Bagaimana jika di dalam kepala sedang terjadi perang dingin antara dua pemikiran? Itulah esensi 'cognitive dissonance', dan percaya atau tidak, fenomena ini sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku.
Pernahkah merasa bimbang, gundah, atau bahkan stres karena harus memilih antara dua hal yang sama-sama diinginkan? Ah, itulah yang namanya 'cognitive dissonance'. Tidak, bukan istilah alien, tapi sebuah fenomena psikologi yang seringkali bikin kita 'pusing tujuh keliling'. Tapi, tahukah bahwa 'cognitive dissonance' ini bisa berpengaruh pada sikap dan perilaku? Yuk, kita coba kupas tuntas fenomena ini!
Ketika Dua Persepsi Bertarung di Kepala
Kenal sama istilah 'cognitive dissonance'? Bukan monster dari film fiksi ilmiah, kok. 'Cognitive dissonance' adalah teori yang diciptakan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1957. Teori ini menjelaskan tentang perasaan tidak nyaman yang muncul ketika seseorang memiliki dua pemikiran atau persepsi yang saling bertentangan.
Misalnya, seorang yang sangat percaya diri dalam hidup sehat, tapi di satu sisi, dia juga sangat menyukai junk food. Nah, di sini terjadi konflik antara dua pemikiran, 'makan sehat' dan 'menyukai junk food'. Itu dia, contoh sederhana dari 'cognitive dissonance'.
Perasaan ini, jika dibiarkan, bisa berakibat negatif lho. Bisa-bisa bikin orang stress, gelisah, dan sulit berfokus pada tugas atau aktivitas sehari-hari. Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Menghadapi Monster dalam Kepala
Salah satu cara untuk mengatasi 'cognitive dissonance' adalah dengan mengubah salah satu dari dua pemikiran tersebut. Dalam contoh sebelumnya, misalnya, bisa dengan mengurangi konsumsi junk food atau mencoba mencari alternatif makanan sehat yang enak.
Tapi, caranya bukan semudah membalik telapak tangan. Memang butuh proses dan waktu, kok. Ada juga yang bilang kalau cara ini terlalu idealis dan tidak realistis, karena kadang-kadang ada pemikiran yang tidak bisa diubah begitu saja.
Yang pasti, setiap orang memiliki cara mereka sendiri dalam menghadapi 'cognitive dissonance'. Ada yang memilih untuk menghindari situasi yang memicu perasaan tersebut, ada juga yang memilih untuk mencari dukungan dari orang lain.
'Cognitive Dissonance' dan Perilaku Kita
'Cognitive dissonance' bukan hanya berpengaruh pada pikiran, tapi juga sikap dan perilaku kita. Mengapa demikian? Ketika dua pemikiran bertabrakan, seringkali orang akan melakukan apapun untuk meredakan ketidaknyamanan tersebut, termasuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
Ambil contoh seorang perokok yang tahu merokok itu buruk untuk kesehatan, tapi tetap merokok. Nah, 'cognitive dissonance' ini bisa mendorong dia untuk berhenti merokok. Jadi, bisa dibilang, 'cognitive dissonance' ini punya sisi positifnya juga, kok.
Tapi, ada juga orang yang memilih untuk mengabaikan fakta dan mempertahankan perilaku buruk mereka. Misalnya, tetap merokok meski tahu bahayanya. Ini adalah cara mereka meredakan 'cognitive dissonance', meskipun kita tahu kalau cara tersebut tidak sehat.
Jangan Takut, 'Cognitive Dissonance' itu Normal!
Sebetulnya, 'cognitive dissonance' itu hal yang normal terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, seorang psikolog bernama Carol Tavris bilang kalau 'cognitive dissonance' itu bagian dari proses belajar.
Jadi, bukan sesuatu yang perlu ditakuti atau dihindari. Malah, bisa dijadikan sebagai peluang untuk belajar dan mengembangkan diri. Percaya atau tidak, 'cognitive dissonance' ini bisa jadi kunci untuk memahami diri dan orang lain lebih baik.
Memahami Lebih Dalam 'Cognitive Dissonance'
'Cognitive dissonance' adalah fenomena psikologi yang kompleks. Tapi, dengan pemahaman yang benar, bisa membantu kita untuk mengatasi perasaan tidak nyaman tersebut dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Apalagi di zaman yang penuh dengan informasi ini, mudah sekali untuk mendapatkan dua informasi yang saling bertentangan. Misalnya, soal isu-isu sosial, politik, kesehatan, dan lain-lain. Dengan memahami 'cognitive dissonance', kita bisa lebih bijaksana dalam menanggapi informasi tersebut.
'Cognitive Dissonance' dan Generasi Z
'Cognitive dissonance' tentu bukan cuma pengalaman orang-orang zaman dulu. Generasi Z juga mengalaminya, lho. Di era digital ini, informasi berlimpah dan mudah diakses. Dari media sosial, berita online, sampai obrolan grup WhatsApp sekalipun. Dengan begitu, semakin mudah saja mendapatkan dua informasi yang bertentangan.
Misalnya, topik soal 'body positivity'. Di satu sisi, media sosial penuh dengan pesan positif soal menerima tubuh apa adanya. Tapi, di sisi lain, masih ada saja body shaming. Nah, di situ, 'cognitive dissonance' muncul. Bagaimana cara generasi Z mengatasinya? Mungkin dengan lebih selektif dalam menerima informasi, atau mengubah cara pandang tentang tubuh mereka sendiri.
Intinya, 'cognitive dissonance' ini bukan pengalaman eksklusif bagi orang-orang tertentu. Semua orang, termasuk generasi Z, bisa mengalaminya. Itu sebabnya penting bagi kita semua untuk memahami dan menghadapinya dengan bijaksana.
'Cognitive Dissonance' Dalam Kehidupan Sehari-hari
'Cognitive dissonance' bisa muncul dalam berbagai situasi, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika belanja. Pernah merasa bimbang antara membeli barang yang diinginkan atau yang dibutuhkan? Itu adalah contoh sederhana dari 'cognitive dissonance'.
Atau, ketika menentukan pilihan karir. Antara memilih pekerjaan yang sesuai passion atau yang menawarkan gaji tinggi. Di situ, 'cognitive dissonance' juga muncul. Jadi, wajar saja kalau terkadang merasa bingung atau stres dalam mengambil keputusan.
Tapi, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, 'cognitive dissonance' bukan hal yang perlu ditakuti. Malah, bisa dijadikan sebagai peluang untuk belajar dan mengembangkan diri.
Kunci Menghadapi 'Cognitive Dissonance': Kesadaran Diri
Menurut psikolog, kunci untuk menghadapi 'cognitive dissonance' adalah kesadaran diri. Dengan menyadari bahwa kita sedang mengalami 'cognitive dissonance', kita bisa lebih mudah mengatasi perasaan tidak nyaman tersebut.
Cara lain adalah dengan belajar menerima bahwa hidup itu penuh dengan ketidakpastian. Tidak semua hal harus hitam atau putih. Ada banyak hal yang berada di area abu-abu. Dan itulah yang membuat hidup ini menarik.
Jadi, bukan tentang memilih antara dua pemikiran yang bertentangan, tapi belajar untuk menerima dan hidup dengan keduanya. Tidak mudah, memang. Tapi, dengan kesadaran diri dan penerimaan, kita bisa menghadapi 'cognitive dissonance' dengan lebih baik.
Jadi, bagaimana? Sudah siap untuk menghadapi monster dalam kepala bernama 'cognitive dissonance'?
Referensi:
- Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. California: Stanford University Press.
- Tavris, C., & Aronson, E. (2007). Mistakes Were Made (But Not by Me): Why We Justify Foolish Beliefs, Bad Decisions, and Hurtful Acts. New York: Harcourt.
- Aronson, E. (2011). The Social Animal. New York: Worth Publishers.
- Zimbardo, P.G., Johnson, R.L., & McCann, V. (2017). Psychology: Core Concepts (8th Edition). New York: Pearson.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H