Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi: Cerita Politik Menuju 2024

18 Mei 2022   07:27 Diperbarui: 18 Mei 2022   07:49 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penundaan pemilu 2024 tidak menjadi kenyataan lagi. Politisi perlahan mengatur rumus kemenangan untuk tahun 2024. Isu dan kebijakan pemerintah dijadikan alat untuk menerik simpati masyarakat. Tidak disangkal juga bahwa spanduk dan poster mulai dipajang di sudut -- sudut negara ini. 

Panggung politik memang selalu menarik dan penuh warna. Beginilah demokrasi negara kepulauan terbesar di dunia. Terkadang sungguh-sungguh demokratis tapi juga bertindak demo-kritis, yang berdemo karena kritis dan yang kritis ingin berdemo.

Demokrasi kita semenjak 1998 selalu menelan intrik. Tragedi-tragedi beriringan bersama  tuntutan dari setiap demonstrasi. Terkadang mengundang tawa, tetapi juga ada yang mengundang iba. Logika masa pendemo adalah logika sekumpulan orang yang disuplai oleh teriakan-teriakan, efek gas air mata, tulisan sarkisme, pemblokiran jalan, dan masih banyak lagi yang terjadi ketika berdemo. 

Demonstrasi dalam demokrasi sangatlah penting sebagai lingkaran luar yang mengontrol arus pemerintahan dan produkkebijakan. Sejak semula ketika piagam Magna Carta tahun 1215 dilahirkan sudah menunjukan bahwa kekuatan sipil tidak bisa di pandang sebelah mata. 

Kita tentu masih ingat bagaimana revolusi prancis 1789 ketika otoritas kerajaan diruntuhkan karena kelaparan merajarela di prancis. Cheos adalah simbol bahwa sipil bisa bertindak anarkis hanya karena "sebuah roti".

Demokrasi La Sape

La Sape adalah praktek gaya hidup yang berkembang di negara Kongo sejak tahun 1980-an. Praktek sosial ini menggambarkan individu berpenampilan modis dengan busana mewah dan mahal. Kelompok La Sape ini menamakan diri mereka sebagai Sapeurs. 

Seorang Sapeurs tidak peduli akan kondisi ekonomi ataupun femomena kemiskinan, melainkan sangat peduli terhadap penampilan dan gaya. Para Sapeurs ini sering datang di tempat-tempat keramaian seperti pasar untuk menunjukan penampilan mahal mereka. 

Kondisi ini sangat kontras dengan fakta fenomena kemiskinan di Kongo. Data IMF (Internasional Monetary Fund) tahun 2021, Republik Demokratis Kongo termasuk salah satu dari 10 Negara termiskin di Benua Afrika[1]. Padahal negara ini berpotensi menjadi negara kaya, tetapi karena stabilitas politik dan kekerasan sosial membuat negara ini masuk dalam lingkaran kemiskinan. 

Misalkan saja menurut laporan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tahun 2017 antara 12 Maret -19 Juni sekitar 251 orang menjadi target pembunuhan dan korban pembunuhan di luar hukum dan termasuk 62 anak -- anak menjadi korba[2].

 Konflik kekerasan itu berlanjut di tahun 2020 dipicu oleh konflik etnis yang memakan korban jiwa 1.300 dan memaksa 400.000 orang mengungsi[3]. Ditengah itu semua antara konflik politik, kekerasan sosial, dan kemiskinan Negara Kongo, masih ada Sapaeurs yang eksis dengan busana mewah dan penuh warna dan tampil layaknya artis.

 Fenomena mewah ala Sapeurs dipraktekan oleh politisi -- politisi yang nimbrung dalam hingar-bingar demokrasi Indonesia. Bagi sebagain orang, penampilan adalah simbol yang menunjukan berkualitasnya seseorang. Kemewahan menjadi tolak ukur untuk mendapat perhatian masyakat seperti La Sape di Kongo. 

Tidak heran jika potret ini nampak dalam kegiatan politik Indonesia karena memang dinamika politik dan demokrasi kita sangat mahal. Data tahun pemilu 2019 saja sudah memakan cost dari APBN sebesar 25,59 Triliun dan itu naik 61% dari tahun 2024 yang memakan anggaran 15,62 Triliun[4]. 

Artinya biaya pemilu kita selalu mengalami kenaikan anggaran setiap periodenya dan ini belum terhitung anggaran dari kantong-kantong pribadi politisi beserta partai politiknya. Inilah mengapa politik transaksional mulus bermain dalam ranah demokrasi elektoral kita. Setiap elemen membutuhkan asupan anggaran untuk menjalankan mesin pemilihan umum, baik itu legislatif maupun eksekutif. 

Potret ini dimainkan dari ibu kota sampai pelosok desa. Variasi prakteknya penuh warna layaknya La Sape yang mengunjungi pasar dengan kemewahan agar di eluh-eluhkan warga. Kebanggan emosional menjadi prioritas di saat program kerja hanyalah rutinitas dan persyaratan administrasi. 

Politisi bergerak dalam kelompok La Sape yang tidak memungsingkan biaya. Benak mereka adalah kedudukan dan kebanggaan sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan. Parahnyanya lagi kultur ini dihidupi terus ketika telah menduduki jabatan sebagai legislatif atau eksekutif.

2022 ini saja kegiatan "parlente"sudah muncul di setiap simpang jalan. Aktor dan baliho telah menjadi candu praktek elektoral kita ketika mendekati tahun-tahun politik. Simpang jalan adalah simpang perhatian antara melihat baliho dan menunggu lampu hijau.  

Atau cara-cara moderat yang di tempuh melalu menghadiri berbagai macam kegiatan sosial budaya masyarakat. Dengan iming-iming cerita-cerita politik dan seceremonial lokal. Demokrasi kita tumbuh dengan cara seperti ini. Seperti hiruk pikuk pasar dengan berbagai transaksi di dalamnya dan La Sape bergerak dengan eksistensi dan kontradiktif dari kehidupan masyarakat.

 

Sisi Gelap Demokrasi Elektoral

 Tidak bisa di pungkiri jika Indonesia adalah salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Semenjak 2004 kita selalu merayakan pesta demokrasi elektorak dengan dinamika khas masyarakat Indonesia. Secara konstitusional setiap warga negara memiliki hak untuk di pilih dan memilih sebagai eksekutif ataupun legislatif. 

Meskipun begitu, narasi demokrasi kita tidak lepas dari budaya yang hidup di tengah masyarakat. Benedic Anderson pernah menyodorkan satu konsep  "Imajined Communities" untuk memahami bagaimana penduduk/masyarakat bisa bersatu dan memiliki tujuan bersama, meskipun diantara mereka tidak saling kenal dan dekat. 

Konsep  ini menegaskan bahwa politik persatuan bangsa Indonesia di dasarkan pada penderitaan bersama, kepentingan bersama dan perjuangan bersama. Semua dimensi itu rumuskan dalam satu imajinasi bernegara yaitu Nasionalisme. 

Jembatan menuju Nasionalisme ala Benedic Anderson adalah bahasa. Kita tahu kekuatan Jerman pada perang dunia di dorong oleh imajinasi bangsa Arya yang hebat, kuat, dan tangguh. Hitler tahu bahwa masyarakat Jerman akan berjuang mempertahankan imajinasinya karena melekat dalam diri mereka.  

Bahkan imajinasi ini bisa menggerakan anak -- anak di bawah umur untuk angkat senjata. Peristwa ini membuat kita sadar, bahwa Imajined Communities adalah senjata ampuh untuk menggerakan massa.

 Pesta demokrasi 2024 di rancang sudah sejak tahun ini. Persiapan suksesi pemilu 2024 tidak main-main karena melibatkan hampir setiap lembaga formal dan informal di republik ini. Apa lagi pengalaman PEMILU kita selama ini selalu menyisahkan problem politik yang berimbas pada terpecahnya masyarakat. 

Pengalaman PEMILU Jakarta dan presiden tahun 2019 menunjukan bahwa efek politik elektoral kita hari ini bisa menuangkan perpecahan di tubuh masyarakat. Demokrasi memang menginginkan perbedaan argumentatif, tapi tidak pada perpecahan. 

Tipisnya pemisahan antara perbedaan dan perpecahan membuat siapapun pemimpin di Republik ini sulit menentukan gerakan-gerakan sosial politik tersebut. Penggiringan opini publik merupakan jembatan politis untuk mempengaruhi masyarakat baik secara intelektual maupun tindakan. 

Itulah mengapa sejak 1983 Benedic Anderson mengatakan bahwa bahasa dan opini adalah senjata Elit untuk mendapat simpati masyarakat. Pada akhirnya kelompok masyarakat kita hanya menjadi bayang-bayang dari perilaku elit yang hedon dan despotik tanpa memperdulikan kepentingan umum. 

Hal ini bisa terjadi dengan fakta politik yang menunjukan elit politik kita hanya memanfaatkan panggung demokrasi untuk kepentingan kekuasaan. Dan ini adalah praktek-praktek gelap yang di sandiwarakan oleh elit politik dan bahkan kita sendiri setiap 5 atau 6 tahun sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun