Mohon tunggu...
Denny Yan Fauzi Nasution
Denny Yan Fauzi Nasution Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Yang selalu berusaha bisa bersyukur atas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Wiji Thukul di TVRI

18 Juni 2020   20:35 Diperbarui: 19 Juni 2020   17:40 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada Wiji Thukul di TVRI. Kisah buronnya Thukul semasa Orde Baru berkuasa yang diangkat dalam film “Istirahatlah Kata-Kata", ditayangkan kembali TVRI pada Selasa (16/6/2020), mulai pukul 21.30 WIB. Film biopik ini tayang pertama kali pada Januari 2017. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memilih menayangkan kembali "Istirahatlah Kata-Kata" (IKK) sebagai lanjutan Program Belajar dari Rumah (BdR) yang telah memasuki masa liburan akhir tahun ajaran. Mengangkat kembali film karya sutradara Yosep Anggi Noen ini tentu didasari pertimbangan nilai-nilai yang mengandung pendidikan di dalamnya. 

Kita tahu, Wiji Thukul adalah salah satu pelaku sejarah gerakan perubahan di negeri ini. Membincangkan Wiji Thukul adalah membincangkan Indonesia. Kisah Thukul menjadi bingkai sejarah Indonesia dari sisinya yang lain, yang pernah muram dan brutal. Berpaling dari bingkai sejarah itu, tentu menjadikan catatan sejarah bangsa ini tidak utuh. Menghadirkan kembali kisah Wiji Thukul adalah upaya menolak lupa. 

Upaya menolak lupa ini pula yang menggerakkan Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, menggagas perjamuan sastra "Membaca Wiji Thukul: Pembacaan Puisi-Puisi Karya Wiji Thukul" secara daring bersama beberapa pemain film IKK dan sahabat Thukul di dalam dan luar negeri. (bisa ditonton kembali di channel youtube Sastra Migran (https://www.youtube.com/watch?v=JQXL3GTqJxc). Kegiatan ini digelar di hari yang sama untuk mengiringi pemutaran film dan melengkapi Program Bdr Kemendikbud dengan #SastraDariRumah.

Adapun TVRI, memiliki sejarah yang berkelindan dengan Wiji Thukul. Menurut Wahyu Susilo, pada Agustus 1996, nama Wiji Thukul diumumkan TVRI sebagai buron karena dianggap biang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996. 

"Dulu diumumkan sebagai buron, sekarang filmnya sebagai buron ditampilkan di TVRI. Ini tentu sebuah kemajuan. Kalau dulu dianggap buron, puisinya dianggap memprovokasi, sekarang menjadi bahan pembelajaran, bahan pendidikan," kata Wahyu mengantar pembacaan puisi-puisi Thukul. 

Ini tentu menjadi catatan menarik. Bagi TVRI, seperti kata Wahyu Susilo, paling tidak akan mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga penyiaran publik tersebut. Bagi anak-anak didik, penayangan kembali film ini tentu memberi peluang untuk “mengenalkan” Wiji Thukul kepada generasi sekarang, selain sebagai sarana apresiasi sastra dan seni. 

Saya yang pernah nonton film yang diperankan Gunawan Maryanto (Wiji Thukul) dan Marrisa Annita (Sipon) tiga tahun lalu itu, memilih untuk menyaksikannya kembali. Barangkali ada pembelajaran baru yang bisa saya dapatkan, paling tidak berupaya meresapi kembali spirit Thukul di masa ini. 

Saya sendiri tidak terlalu mengenal penyair bernama asli Wiji Widodo ini. Menuliskan seseorang yang belum pernah saya kenal, tentu tidak selalu mudah. 

Mengenal latar belakang kehidupan dan bila perlu pengenalan secara pribadi, mengetahui lika-liku kehidupan pribadi seseorang adalah conditio sine qua non bilamana seseorang berusaha memahami pribadi seorang lainnya. 

Dengan kata lain, hanya yang pernah mengenal pribadinya dari dekat bisa menulis tentang seseorang atau percuma menulis untuk membahas seseorang yang hanya dikenal melalui karya tulisnya. 

Pendapat lain mengatakan untuk menulis tentang seseorang tidak perlu mengenal orangnya secara pribadi, tetapi karyanyalah yang menjadi lahan yang harus digarap dan dinilai karena orangnya menjelma seutuhnya di dalam karyanya. (Dhakidae, 2015: 49).

Saya tak mengenal Wiji Thukul selain dari buku “Nyanyian Akar Rumput. Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul” (2015), dan sebuah buku lain “Wiji Thukul, Teka-Teki Orang Hilang” (2016). 

Ada 171 puisi yang dikumpulkan dalam buku “Nyanyian Akar Rumput” (NAR). Sebuah tulisan pendek dari Wiji Thukul disertakan sebagai semacam pengantar penulis. 

“Penyair haruslah berjiwa ‘bebas dan aktif’, bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya,” begitu Wiji membuka pengantarnya.

Kalimat pembuka ini saya tafsirkan sebagai kredo proses kreatif kepenyairan Wiji Thukul. Kredo ini kemudian menegaskan gambaran pada dirinya yang bebas dan aktif sebagai seniman dan aktivis yang berani berpikir merdeka dan jujur mengungkap realitas yang dihidupinya. 

Di akhir pengantarnya, Thukul menulis, “dalam penciptaan puisi sesungguhnya penyair hanya tergantung kepada diri sendiri, mungkin kritikus ada juga fungsinya, tetapi kritikus nomor empat urutannya. Pokoknya persis seperti ketika coblosan pemilu itulah. Kita berdiri di depan gambar kontestan dan bebas sepenuhnya memilih mana yang kita pilih, tidak ditekan, tidak tertekan, tidak dipilihkan, tapi memilih sendiri.”

Puisi-puisi Thukul ditulis dengan semangat seperti itu, yang seringkali tanpa tedeng aling-aling membongkar kebobrokan rezim penguasa, yang kerap menuding langsung sistem bernegara yang tidak adil dan menjauh dari persoalan-persoalan masyarakat.

Puisi “ucapkan kata-katamu” (tanpa tahun) barangkali bisa memberi petunjuk sikap kepenyairan dan sikap hidup yang dipilih Wiji Thukul.

ucapkan kata-katamu

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kautahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan
apa maumu terampas
kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang, dipungut
atau dicabut seperti rumput
atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian
jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu
jika kau menghamba pada ketakutan
kita akan memperpanjang barisan perbudakan

(kemasan-kentingen-sorogenen)

(dalam NAR, 2015: 27).

Wiji Thukul memilih ambil bagian. Ia tak mau menghamba pada ketakutan dan menjadi korban keputusan-keputusan. Ia mencatat peristiwa penindasan dan ketidakadilan rezim. Ia bertanya, menggugat, mengucapkan kata-katanya. Puisi-puisinya yang lugas, berani, dan jujur mengungkap realitas yang disaksikannya menghadirkan teror dan membuat gerah penguasa. 

“Thukul,” tulis Munir dalam pengantar NAR, “yang memang lahir dari bagian mereka yang terdepak keras oleh arus alienasi sistem bernegara itu, sadar benar bahwa perubahan dan perlawanan mesti dimulai.”

Pilihan Wiji Thukul untuk berani mengucapkan kata-katanya dan tidak menghamba pada ketakutan membangkitkan semangat perlawanan di kalangan aktivis mahasiswa dan buruh. Puisi-puisi yang ia bacakan memantik api perlawanan itu kepada rezim otoritarianisme Orde Baru. 

Puisi “peringatan” yang ditulis Thukul pada 1986 jadi bacaan wajib demonstran. maka hanya ada satu kata: lawan! yang telah menjadi ikonik ini menuding langsung tabiat kekuasaan “yang omongannya tidak boleh dibantah, yang membungkam kritik tanpa alasan.”

peringatan 
jika rakyat pergi 
ketika penguasa pidato 
kita harus hati-hati 
barangkali mereka putus asa 
kalau rakyat bersembunyi 
dan berbisik-bisik 
ketika membicarakan masalahnya sendiri 
penguasa harus waspada dan belajar mendengar 
bila rakyat berani mengeluh 
itu artinya sudah gawat 
dan bila omongan penguasa 
tidak boleh dibantah 
kebenaran pasti terancam 
apabila usul ditolak tanpa ditimbang 
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan 
dituduh subversif dan mengganggu keamanan 
maka hanya ada satu kata: lawan!

(solo, 86)

(dalam NAR, 2015: 85)

Begitulah Wiji Thukul menjadi simbol perlawanan. Oleh penguasa, ia dianggap berbahaya. Aparat memberinya cap agitator, penghasut. Thukul menjadi ‘musuh negara’

Wiji Thukul dibungkam (baca: diculik) sebelum pemerintahan Soeharto jatuh pada Mei 1998.

22 tahun kini, Wiji Thukul tak pernah ditemukan. Penyair pelo ini tak juga kembali. Ada sebuah kalimat Sipon, istrinya, dalam film IKK yang ingin saya kutip, “Saya tidak pernah mau kamu pergi. Saya juga tidak mau kamu pulang. Saya hanya ingin kamu ada.”

Ya. Wiji Thukul (masih) ‘ada’, hadir lewat puisi-puisinya. Dan kemarin, kehadiran kembali Thukul dirayakan dan menggembirakan keluarga serta orang-orang yang mencintainya.

Saya tidak tahu apakah mas Mentri Nadiem Makarim telah menonton film ini. Paling tidak, program BdR yang digagas kementeriannya dengan menayangkan kembali film tentang seorang anak muda yang pernah ikut berjuang dan ingin menyaksikan bangsa ini lebih baik, semoga bisa memberi inspirasi kepada generasi kini untuk menjiwai spirit Thukul dan mampu mengucapkan kata-katanya sendiri. 

Terima kasih kepada TVRI yang telah menghadirkan Wiji Thukul kembali.

Sumber Bacaan:

Daniel Dhakidae. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan. Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, sampai Putra Sang Fajar, Bung Karno. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Arif Zulkifli, dkk. 2016. Seri Buku Tempo. Wiji Thukul, Teka-Teki Orang Hilang. (cetakan ke-4). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Wiji Thukul. 2015. Nyanyian Akar Rumput. Kumpulan Lengkap Puisi. (cetakan ke-2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun