Adzan maghrib berkumandang. Fauzi langsung menyantap nasi bungkus yang sudah disiapkan sebagai menu buka puasa hari itu. Sesendok demi sendok nasi dilahapnya. Maklum itu makanan pertama yang masuk ke dalam perutnya.
Pertama? Ya, beberapa hari terakhir Fauzi memang sengaja tidak sahur. Bukan karena mager, tapi dia memang sedang dalam pengiritan. Jika orang-orang mengirit karena keadaan, Fauzi mengirit karena Ramadan. Masha Allah..
Aku Terpikat Dirimu..
Waktu Aku Memandang Wajahmu..
Kamu Sungguh Memang Cantik..
Sebuah lagu berdendang dari smartphone miliknya, lagu yang sedang viral di media sosial TikTok dan dijadikannya ringtone untuk panggilan masuk.
"Assalamualaikum..." jawab Fauzi buru-buru setelah melihat nama penelepon yang tertera di layar ponselnya yang sudah retak seperti baru patah hati itu.
"Waalaikumsalam, nak. Kamu sudah buka puasa?" balas suara si penelepon.
"Alhamdulilah sudah, bu. Ini sekarang lagi makan," sahut Fauzi sambil mendadak mengunyah tahu bulat di mulutnya.
"Alhamdulilah. Lagi makan apa kamu, nak?"
Sejurus kemudian Fauzi menelan ludah. Nasi dengan lauk tempe dan tahu goreng, ditambah sambal botolan memang jadi menu andalannya di kala berbuka selama seminggu terakhir ini.Â
Sesekali Fauzi menggantinya dengan mie instan sebagai menu berbuka agar tidak bosan. Jangan lupa, dia makan hanya satu kali sehari, yaitu ketika buka puasa. Sungguh menu dan cara makan yang mencerminkan anak kosan.
"Teman di kosan ada yang dikirimin makanan sama orangtuanya, bu. Alhamdulilah aku kebagian," jawab Fauzi sedikit berhalusinasi.
"Oh ya? Pasti makanannya enak-enak."
"Iya, bu. Ada semur daging, ayam goreng, tumis sayur, dan lain-lain." Fauzi makin halu.
Fauzi tentu tak ingin memberitahu yang sebenarnya. Bisa-bisa ibunya di kampung akan kepikiran dan sakit. Mereka berbincang dua-tiga kata lagi. Percakapan seperti ini memang dirindukan olehnya.
Biasanya Ibu Fauzi akan meneleponnya seminggu tiga kali. Fauzi berpikir, ibunya sedang kangen dengan putra satu-satunya yang sedang merantau di ibu kota ini atau.....sesuatu yang Fauzi takutkan saat ini.
"Gimana kerjaan kamu? Jadi dipromosikan habis lebaran?"
Fauzi kembali menelan ludah, kali ini lebih besar.
Teringat jelas di awal tahun pimpinannya menjanjikan kenaikan pangkat karena kinerjanya yang lumayan mengesankan. Jabatan itu sejatinya baru diserahterima kepadanya setelah lebaran.
Apa daya, ketika bulan Ramadan baru jalan beberapa hari, kabar buruk datang. Fauzi jadi salah satu dari beberapa karyawan yang terkena layoff. Perampingan dan restrukturisasi jadi alasan pemberhentian masa kerja tersebut.
"Ini pasti akal-akalan perusahaan agar tidak membayar THR kita."
Itulah beberapa ungkapan para barisan sakit hati, maksudnya barisan karyawan yang mungkin sakit hati karena dipecat.
Bebagai demo layaknya buruh yang menolak UU Ciptaker dilakukan. Para karyawan melakukan demo baik di kantor pusat maupun pabrik. Namun hasilnya seperti mengharapkan kepala daerah yang terpilih menepati janji-janjinya, nihil dan sia-sia.
"Gimana ini, pak? Katanya saya mau naik jabatan setelah lebaran. Ini belum lebaran saya malah kehilangan pekerjaan," serunya pada atasannya ketika mendapat kabar tersebut.
Bukan jawaban memuaskan yang didapatkannya, Fauzi malah mendengar ceramah dan motivasi seperti dari seorang ustad. Bedanya, ini lebih mirip ustad gadungan.
Fauzi dan kawan-kawannya berusaha menuntut hak-hak terakhir mereka. Sudah lebih dua tahun dia bekerja di perusahaan tersebut, setidaknya dia layak mendapatkan uang "terima kasih", bukan sekedar jabat tangan terima kasih tanpa "salam tempel".
Sayangnya agak sulit mendapatkan uang pesangon. Lebih mudah untuk percaya para koruptor akan dimiskinkan ketimbang perusahaannya akan memberikan pesangon yang pantas untuknya.
"Nak, kamu mash disitu kan?"
Fauzi terbuyar dari lamunannya selama sepersekian detik itu.
"Ehh...eh..iya, bu. Rencananya sih begitu, tapi lihat nanti saja," jawabnya sedikit terbata-bata.
"Alhamdulilah, syukurlah...jangan lupa kasih sedekah ya, nak. Omong-omong, kamu benar tahun ini nggak pulang?" tanya Sang Ibu.
Hening sejenak. Ini adalah ketiga kalinya Fauzi tak pulang kampung. Alasannya bukan karena dia takut dengan pertanyaan 'kapan nikah?'.
Tiga tahun lalu, kala masih bekerja di kantor lama, sejenis virus mengguncangkan seluruh dunia. Bukan sekedar demam atau flu saja, virus itu bisa menyebabkan penyakit yang akibatnya fatal.
Satu tahun, dua tahun, bahkan ketika kantor lamanya gulung tikar karena pandemi, Fauzi belum bisa pulang dan merayakan lebaran di kampung.
Selain alasan regulasi, dia takut membawa penyakit ke kampung dan orang-orang tersayangnya yang merasakan akibatnya.
"Bukannya pulang, bisa-bisa malah bikin orang lain berpulang," batinnya saat itu.
Di tahun ketiga, sejatinya Fauzi berniat pulang kampung. Apa daya, kabar buruk bagai petir di siang bolong itu membuyarkan segalanya.
"Nggak bisa, bu. Kerjaan masih banyak. Malah bos suruh aku masuk lebih dulu dari pada kawan-kawan yang lagi liburan atau masih di kampung."
Fauzi menjawab dengan tenang, seolah-olah kalimat itu sudah khatam dihafalkannya dari kertas skrip, dan mungkin membuatnya layak dianugerahi Piala Citra karena akting polosnya tersebut.
"Ya sudah...." jawab si Ibu menandakan percakapan segera berakhir.
Fauzi bernapas lega.
"Oh iya, kemarin ibu ke pasar malem dan lihat ada gamis yang bagus sekali. Kayaknya cakep kalau dipake pas lebaran. Sayang, uang ibu sudah habis buat keperluan lebaran besok. Padahal murah banget, cuman 150 ribuan,"Â celoteh wanita di ujung telepon tersebut.
Fauzi kembali menghela napas. Ibunya adalah contoh wanita sejati karena membuat laki-laki, termasuk anaknya sendiri, harus peka.
"Iya bu, nanti aku kirimin uangnya ya," jawab Fauzi. Terdengar nada berat hati walau hanya sekelibat.
"Aduh, nak. Jangan repot-repot, tapi kalau kamu mau kirim nggak apa-apa. THR kamu bentar lagi turun juga, kan."
Fauzi tersenyum kecut. Masih teringat di akhir bulan tepat setelah dia terkena layoff, ibunya meminta kiriman uang untuk memperbaiki rumah.
Ditambah lagi, ibunya adalah anak pertama di keluarganya. Adik-adik ibunya dengan anak-anak dan cucunya akan datang, artinya butuh salam tempel yang banyak.
Meski demikian, Fauzi termasuk anak berbakti yang mengutamakan keluarganya. 'Rezeki masih bisa dicari', begitu pikirnya. Sayangnya, cicilan motor dan sewa kosan membuat dompetnya kian tipis.
"Ya sudah, ibu pamit dulu ya. Oh iya nak, gamis yang ibu mau itu murah kok, harganya cuman sekitar 150 ribuan, kamu kirim segitu aja ya. Sisihkan buat kamu sendiri, jangan lupa. Wassalamualaikum."
Fauzi tesenyum getir, mungkin ibunya tak tahu saldo di rekeningnya tinggal Rp 158.000. Dan kini uang tersebut sudah bukan miliknya lagi.
"Iya, bu. Waalaikumsalam..."
CCEEETTTRREEEKKK!!
Tiba-tiba listrik di kosannya mati. Ternyata token di kamar Fauzi sudah habis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H