Mohon tunggu...
denny prabawa
denny prabawa Mohon Tunggu... Editor di Balai Pustaka -

penulis, penyunting, penata letak, perancang sampul, pedagang, pensiunan pendaki, dan masih banyak lagi sederet identitas yang bisa dilekatkan kepadanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjalanan Panjang Menuju Bangku Kuliah

11 Oktober 2015   23:18 Diperbarui: 12 Oktober 2015   09:22 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berkenalan dengan Melvi Yendra, salah seorang redaktur di majalah Annida yang juga anggota FLP. Suatu hari, dia mengajaku mengujungi pembukaan perpustaan yang dikelola oleh FLP, Rumah Cahaya (Rumah baCA Hasilkan karYA). Aku banyak mengenal FLP sebenarnya dari salah satu buku yang dituis oleh Gola Gong. Aku memang mengagumi pengarang yang juga pendiri tamaan bacaan Rumah Dunia itu. Sejak itulah aku tertarik bergabung dengan FLP dan aku pikir, pertemuanku dengan Melvi di Rumah Cahaya akan menjadi jalan pembuka bagiku untuk bergabung dengan organisai itu. Namun, kenyataannya, aku terlalu pemalu untuk begabung dengan mereka.

Dari salah satu buku antologi cerpen FLP Depok, aku mendapatkan alamat email Laura Khalida, ketua FLP cabang Depok. Laura kemudia memasukan aku ke milis anggota FLP Depok. Milis itu memang tidak terlalu ramai. Namun, sejak itu, aku mulai merasa menjadi bagian dari FLP.

Suatu kali, Aveus Har, salah seorang teman penulisku di Aneka Yess! yang tinggal di Pekalongan menghubungiku. Rupanya dia telah bergabung dengan FLP Pekalongan. Ia ingin berkunjung ke Depok untuk menyerahkan naskah karya mereka ke penerbit Lingkar Pena Publishing House yang berkantor di Rumah Cahaya. Asma Nadia, salah seorang pengarang senior FLP menjadi CEO di penerbitan itu. Kebetulan aku memiliki nomor ponselnya dari Melvi Yendra. Aku segera mengirimkan pesan singkat ke Mbak Asma. Dala pesan singkat itu aku sampaikan bahwa aku ingin mengantar teman-teman dari FLP Pekalongan ke Rumah Cahaya.

Begitulah, aku mengantarkan Aveus Har dan ketua FLP Pekalongan ke Rumah Cahaya. Nanik Susanti, salah seorang editor di Lingkar Pena Publishing House menerima kedatangan kami, kebetulan Mbak Asma belum tiba. Saat Mbak Nanik mengetahui kalau aku dan Aveu Har banya menulis di majalah Aneka, ia meminta kami megirimkan cerpen-cerpen kami. Tentu saja aku tak segra menerima tawaran menarik itu. Aku meminta waktu untuk merevisi cerpen-cerpenku agar sesuai dengan visi misi penerbit itu yang tenu saja sejalan dengan visi misi FLP. Sebulan kemudian, aku datang lagi menemui Mbak Nanik, menyerahkan sebuah naskah novel. Ya, cerpen-cerpen yang aku revisi itu ternyata malah menjadi sebuah novel. Jalan sebagai penulis mulai terbuka lebar. Apalagi saat Mbak Nanik menghubungiku dan mengatakan kalau naskahku akan diterbitkan!

Saat naskahku dalam proses penerbitan, tsunami merendam Aceh hingga membuat serambi Mekah itu seperti padang reruntuhan. FLP menyiapkan acara galang dana untuk membantu Aceh. Melalui email, Mbak Asma memintaku membantu menyebarkan poster acara yang akan diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu. Tentu saja aku tak menolak. Aku segera mengambil poster-poster itu di kantor Lingkar Pena Publishing House. Di sana, aku bertemu degan Koko Nata yang namanya aku kenal melalui sebuah buku yang ditulis bersama Jazimah al Muhyi, pengarang FLP dari Yogyakarta. Rupanya, Koko yang baru hijrah dari Palembang, bermaksud untuk menghidupkan kembali FLP Depok yang mati suri. Saat aku bertemu Koko di TIM, aku mengatakan kepadanya kalau aku terarik bergabung dengan FLP Depok. Koko malah menawariku jadi salah seorang pembicara di acara perekrutan anggota baru FLP Depok. Tantu saja aku menolaknya. Aku tak cukup percaya diri untuk menjadi pembicara. Apa bisa dibicarakan oleh anak lulusan SMA macam aku?

Pada akhirnya, aku memang tak jadi pembicara di acara perekrutan angota baru FLP Depok. Namun, boleh dikatakan, acara itu menjadi awal keterlibatanku dengan FLP Depok. Aku merasa seperti sebangsa ikan yang baru bertemu dengan spesiesnya. Semula aku ingin bergabung dengan FLP Depok karena ingin belajar menulis dari senior-senior di FLP. Akan tetapi, Koko malah memintaku menjadi salah seorang mentor di salah satu grup diskusi di FLP Depok. Kali ini aku tak cukup alasan untuk menolak permintaan Koko. Begitlah, akhirnya aku menjadi mentor di FLP Depok. Agar tak kelihatan terlalu bodoh, aku banyak membaca buku-buku tentang penulisan. Rupanya, kegiatan itu menjadi jalan bagiku untuk belajar. Ya, aku belajar dengan cara mengajar.

Leyla Imtichanah, editor Lingkar Pena Publishing House yang baru terpilih di kepengurusan pusat sebagai sekretaris divisi Rumah Cahaya, memintaku membantunya mengelola taman bacaan Rumah Cahaya. Barangkali karena rumahku memang dekat dengan Rumah Cahaya, maka ia memintaku membantnya. Belakangan, aku malah diminta menjadi ketua atau penanggung jawab Rumah Cahaya Depok. Wah! Sekali lagi aku tak dapat menolak. Beruntung teman-teman di FLP Depok banyak membantu. Dari sana aku mulai belajar berorganisasi.

Entah kasihan karena hingga nyaris kepala tiga belum juga memiliki penghasilan tetap, atau karena aktivitasku di Rumah Cahaya, Mbak Asma mengirim informasi melalui SMS. Balai Bahasa tengah membutuhkan pegawai baru yang mampu menganalisis sastra. Aku kemudian menghubung Pak Elvis Iskandar. Beliau mengatakan kalau perusahaannya membutuhkan lulusan S1 yang bisa menulis dan menganalisis sastra.

Aku tidak percaya diri melamar diri untuk melamar ke tempat itu, tapi aku menyukai sastra dan mulai mendalaminya. Apalagi Pak Elvis tetap mempersilakan aku datang membawa CV dan surat lamaran. Aku baca buku-buku teori sastra dan kritik sastra. Dengan membawa sedikit pengetahuan susastra, CV, surat lamaran kerja, dan buku-buku karyaku, aku mendatangi alamat yang diberikan oleh Pak Elvis. Gunung Sahari Raya No. 4. Ternyata bukan Balai Bahasa seperti yang Mbak Asma katakan, melainkan penerbit Balai Pustaka.

Hari itu juga aku langsung diwawancarai oleh direksi PT Balai Putaka; Pak Zaim Uchrowi dan Pak Fari Kono. Barangkali ini pengalaman pertama aku mengikuti wawancara kerja. Sebenarnya tidak persis benar dikatakan sebagai wawancara. Aku hanya diajak ngobrol-ngobrol mengenai dunia perbukuan. Rupanya mereka membutuhkan asisten manajer untuk buku anak. Seorang lulusan SMA jadi asisten manajer buku anak? Rasanya aku tak boleh terlalu berharap banyak. Mana mungkin mereka mau menyerahkan jabatan itu pada seorang lulusan SMA yang hanya memiliki pengalaman kerja sebagai penulis lepas!

Namun, keyakinan aku keliru. Aku diterima bekerja di Balai Pustaka. Sebuah penerbitan yang telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda! Sebuah penerbitan yang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan hebat macam Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan akdir Alisjahbana, HB Jassin, Idrus, dan lain-lain. Pada saat bekerja di Balai Pustaka itu, pengalamanku mengelola organisasi memberikan banyak manfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun