Generasi Muda dan 'Impostor Syndrome'
Generasi muda, khususnya generasi millennial dan Gen Z, tampaknya menjadi demografi yang sering kali mengalami 'Impostor Syndrome'. Bukan tanpa alasan, era digital yang menjadi latar belakang hidup mereka, memberikan tekanan tersendiri. Media sosial menjadi medan perbandingan yang tak ada habisnya, mempertanyakan setiap prestasi dan pencapaian yang telah diraih.
Belum lagi tuntutan untuk selalu produktif, selalu "on" di dunia kerja yang semakin kompetitif. Pencapaian seolah menjadi parameter utama nilai seseorang. Dalam situasi seperti ini, bukan tidak mungkin 'Impostor Syndrome' menjadi fenomena yang lumrah.
Meski demikian, harus diingat bahwa ini bukan "penyakit" generasi muda. Orang-orang dari berbagai generasi juga bisa mengalami hal ini. Hanya saja, era digital dan budaya kerja saat ini mungkin memperbesar peluang terjadinya 'Impostor Syndrome'.
Apakah 'Impostor Syndrome' Selalu Buruk?
Bicara soal 'Impostor Syndrome', sering kali disematkan label negatif. Padahal, tidak selalu demikian. Ada sisi positif yang bisa diambil dari fenomena ini. Misalnya, rasa tidak aman bisa menjadi pendorong untuk terus belajar dan meningkatkan keterampilan.
Dengan kata lain, 'Impostor Syndrome' bisa menjadi semacam alarm bagi kita untuk terus mengembangkan diri. Asalkan, tentu saja, ini tidak sampai mengarah pada tekanan berlebihan atau merendahkan diri sendiri.
Namun, perlu diingat juga bahwa ketika 'Impostor Syndrome' mulai mengganggu kesejahteraan mental dan produktivitas kerja, mungkin sudah saatnya untuk mencari bantuan profesional.
Ke Depan: Mengubah Cara Pandang
Mungkin, yang perlu diubah adalah cara pandang kita terhadap keberhasilan dan kegagalan. Tidak selalu hitam dan putih. Keberhasilan tidak selalu berarti kita penipu, dan kegagalan tidak selalu berarti kita tidak kompeten.
Penting untuk melihat keberhasilan sebagai hasil dari usaha dan kemampuan, bukan hanya keberuntungan. Sementara kegagalan bisa dilihat sebagai peluang untuk belajar dan menjadi lebih baik.