Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjaga Kualitas Demokrasi Lokal Melalui Desa

22 November 2022   08:37 Diperbarui: 23 November 2022   09:00 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterbukaan informasi saat ini memungkinkan desa lebih aktual dan secara kritis mampu memiliki argumentasi yang cukup dalam menyikapi perkembagan zaman.

Berlakunya UU Desa no 6 tahun 2014, memungkinkan proses demokrasi desa bergerak lebih terbuka dan akuntabel. Tidak hanya proses politiknya, tetapi juga proses kebijakan pemerintah juga dapat diukur oleh masyarakat.

Mental demokratis ini akan membantu proses pemilihan umum baik di tingkat lokal maupun nasional dapat berkembang. Masyarakat desa melalui UU tersebut dibiasakan untuk terlibat aktif dalam eskalasi politik.

Pemilihan pemimpim daerah secara langsung tanpa sadar membentuk mental demokratis masyarakat agar dapat bertaggungjawab dengan pilihanya tersebut.

Selain itu dapat merotasi kepemimpinan di level desa yang memungkinkan ada pelajaran politik serta dapat memunculkan kader-kader baru pemimpin desa. Meskipun masih sangat dini, tetapi dengan penerapan demokrasi sampai pada level grass root, akan membentuk kemampuan kritis masyarakat dalam menilai dinamika politik yang terjadi.

Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: pemahaman secara normatif (procedural democracy) dan empirik (substancial) (Afan Gaaffar, 2006).

Secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi secara empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya didalam kehidupan politik praktis.

Artinya bahwa ada dua komponen yang akan dilihat dalam peristiwa pilkada serentak tahun ini. Pertama dari kemampuan penyelenggara pemilu dan kedua, berasal dari kualitas demokrasi melalui pertisipasi masyarakat.

Tetunya hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain ketika kita membicarakan demokrasi. Secara ideal tentunya demokrasi secara prosedural maupun substansial penting bagi sebuah negara dalam menyelenggarakan pemilihan umum yang adil dan bernuansa demokrastis.

Meskipun ada keraguan sebagai akibat dari pandemi, kualitas demokrasinya tidak boleh berkurang. Dan ini adalah pekerjaan rumah yang cukup mengkerutkan dahi.

Semua pihak tentu berharap bahwa pilkada tidak mengurangi kualitas demokrasi meskipun di tengah pandemi dan new normal. Salah satu kualitas itu dapat diukur dari partisipasi masyarakat ketika pemilihan umum dilangsungkan.

Harbert McClosky (Miriam Budiardjo,2008) berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembetukan kebijakan umum.

Artinya bahwa proses pemilihan hari ini tetap mengutamakan kualitas demokrasinya. Bahkan KPU sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pemiliha Umum mencoba menyentuh langsung masyarakat dengan berbagai kebijakan populis..

Pemilih homogen yang segmentasinya berada di pedesaan akan sulit mengungkapkan argumentasi politiknya dikarenakan akses informasi masih dikuasai elit-elit desa. Elit itu bisa berasal dari kalangan birokrasi atau juga bisa berasal dari kalangan masyarakat yang telah melakukan afiliasi dengan partai politik.

Fakta politik ini mungkin berlaku untuk desa-desa di NTT yang sebagian besar masih menggantungkan opini politiknya kepada elit desa. Cara ini tentunya keliru jika ditinjau dari kacamata demokrasi yang mensyaratkan setiap individu dapat merdeka dengan pilihan politiknya.

Kondisi desa hari ini yang secara pendanaan dapat dikatakan surplus, akan membantu penyelenggaraan pilkada berjalan baik. Proses penyelenggaraan pemilu ini tidak hanya mengenai upaya pemerintah dalam menyiapkan jumlah anggaran.

Tetapi, juga perlu diperhatikan kualitas demokrasi warga desa melalui tingkat partisipasi dan juga argumentasi politiknya. Desa tentunya tidak ingin dijadikan sebagai basis massa yang mudah untuk diperdagangkan. Kondisi pandemi ini memungkinkan aktor-aktor politik menjadikan desa sebagai "sapi perah".

Melihat kondisi ekonomi desa yang mengalami kesulitan, para aktor politik akan memainkan peran sebagai Robin Hood. Peran ini dimaninkan secara transaksional dengan sasaran menjadikan desa itu sebagai lumbung suara. Pameran ini juga didistribusikan oleh oligarki desa yang memiliki akses terhadap kepentingan mereka di level Kabupaten.

Penerapan new normal ini disikapi sebagai momen dimana hegemoni informasi tidak lagi dipegang oleh elit desa. Masyarakat desa "mau tidak mau" harus memanfaatkan teknologi untuk menemukan informasi akurat secara langsung tentang kandidat yang akan dipilih.

Metode daring yang direncanakan KPU, sepertinya akan menguntungkan masyarakat dikarenakan mobilisasi massa secara besar-besaran tidak dilakukan lagi. Dengan syarat, bahwa seorang pemilih harus memiliki akses informasi sendiri melalui gadget. Sehingga pemilih tersebut akan mencoba melakukan filterisasi secara mandiri sebelum menentukan pilihan politiknya. Meskipun begitu, ada ketakutan lain dari pemilu kali ini, yakni akan bertambahnya transaksi money politik.

Menjaga desa tetap bersih dari upaya transaksional dapat dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Asalkan lembaga-lembaga tersebut tidak bias dengan iming-iming kedudukan yang dijanjikan partai politik beserta aktornya.

Data dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2019, menunjukan sekitar 74,34% bahwa Aperatur Sipil Negara (ASN) bersikap tidak netral. ASN menjadi penyelenggara negara yang paling tinggi presentase terkait netralitas saat pemilu.

Data ini sebenarnya bisa menunjukan kepada warga desa bahwa oligarki yang diciptakan oleh pemerintah sangat berbahaya. Dikarenakan mereka (ASN) memilki kursi tersendiri di tengah masyarakat, terlebih khusus masyarakat desa yang masih memandang ASN adalah tulang punggung opini publik.

Ini juga bisa mengartikan bahwa kualitas demokrasi desa tidak boleh ditentukan oleh beberapa aktor, tetapi murni berasal dari pangalaman politik masyarakat desa. Demokrasi desa bukan omongan perkumpulan penggila jabatan yang sehari-hari memperdagangkan gagasan untuk kepentingan pribadi. Kondisi apapun dapat dimanfaatkan mereka untuk menambah citra di hadapan warga kampung. Bahkan dengan kondisi kita hari ini yang dilanda banyak kesulitan akibat pandemi Covid-19 tidak menjadi halangan untuk mempengaruhi masyarakat desa.

Oleh karena itu demokrasi pedesaan dibangun atas argumentasi warga kampung yang ingin bersikap kritis terhadap pragmatisme. Warga desa kita perlu menjadi tameng terhadap gangguan mental yang ditimbulkan aktor politik ketika pilkada itu mulai dilangsungkan.

Harapan terbesarnya dengan pandemi ini, ada upaya baik dari warga masyarakat agar lebih giat dalam melakukan verifikasi secara mandiri sebelum menentukan pilihan politiknya. Dikarenakan pemilihan hanya dilakukan sekali untuk 5 tahun kedepan dan nasib warga desa bergantung kepada pemimpin yang telah di pilih. Konsekuensinya bisa menguntungkan masyarakat desa, ataupun sebaliknya.

Masyarakat desa perlu argumentasi politik yang baik agar dapat menyeimbangi dominasi kota yang perlahan-lahan mulai merembes ke desa. Tidak hanya soal sumber daya alam desa yang perlahan-lahan ingin dicaplok, tetapi juga asupan politik masyarakat desa.

Pemerintah desa hari ini tentunya tidak boleh main-main terhadap pertumbuhan demokrasi desa dikarenakan demokrasi secara nasional dapat baik, jika desanya demokratis.

Salah satu watak demokrasi dapat kita temukan dalam kontestasi pemilu, dimana semua warga desa memiliki peran masing-masing untuk ikut berpartisipasi. Jika pemerintah desa gagal dalam mengupayakan demokrasi pedesaan, maka jangan merasa aneh jika desa hanya dijadikan kantong suara dengan bayaran murah.

Fakta politik kita sering menunjukan hal itu dan secara jujur demokrasi pedesaan bertumbuh dengan cara pragmatis. Ini merupakan bahaya masa depan bagi desa yang sedang berusaha keluar dari stigma "ketertinggalan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun