebut. Bisa dibilang, saya menjadi penonton tipe ketiga.

Mengapa? Kendati sudah membaca utas tersebut, saya masih bisa menikmati sajian film besutan Kimo Stamboel yang diadaptasi dengan cukup baik dibanding KKN di Desa Penari (2022) yang juga diangkat dari utas penulis yang sama.

Sebenarnya cuplikan film Sewu Dino sudah diperkenalkan dalam sequence zero di post credit KKN di Desa Penari: Extended Version (2022). Cuplikan ini pula yang kita lihat dalam adegan pembuka Sewu Dino. Menariknya, sequence zero tersebut tidak ada dalam utas milik Simpleman.

Sri (sumber: Viva) 
Sri (sumber: Viva) 

Selayaknya film yang diadaptasi dari ribuan tulisan, tidak semuanya bisa dirangkum dalam tayangan berdurasi 1-2 jam saja. Sewu Dino bukan hanya mengadaptasi, tapi juga berimprovisasi dari segi pengembangan karakter, latar hingga plot cerita.

Meskipun demikian, Sewu Dino tidak melenceng dan tetap berada di pakemnya. Kebetulan saya baru sempat membaca utasnya ketika trailer film ini dirilis. Jadi masih fresh untuk menikmati Sewu Dino baik dalam cerita tulisan maupun adaptasi layar lebar.

Berikut ini adalah beberapa perbandingan, ulasan dan juga kelebihan dan kekurangan film Sewu Dino dibanding versi utasnya.

Latar

Sejak KKN di Desa Penari ditayangkan, ada banyak fans yang menggaungkan untuk menayangkan salah satu utas Simpleman yang diyakini lebih horor dan menyeramkan: Sewu Dino.

Ketika trailer film ini ditayangkan, saya pun membaca utas tersebut. Trailernya pun cukup menggambarkan yang ada di utas sesuai imajinasi saya pribadi.

Beberapa perubahan yang terjadi adalah latar dimana di utas disebut kejadian terjadi pada tahun 2001, sementara latar film adalah tahun 2003. Meski latar tahunnya sedikit berbeda, di film kita akan melihat unsur-unsur penguat latar tersebut seperti tape dan kaset, pakaian jadul, serta pecahan mata uang yang berlaku di masanya.

Latar rumah tua (sumber: Kompas.com) 
Latar rumah tua (sumber: Kompas.com) 

Penambahan tape pemutar kaset yang sebenarnya tidak ada di utas adalah untuk dramatisasi film dan itu cukup diterima, khususnya bagi penonton awam yang menginginkan atmosfir lebih horor.

Latar Jawa juga cukup kental meski dirusak oleh dialog campur-campur Indonesia dan Jawa. Akan lebih baik jika menggunakan satu bahasa saja karena dialog gado-gado tersebut lama-lama cukup mengganggu.

Pengembangan karakter

Adaptasi dan improvisasi paling besar adalah pengembangan beberapa karakter yang dibuat sedikit berbeda antara versi utas dan versi film. Meski berkutat pada karakter yang itu-itu saja, ada karakter yang sengaja diubah demi kebutuhan film.

Pertama adalah karakter Karsa Atmojo yang diperankan oleh Karina Suwandi.  Sosok ini digambarkan sebagai wanita yang meski sudah sepuh tapi tetap anggun dan berwibawa, membuat siapapun segan untuk sekedar menatapnya.

Sayangnya penggambaran Mbah Karsa sedikit melenceng di film. Kita akan melihat sosok wanita setengah tua dengan luka mengerikan di sekujur tubuhnya. Dan bagi saya pribadi, Karina Suwandi masih terlalu muda untuk jadi nenek dengan cucu berusia belasan tahun.

Karakter di film (sumber: Cineverse.com) 
Karakter di film (sumber: Cineverse.com) 

Berikutnya adalah Sri (Mikha Tambayong) sebagai karakter utama. Tak ada yang istimewa dari karakter ini, namun jika ditelisik lebih jauh Sri versi film dan versi utas memiliki perbedaan. Di utas, kita mungkin akan bersimpati pada sosoknya, sementara di filmnya penonton akan dibuat kesal dan gregetan olehnya. 

Kredit saya berikan kepada Givina Lukita Dewi yang berperan sebagai Erna. Selain karakternya yang menurut saya paling mendekati "perempuan jawa", di versi film Erna memiliki peran yang cukup penting. Berbeda dengan versi utas yang menurut saya dia hanya menjadi karakter tempelan atau sekedar numpang lewat.

Karakter Dini (Agla Artalidia) juga cukup apik dan memiliki peran lebih banyak dibanding versi utas yang bagi saya sama seperti karakter tempelan lainnya yang kebetulan dapat porsi tampil lebih banyak saja. 

Gisellma Firmansyah yang memerankan sosok penting Dela Atmojo juga patut diacungi jempol. Setidaknya cukup menjiwai sosok "orang kesurupan" dan "orang normal pada umumnya" seperti di utas.

Sayangnya terlalu asyik mengembangkan karakter pendukung membuat film ini lupa akan karakter penting lain seperti Mbah Tamin (Pritt Timothy) yang diutas punya peran vital, tapi di film benar-benar numpang lewat saja.

Dela Atmojo (sumber: Hops.id) 
Dela Atmojo (sumber: Hops.id) 

Untuk karakter Sugik (Rio Dewanto) dan Sabdo Kuncoro (Marthino Lio) saya tak bisa berbicara banyak karena kedua karakter ini memang hanya sekedar diperkenalkan di awal karena mereka akan jadi pemeran utama di kelanjutan film Sewu Dino, yaitu Janur Ireng.

Plot dan alur cerita

Seperti yang sudah disebutkan, durasi dan bajet adalah dua hal utama penghambat adaptasi sebuah buku, novel atau utas ke layar lebar.

Ini pula yang terjadi pada Sewu Dino. Pembaca setianya mungkin menyayangkan ada banyak detail yang terlewatkan di film dengan utasnya. 

Sebut saja adegan dimana Dela yang kerasukan Sengarturih mengganggu para penghuni rumah tua tersebut berkali-kali, atau adegan dimana mereka seharusnya berpindah rumah, tapi di film latarnya tetap di situ-situ saja.

Kendati demikian plot yang dihadirkan di film ini dibuat lebih padat. Jika di utas tak disebutkan dengan jelas kapan santet seribu hari (sewu dino) terjadi, di film dijelaskan kalau santet itu tinggal lima hari lagi.

Hal ini memudahkan bagi penonton awam untuk paham apa yang dimaksud dan mengapa film ini berjudul Sewu Dino lewat urgensi dari segi waktu dan tempat yang dijelaskan di film. Sederhana, tidak bertele-tele dan to the point.

Dan seperti yang sudah disebutkan, meski banyak improvisasi di sana sini Sewu Dino tetap berada di jalurnya, bahkan bagian awal dan akhir cerita dibuat sama persis seperti versi utasnya. Hanya bagian konflik di tengah-tengahnya saja yang dibuat sedikit berbeda. 

Teror mencekam (sumber: Cineverse.com) 
Teror mencekam (sumber: Cineverse.com) 

Itulah alasan mengapa saya menyebut Sewu Dino diadaptasi dengan cukup baik oleh Kimo Stamboel. Tidak melenceng dan tetap berada dalam pakemnya.

Bahkan para bagi pembaca utasnya pasti ngeh melihat beberapa easter eggs yang mengarah pada kelanjutan dari film ini. 

Pro Kontra

Jika KKN di Desa Penari dibuak plek plekan sama dengan versi utas yang membuat film terasa sangat datar, Sewu Dino membuat pendekatan sedikit berbeda yang membuat penonton yang sudah atau belum membaca utasnya tertarik untuk menonton film ini.

Namun bukan berarti Sewu Dino lepas dari kritikan. Sebagai pembesut Ratu Ilmu Hitam (2019) dan Ivanna (2022) dengan horornya yang penuh gore, Kimo Stamboel seperti kehilangan sentuhannya.

Horor dari Sewu Dino terasa kurang nendang meski punya scoring yang mencekam. CGI makhluk halusnya pun bagi saya terasa menggelikan, bukan geli karena jijik atau takut tapi geli karena ingin ketawa saat melihatnya.

Sengarturih yang berwujud seperti kuyang itu lebih seram ketika penampakannya muncul ketimbang saat menyerang manusia. Untunglah masih ada sosok Dela Atmojo yang kerasukan dan berhasil menutupi adegan-adegan horornya.

Kabar baiknya, di post credit kedua ada scene yang cukup menyelamatkan muka Kimo Stamboel dan film ini dimana kita akan melihat kelanjutan dari Sewu Dino yang endingnya memang menggantung.

Semoga di sekuel tersebur MD Pictures selaku rumah produksi memberi kebebasan pada Kimo untuk berkreasi karena saya tahu, ekspektasi pembaca Janur Ireng lebih tinggi ketimbang Sewu Dino dimana ada lebih banyak darah, lebih horor dan lebih mencekam.

Teror mencekam (sumber: Kincir.com) 
Teror mencekam (sumber: Kincir.com) 

N.B:

Meski Sewu Dino juga ada versi novel dengan cerita lebih lengkap dan lebih kompleks, penulis belum sempat membacanya sehingga hanya membuat perbandingan versi utas dengan versi film saja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun