Ketika biofilm sudah berhasil terbentuk, sel bakteri akan melepaskan diri secara parsial. Hal ini dilakukan agar pembentukan biofilm dapat dibentuk di lokasi lain.Â
Staphylococcus aureus sebagai Bakteri Penyebab Penyakit Jantung
Seperti yang telah dijelaskan di bagian awal bahwa bakteri S. aureus dapat berpotensi sebagai penyebab penyakit jantung. Hal ini disebabkan karena S.aureus yang berhasil masuk kedalam tubuh manusia dapat membentuk lapisan biofilm didalam darah. Secara garis besar sistem pertahanan pada biofilm tidak hanya terdiri dari lapisan polimer polisakarida saja melainkan juga dapat tersusun dari benang fibrin yang diketahui dapat memicu penggumpalan sel darah seperti apa yang dilakukan oleh S.aureus (Zapotoczna et al, 2016).
Gambar 2 bagian C, merupakan ilustrasi formasi dari biofilm yang biasa terjadi pada aliran darah, dan hal tersebut diterapkan oleh S.aureus. Dalam prosesnya, S.aureus akan mensekresikan enzim koagulase atau von Willibrand Factor binding protein untuk mengaktivasi dan konversi prothrombin menjadi staphylothrombin. Pada fase ini, staphylothrombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin agar terjadi proses penggumpalan darah sebagai pemicu terhambatnya aliran darah didaerah biofilm yang terbentuk (Crosby, 2017).
Streptokinase sebagai Enzim FibrinolitikÂ
Pembentukan biofilm pada S.aureus tentunya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi setiap orang. Bahkan dengan adanya kemampuan resistensi terhadap antibiotik, para peneliti harus mencari alternatif lain sebagai upaya untuk menghasilkan treatment yang tepat untuk mengatasi penyakit jantung. Streptokinase merupakan enzim fibrinolitik yang dapat diperoleh dari bakteri Streptococcus. Berkat teknologi rekayasa genetika, peneliti berhasil untuk memproduksi dan mempurifikasi enzim tersebut sebagai plasminogen aktivator. Cara kerja dari streptokinase dapat dilihat pada Gambar 3
Ilustrasi terkait dengan cara kerja streptokinase didalam tubuh terjadi ketika adanya invasi dari bakteri S.aureus kedalam tubuh. Pada kondisi ini, bakteri akan menggunakan Factor XIIIa (FXIIIa) sebagai agen stabilitas dari benang fibrin yang terbentuk. Penggunaan streptokinase menjadikan rigiditas fibrin terganggu, selain itu streptokinase yang telah melekat pada fibrin akan memberikan sinyal agar plasminogen dapat teraktivasi dan dikonversi menjadi plasmin. Pembentukan plasmin inilah yang menjadikan benang fibrin terurai disertai dengan proses dispersi pada bakteri S. aureus sebagai agen penyebab penggumpalan darah (Loof, 2014).
Disisi lain, berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Jorgensen et al (2016), S.aureus yang telah resisten terhadap antibiotik dapat ditangani dengan mengkombinasikan antibiotik dengan enzim streptokinase. Berdasarkan percobaannya dilakukan formulasi antibiotik yaitu vancomycin (64 mg/l) dan rifampicin (4 mg/l). Kemudian untuk membandingkan tingkat efikasinya, dilakukan 2 percobaan dengan atau tanpa menggunakan streptokinase yang diinduksi kedalam biofilm S. aureus. Sebagai tahap akhir, dilakukan pewarnaan menggunakan Alexa Fluor® untuk proses visualisasi benang fibrin yang terbentuk menggunakan Confocal laser scanning. Perbandingan hasil visualisasi dapat dilihat pada Gambar 4
Pada Gambar 4, kolom A menjelaskan bagaimana posisi dari biofilm S. aureus tanpa perlakuan apapun (kontrol). Setelah dilakukan perlakuan dengan antibiotik (kolom B), fibrin (warna merah muda) yang digunakan sebagai barrier pada bakteri mengalami penurunan namun dengan hasil yang tidak signifikan sebagai tanda resistensi antibiotik. Sebaliknya, kombinasi antibiotik dengan streptokinase pada kolom C berhasil menurunkan pembentukan biofilm secara baik ditandai dengan degradasi benang fibrin serta pengurangan viabilitas dari sel bakteri S. aureus.Â