(kemasan-kentingen-sorogenen)
(dalam NAR, 2015: 27).
Wiji Thukul memilih ambil bagian. Ia tak mau menghamba pada ketakutan dan menjadi korban keputusan-keputusan. Ia mencatat peristiwa penindasan dan ketidakadilan rezim. Ia bertanya, menggugat, mengucapkan kata-katanya. Puisi-puisinya yang lugas, berani, dan jujur mengungkap realitas yang disaksikannya menghadirkan teror dan membuat gerah penguasa.
“Thukul,” tulis Munir dalam pengantar NAR, “yang memang lahir dari bagian mereka yang terdepak keras oleh arus alienasi sistem bernegara itu, sadar benar bahwa perubahan dan perlawanan mesti dimulai.”
Pilihan Wiji Thukul untuk berani mengucapkan kata-katanya dan tidak menghamba pada ketakutan membangkitkan semangat perlawanan di kalangan aktivis mahasiswa dan buruh. Puisi-puisi yang ia bacakan memantik api perlawanan itu kepada rezim otoritarianisme Orde Baru.
Puisi “peringatan” yang ditulis Thukul pada 1986 jadi bacaan wajib demonstran. maka hanya ada satu kata: lawan! yang telah menjadi ikonik ini menuding langsung tabiat kekuasaan “yang omongannya tidak boleh dibantah, yang membungkam kritik tanpa alasan.”
peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
(solo, 86)
(dalam NAR, 2015: 85)
Begitulah Wiji Thukul menjadi simbol perlawanan. Oleh penguasa, ia dianggap berbahaya. Aparat memberinya cap agitator, penghasut. Thukul menjadi ‘musuh negara’
Wiji Thukul dibungkam (baca: diculik) sebelum pemerintahan Soeharto jatuh pada Mei 1998.