Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengapa "Impostor Syndrome" Menjadi Fenomena di Tempat Kerja?

7 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 8 Juli 2023   22:12 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Tengyart on Unsplash

Kita semua punya momen 'penyamar'. Tapi apa jadinya jika momen itu mendominasi di tempat kerja?

Seperti bermain teater di panggung kehidupan, pernahkah merasa seperti aktor yang memerankan peran bukan milik kita sendiri? Fenomena ini, disebut 'Impostor Syndrome', lebih sering terjadi di tempat kerja daripada yang kita bayangkan. Mari kita coba mengupas, apa sebenarnya yang terjadi.

Antara Pakaian Baru dan Kacamata Hitam

Mungkin ada yang merasa familiar dengan perasaan takut ditertawakan orang lain saat mengenakan pakaian baru atau kacamata baru. Pasti berpikir, "Apakah ini terlalu mencolok?", atau "Apa mereka akan mengejek penampilan ini?". Begitu juga dengan perasaan yang terkandung dalam 'Impostor Syndrome', namun dalam konteks yang berbeda.

Tak lain adalah rasa takut akan kegagalan atau eksposur sebagai orang yang tidak kompeten atau penipu. Ini bukan tentang pakaian baru atau kacamata hitam, tetapi tentang pencapaian dan prestasi di tempat kerja. Masalahnya, meski seseorang memiliki kemampuan dan prestasi nyata, mereka masih merasa seperti penipu.

Kondisi ini mempengaruhi orang-orang dari berbagai latar belakang, baik yang baru memasuki dunia kerja maupun yang sudah berpengalaman. Nah, gimana nih, ada yang merasa mengalami hal serupa?

Para Penyamar dalam Bayangan Prestasi

Mari kita berkenalan dengan Budi. Budi adalah pekerja yang rajin dan disiplin, sering mendapat pujian dari atasan dan rekan kerja. Meski begitu, Budi merasa tidak pantas menerima pujian tersebut. Dia selalu merasa bahwa suksesnya hanyalah hasil dari keberuntungan, bukan karena kemampuannya.

Inilah wajah nyata 'Impostor Syndrome'. Tidak jarang, dalam bayangan prestasi dan kemampuan yang luar biasa, tersembunyi keraguan diri dan rasa takut akan penipuan. Budi adalah representasi dari banyak orang yang mungkin merasa sama.

Ironisnya, banyak yang merasa bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa mereka bukan penipu. Ini bisa menyebabkan stres, kelelahan, dan bahkan burnout.

Mengapa Fenomena Ini Menjadi Viral di Dunia Kerja?

Fenomena 'Impostor Syndrome' ini semakin terlihat dalam dunia kerja. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah persaingan di tempat kerja yang membuat seseorang merasa perlu untuk selalu menunjukkan performa terbaik.

Selain itu, tekanan sosial dan budaya kerja yang kompetitif juga bisa memicu munculnya 'Impostor Syndrome'. Sebagai contoh, budaya kerja yang mendorong perfeksionisme dan kinerja tinggi dapat membuat seseorang merasa takut akan kegagalan dan penipuan.

Lebih dari itu, era digital dan media sosial juga berperan dalam meningkatnya fenomena ini. Di media sosial, orang-orang sering menampilkan versi terbaik mereka, menciptakan standar yang mungkin sulit untuk dicapai.

Menelusuri Jejak 'Impostor Syndrome' dalam Psikologi

Dalam dunia psikologi, 'Impostor Syndrome' bukanlah suatu diagnosis, tetapi lebih kepada perasaan dan pengalaman subyektif. Ada berbagai teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini. Salah satunya adalah teori atribusi, yang menunjukkan bagaimana seseorang menafsirkan keberhasilan dan kegagalan mereka.

Seseorang dengan 'Impostor Syndrome' cenderung menafsirkan keberhasilan sebagai hasil dari faktor eksternal, seperti keberuntungan atau usaha yang berlebihan, dan bukan karena kemampuan atau keterampilan mereka. Sebaliknya, mereka cenderung menafsirkan kegagalan sebagai bukti dari ketidakcukupan mereka.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Bagi yang merasa mengalami 'Impostor Syndrome', ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah menyadari dan mengakui perasaan ini. Menyadari bahwa tidak sendirian dalam merasakan ini bisa menjadi langkah pertama untuk mengatasi perasaan tersebut.

Selain itu, mencari dukungan dari orang lain juga bisa membantu. Misalnya, berbicara dengan mentor, atasan, atau rekan kerja tentang perasaan ini. Mereka mungkin bisa memberikan perspektif baru atau memvalidasi pencapaian dan kemampuan.

Terakhir, penting untuk belajar menerima pujian dan menghargai pencapaian sendiri. Bukan berarti menjadi sombong, tetapi lebih kepada pengakuan atas kerja keras dan usaha yang telah dilakukan.

Generasi Muda dan 'Impostor Syndrome'

Generasi muda, khususnya generasi millennial dan Gen Z, tampaknya menjadi demografi yang sering kali mengalami 'Impostor Syndrome'. Bukan tanpa alasan, era digital yang menjadi latar belakang hidup mereka, memberikan tekanan tersendiri. Media sosial menjadi medan perbandingan yang tak ada habisnya, mempertanyakan setiap prestasi dan pencapaian yang telah diraih.

Belum lagi tuntutan untuk selalu produktif, selalu "on" di dunia kerja yang semakin kompetitif. Pencapaian seolah menjadi parameter utama nilai seseorang. Dalam situasi seperti ini, bukan tidak mungkin 'Impostor Syndrome' menjadi fenomena yang lumrah.

Meski demikian, harus diingat bahwa ini bukan "penyakit" generasi muda. Orang-orang dari berbagai generasi juga bisa mengalami hal ini. Hanya saja, era digital dan budaya kerja saat ini mungkin memperbesar peluang terjadinya 'Impostor Syndrome'.

Apakah 'Impostor Syndrome' Selalu Buruk?

Bicara soal 'Impostor Syndrome', sering kali disematkan label negatif. Padahal, tidak selalu demikian. Ada sisi positif yang bisa diambil dari fenomena ini. Misalnya, rasa tidak aman bisa menjadi pendorong untuk terus belajar dan meningkatkan keterampilan.

Dengan kata lain, 'Impostor Syndrome' bisa menjadi semacam alarm bagi kita untuk terus mengembangkan diri. Asalkan, tentu saja, ini tidak sampai mengarah pada tekanan berlebihan atau merendahkan diri sendiri.

Namun, perlu diingat juga bahwa ketika 'Impostor Syndrome' mulai mengganggu kesejahteraan mental dan produktivitas kerja, mungkin sudah saatnya untuk mencari bantuan profesional.

Ke Depan: Mengubah Cara Pandang

Mungkin, yang perlu diubah adalah cara pandang kita terhadap keberhasilan dan kegagalan. Tidak selalu hitam dan putih. Keberhasilan tidak selalu berarti kita penipu, dan kegagalan tidak selalu berarti kita tidak kompeten.

Penting untuk melihat keberhasilan sebagai hasil dari usaha dan kemampuan, bukan hanya keberuntungan. Sementara kegagalan bisa dilihat sebagai peluang untuk belajar dan menjadi lebih baik.

Kesimpulannya, mungkin yang perlu kita lakukan bukanlah menghindari 'Impostor Syndrome', tetapi belajar untuk mengelola dan mengambil hikmah dari perasaan tersebut. Dan yang paling penting, belajar untuk lebih menghargai diri sendiri dan apa yang telah kita capai.

Sebuah Catatan Akhir: Kita Bukan Penyamar

Mungkin, ada yang berpikir, "Apakah ini berarti harus puas dengan kemampuan dan pencapaian yang dimiliki sekarang?" Tentu saja tidak. Striving untuk menjadi lebih baik adalah hal yang baik. Namun, jangan sampai menjadi beban atau sumber rasa tidak aman.

Mengakui dan merayakan pencapaian sendiri tidak berarti menjadi complacent atau sombong. Itu adalah bentuk penghargaan kepada diri sendiri atas kerja keras yang telah dilakukan. Jadi, mari kita berhenti merasa seperti penyamar dan mulai mengakui kemampuan dan pencapaian yang telah kita miliki.

Kita bukanlah penyamar dalam cerita hidup kita. Kita adalah pemeran utama, dan sudah saatnya kita berhenti merasa seperti penonton dalam drama hidup kita sendiri.

Referensi:

  1. Clance, P.R., & Imes, S.A. (1978). The impostor phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research, and Practice, 15, 241-247.
  2. Leary, M. R., Patton, K. M., Orlando, A. E., & Funk, W. W. (2000). The impostor phenomenon: Self-perceptions, reflected appraisals, and interpersonal strategies. Journal of personality, 68(4), 725-756.
  3. Sakulku, J., & Alexander, J. (2011). The impostor phenomenon. International Journal of Behavioral Science, 6(1), 73-92.
  4. Bravata, D. M., Watts, S. A., Keefer, A. L., Madhusudhan, D. K., Taylor, K. T., Clark, D. M., ... & Hagg, H. K. (2020). Prevalence, Predictors, and Treatment of Impostor Syndrome: a Systematic Review. Journal of General Internal Medicine, 35(4), 1252-1275.
  5. Vergauwe, J., Wille, B., Feys, M., De Fruyt, F., & Anseel, F. (2015). Fear of being exposed: The trait-relatedness of the impostor phenomenon and its relevance in the work context. Journal of Business and Psychology, 30(3), 565-581.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun