Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi: Cerita Politik Menuju 2024

18 Mei 2022   07:27 Diperbarui: 18 Mei 2022   07:49 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Fenomena mewah ala Sapeurs dipraktekan oleh politisi -- politisi yang nimbrung dalam hingar-bingar demokrasi Indonesia. Bagi sebagain orang, penampilan adalah simbol yang menunjukan berkualitasnya seseorang. Kemewahan menjadi tolak ukur untuk mendapat perhatian masyakat seperti La Sape di Kongo. 

Tidak heran jika potret ini nampak dalam kegiatan politik Indonesia karena memang dinamika politik dan demokrasi kita sangat mahal. Data tahun pemilu 2019 saja sudah memakan cost dari APBN sebesar 25,59 Triliun dan itu naik 61% dari tahun 2024 yang memakan anggaran 15,62 Triliun[4]. 

Artinya biaya pemilu kita selalu mengalami kenaikan anggaran setiap periodenya dan ini belum terhitung anggaran dari kantong-kantong pribadi politisi beserta partai politiknya. Inilah mengapa politik transaksional mulus bermain dalam ranah demokrasi elektoral kita. Setiap elemen membutuhkan asupan anggaran untuk menjalankan mesin pemilihan umum, baik itu legislatif maupun eksekutif. 

Potret ini dimainkan dari ibu kota sampai pelosok desa. Variasi prakteknya penuh warna layaknya La Sape yang mengunjungi pasar dengan kemewahan agar di eluh-eluhkan warga. Kebanggan emosional menjadi prioritas di saat program kerja hanyalah rutinitas dan persyaratan administrasi. 

Politisi bergerak dalam kelompok La Sape yang tidak memungsingkan biaya. Benak mereka adalah kedudukan dan kebanggaan sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan. Parahnyanya lagi kultur ini dihidupi terus ketika telah menduduki jabatan sebagai legislatif atau eksekutif.

2022 ini saja kegiatan "parlente"sudah muncul di setiap simpang jalan. Aktor dan baliho telah menjadi candu praktek elektoral kita ketika mendekati tahun-tahun politik. Simpang jalan adalah simpang perhatian antara melihat baliho dan menunggu lampu hijau.  

Atau cara-cara moderat yang di tempuh melalu menghadiri berbagai macam kegiatan sosial budaya masyarakat. Dengan iming-iming cerita-cerita politik dan seceremonial lokal. Demokrasi kita tumbuh dengan cara seperti ini. Seperti hiruk pikuk pasar dengan berbagai transaksi di dalamnya dan La Sape bergerak dengan eksistensi dan kontradiktif dari kehidupan masyarakat.

 

Sisi Gelap Demokrasi Elektoral

 Tidak bisa di pungkiri jika Indonesia adalah salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Semenjak 2004 kita selalu merayakan pesta demokrasi elektorak dengan dinamika khas masyarakat Indonesia. Secara konstitusional setiap warga negara memiliki hak untuk di pilih dan memilih sebagai eksekutif ataupun legislatif. 

Meskipun begitu, narasi demokrasi kita tidak lepas dari budaya yang hidup di tengah masyarakat. Benedic Anderson pernah menyodorkan satu konsep  "Imajined Communities" untuk memahami bagaimana penduduk/masyarakat bisa bersatu dan memiliki tujuan bersama, meskipun diantara mereka tidak saling kenal dan dekat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun