Mohon tunggu...
denny prabawa
denny prabawa Mohon Tunggu... Editor di Balai Pustaka -

penulis, penyunting, penata letak, perancang sampul, pedagang, pensiunan pendaki, dan masih banyak lagi sederet identitas yang bisa dilekatkan kepadanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjalanan Panjang Menuju Bangku Kuliah

11 Oktober 2015   23:18 Diperbarui: 12 Oktober 2015   09:22 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikianlah, untuk pertama kalinya aku menyerahkan lamaran kepada sebuah perusahaan. Namun, panggilan yang dinanti tak pernah datang. Saat itu aku baru menyadari bahwa untuk melamar pekerjaan di sebuah pabrik, kita harus memiliki kenalan dekat seorang satpam. Agaknya, satpam memiliki “kekuasaan” untuk menentukan lamaran mana yang boleh diteruskan ke Human Resorse Departement (HRD).

Tawaran selanjutnya datang dari Dian, sepupuku yang bekerja di sebuah pabrik. Agaknya, kali ini akan lebih baik dari sebelumnya. Lamaran kembali dibuat. Keberadaan Dian di pabrik itu seolah menjadi jaminan bahwa kali ini aku akan diterima. Apalagi, ketika satpam mempersilakan aku dan beberapa pelamar lain masuk untuk mengikuti tes. Begitulah. Untuk pertama kalinya aku mengikuti tes calon karyawan di sebuah perusahaan. Aku bisa melewati psikotes itu dengan baik, setidaknya begitu menurutku. Waktu SMA aku pernah mengikuti psikotes serupa, jadi bukan hal yang sulit bagiku. Namun, setelah melewati tes itu, tak juga ada panggilan dari perusahaan.

Sejak itu, aku malas melamar kerja. Aku merasa tidak memiliki “sesuatu” yang bisa aku anggap berharga untuk bisa ditawarkan kepada pemilik perusahaan.

Sambil menikmati masa menjadi pengacara alias pengangguran banyak acara, aku suka mengisi waktu dengan membaca majalah. Sejak SMA aku suka baca rubrik cerpen atau cerber. Entah mengapa, saat aku membaca cerita-cerita di majalah remaja itu, aku merasa bisa menulis hal yang sama. Maka mulailah aku belajar menulis cerpen.

Sementara itu, Mama mulai muak dengan profesi penjahit yang sudah dilakoni sejak remaja. Ia memiliki gagasan lain. Kredit mobil angkutan kota (angkot)! Berbekal uang pinjaman, Mama membayar uang muka untuk kredit angkot. Papa yang meski masih harus menyeret langkahnya, bisa bekerja lagi. Dengan angkot itu aku mulai belajar menyetir mobil. Sedangkan Mama memulai usaha baru, membuka warung mie ayam-bakso.

Masa depan bagaikan papan reklame yang terpancang di depan rumah kami. Agaknya, aku boleh berharap, kedua usaha ini akan membawa keluarga kami keluar dari kesulitan keuangan. Setiap pagi, dengan gairah mengejar kesuksesan, aku membantu Mama menyiapkan dagangan. Aku menyiangi ayamnya, Mama yang memasaknya. Mama menyiangi sawinya, aku membuntal-buntal mie ayamnya. Mama menyiapkan bumbu bakso, aku mencetak bakso-baksonya. Setelah selesai, dagangan siap digelar. Sementara Mama istirahat karena lelah harus ke pasar pukul empat pagi, aku yang melayani pembeli. Malam hari, Papa pulang membawa sejumlah uang hasil narik angkot jurusan Termina-Depok II Timur.

H.M. Soeharto terpilih kembali menjadi presiden Rapublik Indonesia, entah untuk yang keberapa kali. Rupiah anjlok. Harga-harga segera melambung ke angkasa. Mahasiswa mulai turun ke jalan. Demonstrasi di mana-mana. Beberapa mahasiswa trisakti tertembak di Semanggi. Rakyat marah. Entah siapa yang menunggangi, tiba-tiba saja kemarahan itu terlampiaskan pada orang-orang dari etnis Cina. Ruko-ruko milik mereka dijarah sebelum dibakar. Pusat-pusat perbelanjaan seperti api unggun raksasa. Pasar-pasar tutup.

Kelak, aku akan mengenang kerusuhan itu, melalui sepiring nasi goreng, yang aku masak dengan bumbu seketemunya di dapur kami karena pasar-pasar dan warung-warung tutup. Setelah pasar-pasar buka kembali, warung mie ayam-bakso kami tutup. Dolar menginjak-injak rupiah. Pasar-pasar menjual ayam dan daging sapi dengan harga yang tidak masuk akal. Padahal, sebagian modal kami sudah terpakai untuk membeli makanan selama pasar-pasar itu tutup.

Hanya tinggal angkot itu, harapan kami. Agaknya, hasil latihanku selama ini harus segera diparktikan. Aku mulai bergantian dengan Papa dan supir lainnya. Namun, narik angkot ternyata tak semudah kelihatannya. Trayek yang semakin padat, membuat pekerjaan mencari penumpang bukan persoalan gampang. Kalau mau dapat penumpang harus sedikit nakal, main kucing-kucingan dengan polisi. Kalau sekadar ngetem di terminal, rasanya cukup untuk setoran dan beli bensin saja sudah Alhamdulillah.

Gambar masa depan di papan reklame yang semula beresolusi tinggi, semakin hari semakin buram saja agaknya betapapun keras usaha kami untuk memelihara gambaran itu. Masa depan seolah menghilang di balik gumpalan kabut. Apalagi ketika angkot itu akhirnya ditarik dealer karena kami tak mampu membayar kreditnya. Begitulah, aku seperti berjalan di setapak tanpa tahu arah masa depan. Berjalan saja karena hanya berjalan yang bisa aku lakukan.

Aku mulai serius menekuni dunia musik. Semula hanya hobi saja. Setelah mendapat kesempatan tampil sepanggung dengan band-band rekaman dan memperoleh honor sebesar Rp 150.000,- untuk pertama kali, aku mulai menapaki jalan musik. Bersama teman-temanku, membentuk band klasik rock yang mengkhususkan diri membawakan lagu-lagu grup rock legendaries asal Australia, AC/DC. Namun, seperti salah satu judul lagu AC/DC, “It’s a long way to the top if you wanna rock m’ roll”! Padahal, keluargaku tidak bisa menunggu lama. Pinjaman di bank tetap harus dibayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun